Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

MARXISME DAN AGAMA

"Die Religion ... ist das Opium des Volkes" (Bahasa Indonesia: "Agama... adalah opium (candu) bagi masyarakat"), adalah salah satu pernyataam Karl Marx yang paling terkenal dan paling banyak disalahartikan. Kutipan ini sering digunakan untuk menyerang Marx, seakan-akan Marx menuduh agama menyesatkan dan menipu rakyat. Atau malah sebaliknya, oleh yang anti agama digunakan untuk memojokkan mereka yang memeluk agama. Apakah benar demikian?       Pertama-tama perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa pernyataan ini sebenarnya bukanlah pernyataan khas Marxis. Ungkapan yang sama dapat kita temukan, dalam berbagai konteks, dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, dan juga Heinrich Heine. Pandangan Marx mengenai agama sendiri bukanlah pandangan yang berdiri sendiri, melainkan berasal dari pandangan Ludwig Feuerbach. Maka dari itu, sebelum kita melihat pandangan  Marx mengenai agama, ada baiknya jika kita melihat kritik agama Feuerbach terlebih dahulu, seb

EKONOMI-POLITIK MARXIS

II. ASAL-USUL EKONOMI-POLITIK MARXIS 2.1. Pengantar Tujuan bagian ini adalah untuk menjelaskan asal-usul dari EPM. Di bagian 2.2., kita akan melihat dasar permasalahan dalam ilmu ekonomi, yaitu permasalahan nilai. Dari aspek sejarah pemikiran ekonomi, beberapa komentator menunjukkan bahwa Aristoteles adalah pemikir yang pertama kali mengetengahkan persoalan nilai ini, kendati masih secara implisit. Selanjutnya, di bagian 2.3., kita akan melihat bagaimana Aristoteles membedakan antara kegiatan ekonomi (oikonomike tekhne) dengan kegiatan khrematistik (khrematistike tekhne). Aristoteles menganggap bahwa kegiatan ekonomi merupakan perkara ‘pemenuhan kebutuhan alamiah manusia’, dan oleh karenanya, memiliki batas. Sedangkan, kegiatan khrematistik berurusan dengan pencarian kekayaan melalui penimbunan uang, oleh karenanya, tak memiliki batas. Di bagian ini, kita akan melihat bagaimana persoalan nilai itu dikaitkan dengan distingsi Aristoteles antara ekonomi dan khrematistik. Lalu, di bagian 2

EKONOMI-POLITIK MARXIS

I. PENDAHULUAN 1.1. Krisis Kapitalisme Global   Pada saat ini, dunia sedang jauh dari kata "baik-baik saja". Pandemi global COVID-19 pada masa ini sedang mencengkram seluruh penjuru dunia. Korban yang terpapar Coronavirus disease-19 (COVID-19) hingga kini terus berjatuhan. Tercatat, berdasarkan data pemerintahan Indonesia hingga tanggal 18 Juli 2020, sebanyak 84.882 manusia yang telah terinfeksi virus corona dan 4.016 diantaranya telah meninggal. Para pejabat Indonesia awalnya hanya meremehkan pandemi global ini. Alih-alih mencegah secara tegas, mereka justru mengeluarkan lelucon-lelucon murahan.[1] Selain itu, di masa pandemi ini, para pejabat legislatif yang seringkali disebut sebagai "Wakil Rakyat" justru memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas berbagai macam RUU yang berorientasi kepada kepentingan modal.[2] Sangatlah jelas bahwa di sisi ini, Pemerintah Indonesia jauh lebih memihak kepada kepentingan K'las kapitalis.      Pandemi virus corona telah memicu

RAS DAN PERTENTANGAN K'LAS

Marxisme telah dituduh oleh para kritikusnya bahwa ia telah mengecilkan perjuangan melawan rasisme. Mereka seringkali menganggap bahwa Marxisme  menjadikan permasalahan rasisme hanya menjadi semata-mata permasalahan ekonomi. Ringkasnya, Marxisme seringkali dianggap mengabaikan permasalahan rasisme. Apakah benar demikian?       Permasalahan rasisme akhir-akhir ini memang tidak bisa diabaikan. Belakangan ini kita dikejutkan dengan suatu peristiwa baru, yakni demonstrasi di Amerika Serikat dan berbagai macam negara lainnya. Demonstrasi ini bermula dari terbunuhnya George Floyd oleh seorang polisi AS. Kematian George Floyd ini telah memicu demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat, dan akhirnya meluas hingga ke Eropa.      Pada artikel kami kali ini, kita akan mencoba untuk membahas permasalahan rasisme ini dalam sudut pandang Marxisme. Di bagian pertama, kita akan mencoba untuk mengupas akar daripada rasisme, baik dari akar kesejarahan, maupun yang lainnya. Di bagian ke-2, kita akan me

MATERIALISME DIALEKTIS SEBAGAI ILMU

Selama kurang lebih 3 dekade terakhir, Marxisme sebagai ilmu pengetahuan yang ilmiah telah dihancurkan secara vulgar dan sistematis oleh k'las borjuasi. Semenjak Tembok Berlin dan tirani Stalinisme runtuh, k'las borjuasi terus mencoba untuk mewartakan bahwa Marxisme hanyalah sekumpulan teori kuno semata, yang tak ada bedanya dengan fosil-fosil manusia primitif yang terdapat di museum. Mereka mencoba meyakinkan semua orang bahwa pertentangan k'las telah dimenangkan k'las borjuasi, dan oleh karena itu, mempelajari Marxisme adalah suatu kebodohan. 30 tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin, semua dengan cepat berubah. Euforia segera menjadi suasana pesimisme. Peringatan akan bahaya-bahaya krisis yang lebih besar di hari mendatang mulai bersahutan, bukan dari seorang Marxis, tapi dari para pakar ekonomi borjuis dan para ideolog pembelanya.      Belum habis tentang permasalahan krisis 2008, kapitalisme kini harus menghadapi krisis baru lagi yang disebabkan oleh pandemi global.