Langsung ke konten utama

EKONOMI-POLITIK MARXIS


I. PENDAHULUAN

1.1. Krisis Kapitalisme Global
 


Pada saat ini, dunia sedang jauh dari kata "baik-baik saja". Pandemi global COVID-19 pada masa ini sedang mencengkram seluruh penjuru dunia. Korban yang terpapar Coronavirus disease-19 (COVID-19) hingga kini terus berjatuhan. Tercatat, berdasarkan data pemerintahan Indonesia hingga tanggal 18 Juli 2020, sebanyak 84.882 manusia yang telah terinfeksi virus corona dan 4.016 diantaranya telah meninggal. Para pejabat Indonesia awalnya hanya meremehkan pandemi global ini. Alih-alih mencegah secara tegas, mereka justru mengeluarkan lelucon-lelucon murahan.[1] Selain itu, di masa pandemi ini, para pejabat legislatif yang seringkali disebut sebagai "Wakil Rakyat" justru memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas berbagai macam RUU yang berorientasi kepada kepentingan modal.[2] Sangatlah jelas bahwa di sisi ini, Pemerintah Indonesia jauh lebih memihak kepada kepentingan K'las kapitalis.

     Pandemi virus corona telah memicu apa yang mungkin menjadi krisis terdalam dalam sejarah kapitalisme. Yuval Noah Harari menyatakan bahwa krisis ini adalah krisis global terbesar dalam generasi kita yang datang secara tiba-tiba.[3] COVID-19 memperparah krisis sistemik dalam kapitalisme yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Datangnya COVID-19 meluluhlantakkan perhitungan-perhitungan ekonom dalam menghadapi krisis sebelum datangnya COVID-19. Berdasarkan prakiraan pertumbuhan yang diluncurkan oleh Prospek Ekonomi Global pada bulan Juni lalu, World Bank Group memperkirakan bahwa COVID-19 akan mendorong sekitar 100 juta umat manusia ke dalam kemiskinan ekstrem. Berdasarkan data Kemenaker per 27 Mei 2020, setidaknya sebanyak 2,8 juta pekerja telah dirumahkan dan diPHK. Sedangkan versi Kadin Indonesia, jumlahnya sudah mencapai 6-7 juta pekerja. Sementara itu, di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang telah kehilangan pekerjaan mereka.

     Virus corona telah menyebabkan kematian yang sangat besar bagi peradaban manusia, namun, jika kita membandingkan peristiwa ini antara negara-negara yang menerapkan sistem neo-liberal dengan yang tidak, kita akan melihat perbedaannya. Negara-negara yang tidak menerapkan sistem neo-liberal, saat ini justru melakukan penanganan yang jauh lebih baik. Kuba misalnya, yang walaupun telah diembargo oleh AS, tetapi mereka tetap memberikan prioritas bagi kekuatan medisnya, dan bahkan bisa mengirimkan dokter-dokternya ke China dan Italia. Venezuela, yang juga diembargo oleh AS dan sekarang masih berjuang untuk lepas dari krisis ekonomi, kini berhasil menekan persebaran pandemi dengan sigap, melakukan tes gratis terhadap warganya. Begitu juga dengan Vietnam, tak satupun ada korban jiwa di sana. Negara-negara itu dengan sigap me-lockdown teritorialnya, tentu saja dengan menjamin kebutuhan dasar warganya, tanpa terbebani pertimbangan investasi seperti semua negara yang menjalankan sistem kapitalis-neoliberal seperti AS, Italia, Prancis, Inggris, Belanda, Indonesia, dll. Hampir semua negara dengan kematian tertinggi dalam wabah ini disebabkan karena pemerintahnya lebih berkepentingan menjaga kapitalisme kala wabah ini datang dan bertahun-tahun sebelumnya memangkas anggaran sosial dan kesehatan secara besar-besaran.

     Jika dilihat dari moda produksi kapitalis itu sendiri, apa yang terjadi di negara-negara neo-liberal (kapitalis) ini bukanlah suatu hal yang benar-benar mengejutkan. Sistem produksi kapitalis yang berorientasi untuk mendapatkan profit mengakibatkan kebutuhan manusia semakin tersisihkan. Dalam kapitalisme, produksi suatu barang tidak ditujukan untuk nilai-pakai itu sendiri, melainkan untuk nilai-tukarnya. Akibatnya, dalam dunia kontemporer, ilmu ekonomi yang seharusnya menjadi ‘ilmu pengelolaan rumahtangga’ malah hanya menjadi sekedar ‘ilmu pencarian kekayaan’. Ekonomi menjadi khrematistik. Permenuhan kebutuhan masyarakat umum kini menempati urutan ke-2, sedangkan penumpukan kekayaan menempati urutan pertama. Sektor finansial pun di zaman modern ini kian diprioritaskan di atas sektor riil, sebab potensi labanya yang lebih besar. Maka tak heran, ketika pandemi virus corona datang, pemerintah negara-negara neo-liberal lebih berminat untuk menyelamatkan modal-modal k'las kapitalis ketimbang menyelamatkan nyawa masyarakat.

1.2. Sekilas Tentang Ekonomi-Politik Marxis

Berangkat dari refleksi sederhana yang telah dijelaskan di bagian 1.1., kita telah mendapatkan suatu gambaran tentang betapa akutnya kontradiksi internal yang dimiliki oleh kapitalisme. Negara-negara neo-liberal telah gagal dalam mengatasi pandemi global COVID-19, karena mereka telah menempatkan modal (kapital) di atas kepentingan umum. Tendensi kegagalan negara-negara neo-liberal dalam menangani pandemi ini bukanlah suatu hal yang benar-benar baru, artinya tendensi tersebut dapat dilacak hingga ke dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Artikel yang panjang dan lebar ini mencoba untuk menganalisis sistem kapitalisme yang mensituasikan penempatan modal di atas kepentingan umum itu. Analisis ini akan dijalankan atas dasar teori ekonomi-politik Marxis. Mengapa ekonomi-politik Marxis? Menurut hemat penulis, teori ekonomi Marx inilah yang dapat menjadi sudut pandang yang paling strategis untuk mengamati hukum gerak kapitalisme secara menyeluruh. 

     Marx dalam kata pengantar Das Kapital-nya menuliskan bahwa, ”Ini adalah tujuan akhir dari pekerjaan kita, untuk menelanjangi hukum ekonomi masyarakat modern, yaitu kapitalisme, masyarakat borjuis,”. Ekonomi-politik Marxis merupakan teori ekonomi yang mampu menjelaskan sistem produksi kapitalis secara "komplit dan harmonis". Dalam ekonomi-politiknya, Marx telah memberikan dasar teori perkembangan kapitalisme, dari ekonomi komoditi tahap awal, dari pertukaran yang sederhana, hingga bentuk-bentuknya yang tertinggi, produksi berskala besar. Ekonomi-politik Marx memberikan pandangan yang luas dan menyeluruh mengenai sistem kapitalisme, dalam kaitannya dengan fondasi historis, sosial, dan materialnya. Marx (dan Engels) telah berkontribusi untuk memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai sifat dasar dan fungsi kapitalisme, serta akar penyebab ketidaksetaraan sosio-ekonomi dalam produksi kapitalis ini.

     Ekonomi-Politik Marxis (selanjutnya disingkat EPM) merupakan salah 1 bagian terpenting dalam dasar-dasar Marxisme (selain filsafat Marxis (Materialisme Dialektis) dan teori kesejarahan Marxis (Materialisme Historis)).[4] Secara umum, EPM terdiri dari analisis integratif ekonomi, masyarakat, dan politik. Marx tidak menganggap ke-3  bidang ini sebagai suatu hal yang terisolasi, tetapi sebagai struktur yang saling berhubungan dan berevolusi secara historis. Unit analisis dalam EPM ini adalah kelas, bukan individu ataupun yang lainnya. Maka dari itu, analisa perjuangan k'las merupakan hal mendasar untuk memahami dinamika dalam teori ini.

     Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Lenin, EPM besumber pada ekonomi-politik klasik Inggris.[5] Ekonomi-politik yang klasik, sebelum Marx, berkembang di Inggris, di negeri kapitalis yang paling maju saat itu. Adam Smith dan David Ricardo meletakkan dasar-dasar teori mereka dengan teori nilai kerja, dalam investigasi mereka terhadap sistem ekonomi masyarakat yang ada. Marx melanjutkan pekerjaan mereka, dan ia menyempurnakan teori mereka dengan lebih konsisten. Ia melihat bahwa nilai dari setiap komoditas ditentukan oleh kuantitas waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial untuk memproduksi komoditas itu.

1.3. Pembagian

     Artikel ini tersusun dari 4 bagian, mulai dari pendahuluan hingga penutup. Bagian I adalah uraian pendahulan yang sedang diuraikan ini dan oleh karenanya tidak memerlukan keterangan lebih lanjut. Bagian II memuat kajian tentang asal-usul teori EPM secara mendasar. Bagian II ini akan dibuka dengan permasalahan nilai dalam komoditas, dimana Aristoteles dapat dikatakan sebagai orang pertama yang mengetengahkan persoalan nilai ini. Dalam bagian ini, kita akan melihat pula bagaimana Aristoteles membedakan antara kegiatan ekonomi (oikonomike tekhne) dengan kegiatan khrematistik (khrematistike tekhne), dimana orang-orang modern seringkali mengabaikan perbedaan ini. Selanjutnya, di bagian ini pula, kita akan melihat bagaimana para ekonom klasik seperti William Petty, Adam Smith, dan David Ricardo mencoba menyelesaikan permasalahan nilai ini dengan teori nilai kerja mereka.

     Bagian III memuat kajian mengenai EPM sebagai teori ekonomi klasik yang paling maju. Di bagian ini, kita akan melihat bahwa Marx telah melampaui ekonom-ekonom klasik dengan melakukan pembedaan antara kerja dengan tenaga kerja. Dalam analisisnya, Marx telah merumuskan sistem kerja kapitalisme dalam rumusan sirkulasi kapitalnya. Dengan rumusan itu, kita dapat melihat bahwa teori ekonomi Marx dapat digunakan untuk menjelaskan eksploitasi dalam kapitalisme, formasi rezim akumulasi yang mendorong imperialisme dan krisis periodik kapitalisme yang menunjukkan instabilitas inherennya sebagai suatu tata ekonomi.

     Bagian IV merupakan bagian penutup dari artikel ini. Bagian ini akan diawali dengan rangkuman menyeluruh atas semua penjelasan yang telah dipaparkan. Terakhir, artikel ini akan ditutup dengan refleksi mengenai daya emansipasi dalam ilmu ekonomi Marxis. EPM memiliki tujuan eksplisit untuk mengubah tatanan ekonomi dan sosial saat ini, dengan perspektif emansipatoris untuk membangun masyarakat yang lebih adil dengan cara menggulingkan kapitalisme. Oleh karena itu, ekonomi Marxis bukan hanya bertugas untuk memberikan penjelasan deskriptif dan memprediksi kenyataan ekonomi, melainkan juga untuk kemudian mengintervensinya (mengubahnya). Tuntutan emansipatoris merupakan suatu hal yang inheren dalam ekonomi Marxis sebagai ilmu sosial.

__________________________________

CATATAN

[1] Berbagai bualan diproduksi pemerintah untuk menjaga investasi/kapitalisme terus bekerja. Mulai dari virus ini tak bisa masuk karena cuaca (Jokowi & Luhut), karena sering makan nasi kucing (Menhub Budi Karya), karena rajin membaca doa qunut (Wapres Ma’ruf Amin), karena izin investasi berbelit-belit (Menko Airlangga Hartanto & Menkumham Mahfud MD); sampai dengan congkak menantang peneliti Harvard membuktikan adanya (Menkes Terawan). Tak terkecuali Jokowi, saat wabah datang, ia justru mengucurkan Rp. 72 Milliar pada inflencer untuk mendatangkan wisatawan mancanegara yang batal ke Tiongkok. “Ayo Berwisata, Jangan Takut Virus Corona”, begitu judul berita di Metro TV pada 11 Maret 2020.

[2] Diantaranya ialah RUU Minerba, RUU Cilaka, Omnibus Law, RUU HIP. RUU-RUU tersebut dengan jelas tidak memiliki keterkaitan dengan pandemi global COVID-19. Ketika ribuan manusia terdampak krisis ekonomi yang tidak bisa dianggap remeh, para anggota DPR ini justru malah mengabaikan kesengsaraan rakyat ini, dan lebih berminat untuk mengisi kantong mereka.

[3] Manusia sekarang tengah menghadapi krisis global. Mungkin krisis terbesar generasi kita. Keputusan yang diambil orang dan pemerintah dalam beberapa minggu ke depan mungkin akan membentuk dunia untuk tahun-tahun mendatang. Mereka tidak hanya akan menciptakan sistem perawatan kesehatan kita, tetapi juga ekonomi, politik, dan budaya kita. Kita harus segera bertindak cepat dan tegas. Kita juga harus memutuskan jangka panjang dari tindakan kita. Ketika memilih antara alternatif, kita harus bertanya pada diri sendiri tidak hanya tentang mengatasi tantangan langsung, tetapi juga dunia seperti apa yang akan kita huni begitu badai berlalu. Ya, badai akan berlalu, umat manusia akan selamat, sebagian besar dari kita masih hidup - tetapi kita akan mendiami dunia yang berbeda.

[4] ‘Ekonomi-politik’ (political economy) mulanya adalah istilah para ekonom Klasik untuk apa yang sekarang disebut ‘ilmu ekonomi’ (economics). Sejak era Modem, ekonomi-politik bergeser maknanya menjadi sekadar salah satu cabang ilmu ekonomi, yakni sebagai cabang yang berurusan dengan administrasi ekonomi.

[5] Lenin, Vladimir,.(1913). Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme. https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1913/tigasumb.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau