Langsung ke konten utama

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK





PENDAHULUAN


     Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.


     Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau keberadaan pengetahuan manusia, yang pada dasarnya merupakan hasil refleksi atau cerminan atas realitas objektif. Di bagian kedua, kita akan melihat bagaimana dan melalui apa pengetahuan manusia dapat muncul dan berkembang. Di sini kita akan melihat bagaimana korelasi langsung antara teori dan praktek. Di bagian ketiga atau bagian terakhir, kita akan menyimpulkan pembahasan mengenai persoalan epistemologis Marxis ini dan melihat bagaimana implikasi teori pengetahuan Marxis ini terhadap praxis emansipasi Kelas Pekerja.



MATERIALISME DAN REALITAS OBJEKTIF


     Pertama-tama, sebelum membahas persoalan ini secara lebih mendalam, perlu kita tekankan terlebih dahulu bahwa dari sudut pandang Marxisme, realitas eksternal pada dasarnya dianggap sebagai suatu realitas yang objektif. Apa artinya? Artinya ialah, dalam Dialektika Materialis, Marx menganggap bahwa terdapat dunia eksternal yang eksis atau hadir secara mandiri dari pikiran dan pengetahuan manusia, dari seluruh aktivitas subjektifnya; dan bahwa keberadaan itu jauh lebih utama ketimbang pikiran dan pengetahuan kita, manusia. Pikiran dan pengetahuan manusia ditentukan oleh dunia eksternal tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Marx sendiri bahwa, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka." (Marx, Kontribusi untuk Kritik Ekonomi Politik). Atau seperti yang dikatakan Engels, “dunia material yang secara indrawi kita terima adalah satu-satunya realitas,... Kesadaran dan pikiran kita, betapapun supra-indrawi kelihatannya, adalah produk dari materi, organ tubuh, otak. Materi bukanlah produk pikiran, tetapi pikiran itu sendiri hanyalah produk materi yang tertinggi." (Marx dan Engels, "Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman," Selected Works , Vol. 3, hal. 348). Dengan berdasarkan premis atau dasar pemikiran inilah, berdiri seluruh teori pengetahuan Marxisme. 


     Sebagai suatu realitas yang hadir secara mandiri dari manusia dan pikiran manusia ditentukan oleh realitas tersebut, maka mau tak mau pikiran manusia pun pada dasarnya bersifat objektif. Pikiran bersifat objektif, artinya ialah pikiran kita, betapapun abstraknya pasti tetap bergantung kepada realitas materiil. Sebagai contoh ialah mengenai moralitas. Meskipun moralitas seringkali dianggap sebagai suatu hal yang subjektif (dan memang demikian), namun bukan berarti moralitas selalu hanya bersifat subjektif, tanpa ada keterkaitannya dengan realitas objektif. Mengapa di zaman ini perbudakan dianggap sebagai suatu kejahatan sedangkan dulu tidak? Apakah bukan suatu kebetulan apabila praktek perbudakan baru dianggap sebagai kejahatan semenjak beberapa saat setelah kelahiran Kapitalisme (semenjak abad ke-18 dst.) yang lebih menggunakan tenaga kerja buruh ketimbang budak? Ini merupakan contoh kecil bahwa betapapun subjektifnya pikiran manusia, ia masih tetap memiliki sisi objektif sebagai landasan dari munculnya kesubjektifan pikiran manusia.


     Apabila kita berbicara mengenai teori pengetahuan ilmiah, maka ketergantungan pikiran manusia terhadap realitas eksternal pun akan semakin nampak. Dalam teori ilmiah, kebenaran akan teori ilmiah tersebut dianggap sebagai suatu objektivitas, yaitu sebagai suatu kebenaran yang independen dari subjek yang menilai kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan kebenaran ilmiah sejatinya tak bergantung kepada sang ilmuwan, komunitas ilmiah, ataupun masyarakat yang menilai kebenaran tersebut sebagai benar, melainkan bergantung kepada realitas konkret itu sendiri. Semisal, kebenaran teori gravitasi. Nilai kebenaran teori gravitasi tidak bergantung pada Newton yang menemukan dan sekaligus membenarkan teori gravitasi tersebut. Sebelum Newton menemukan teori gravitasi, gravitasi sudah ada secara objektif di alam semesta dan, karenanya, ia benar bahkan sebelum Newton melihat buah apel jatuh ke tanah. Oleh karena itu, penemuan-penemuan ilmiah sejatinya hanyalah momen penyingkapan epistemologis atas dunia yang pada dasarnya berada di luar dan tak bergantung pada pikiran manusia.


     Dalam karyanya "Materialisme dan Empiriokritisme", Lenin telah menjelaskan duduk perkara persoalan ini dengan sangat jelas. Ia menuliskan bahwa: "Sama sekali tak ada keraguan dalam ilmu alam terkait klaimnya bahwa bumi eksis sebelum manusia adalah sebuah kebenaran. Ini sepenuhnya sesuai dengan teori pengetahuan materialis: bahwa eksistensi sesuatu yang direfleksikan independen dari yang merefleksikannya (independensi dunia eksternal dari pikiran, Red.) adalah prinsip fundamental materialisme. Pernyataan yang dibuat oleh sains bahwa bumi eksis sebelum manusia adalah sebuah kebenaran objektif." (Lenin, 1972: 136-137).


     Berdasarkan klaim tersebut, apa yang dianggap sebagai objektivitas ilmiah dengan demikian bukan berarti tidak bisa salah juga. Ketika prinsip pokok objektivitas adalah independensi dunia eksternal, maka segala putusan tentang realitas tersebut (sejauh ia berbicara tentang dunia eksternal secara ilmiah) dapat salah dan berkontradiksi dengan putusan-putusan lainnya. Pengetahuan manusia pada dasarnya selalu berkembang, dan oleh karena itu pengetahuan ilmiah pun pada dasarnya juga akan selalu patah dan berganti dengan yang baru, seiring dengan munculnya penemuan-penemuan ilmiah baru yang lebih mendekati realitas konkret. Objektivitas, dengan demikian, bukan berarti kebenaran mutlak seperti keyakinan religius yang tak dapat diperdebatkan (atau lebih tepatnya tak boleh diperdebatkan). Ia dapat terus-menerus disanggah dengan temuan-temuan ilmiah yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dan yang paling mendekati kenyataan.


     Berdasarkan dasar-dasar pemikiran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa teori pengetahuan Marxis mengandaikan adanya suatu asumsi epistemologis bahwa teori, konsep, ataupun hukum ilmiah pada dasarnya merupakan salinan dari, atau setidaknya gambaran atas realitas objektif. Dengan demikian, formasi epistemik teori pengetahuan Marxisme didasarkan kepada objek independen yang hendak dipahaminya, yaitu realitas eksternal yang riil. Misi pencaharian pengetahuan Marxisme, karenanya merupakan misi mencerminkan atau merefleksikan realitas objektif ke dalam suatu konsep, teori, ataupun hukum ilmiah. Jika demikian, lalu bagaimana caranya agar kita dapat merefleksikan realitas konkret tersebut ke dalam konsep? Untuk memperoleh jawaban ini, kita harus beralih ke dalam persoalan antara teori dan praktek.



DARI PRAKTEK, MELALUI PRAKTEK, DAN UNTUK PRAKTEK


     Praktek merupakan aspek yang sangat penting jika kita ingin mempelajari sesuatu. Dalam teori pengetahuan Marxis, praktek menempati posisi yang paling fundamental. Mengapa? Pertama-tama, hanya melalui praktek segala macam pengetahuan manusia, baik masa lalu, sekarang, dan masa depan muncul. Kedua, praktek adalah kekuatan pendorong dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, praktek adalah kriteria untuk mengukur kebenaran suatu pengetahuan. Dan terakhir, praktek juga merupakan tujuan dari pengetahuan manusia. Selanjutnya, mari kita uraikan empat fungsi praktek dalam teori pengetahuan Marxis ini.



A. Aspek Fundamental Praktek


     Dalam teori pengetahuan Marxisme, praktek adalah aspek yang menduduki tempat yang pertama dan yang utama. Dengan kata lain, Marxisme berpendapat bahwa pengetahuan manusia sedikipun tak dapat dipisahkan dari praktek, dan Marxisme menolak segala macam teori yang memisahkan korelasi langsung antara pengetahuan dan praktek. Seperti yang Lenin katakan: "Praktek adalah lebih tinggi daripada pengetahuan (teori) karena ia tidak hanya mempunyai nilai keumuman tapi juga nilai realitet yang langsung." (W. I. Lenin, Buku Catatan Filsafat, Edisi Rusia, moscow, 1947, hlm.185).


     Dengan demikian, kaum Marxis secara gamblang mengakui bahwa hanya melalui praktek segala pengetahuan manusia muncul dan berkembang. Aktivitas sehari-hari kita secara tidak langsung telah memverifikasi kebenaran teori Marxis ini. Saya tidak akan pernah bisa menulis artikel apabila saya hanya berhenti ke dalam bacaan dan tak pernah berpraktek untuk menulis artikel. Anda tidak bisa belajar berenang tanpa benar-benar terjun ke air. Kita tidak akan tahu bagaimana memimpin perjuangan tanpa benar-benar memimpinnya. Kita tidak akan bisa bermain gitar apabila kita tidak pernah memainkan gitar. Contoh-contoh sederhana ini menunjukkan bahwa tanpa benar-benar melakukan sesuatu, tidak ada pengetahuan. 


     Tapi, bukankah ada pengetahuan yang berasal dari buku-buku bacaan, tradisi, kitab, dsb? Tentu saja ada yang namanya ilmu kitab, ilmu dari tradisi, dst,... dsb,... dsl,... Namun, dalam analisa terakhir, semua hal itu pada akhirnya merupakan hasil dari amalan atau praktek orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Mao Zedong, bahwa "pengetahuan manusia adalah terdiri dari dua bagian, lain tidak, dari pengalaman langsung dan pengalaman tak langsung. Dan apa yang merupakan pengalaman tak langsung bagiku adalah sebaliknya merupakan pengalaman langsung bagi orang lain. Karena itu, mengambil pengetahuan dalam keseluruhannya, pengetahuan macam apapun tidaklah terpisahkan dari pengalaman langsung." (Mao, Tentang Praktek). Itulah mengapa kami mengatakan bahwa hanya melalui praktek segala pengetahuan manusia muncul dan berkembang. Meskipun pengalaman tidak langsung telah dicatat ke dalam buku dan tradisi, namun sumber-sumber ini hanya dapat ada apabila ia mendasarkan diri kepada sumber pengalaman langsung, atau berdasarkan praktek.


     Dengan demikian, teori pengetahuan Marxis menempatkan aspek ketergantungan teori kepada praktek. Praktek adalah dasar dari segala macam teori pengetahuan dan teori pengetahuan tersebut hanya dapat berguna apabila ia mengabdi kepada praktek. Dalam menimbang kebenaran suatu teori pengetahuan, orang tak dapat bergantung pada perasaan-perasaan subyektifnya mengenai hal itu, tetapi pada hasil objektifnya di dalam praktek sosial. Hanya melalui praktek segala pengetahuan manusia dapat muncul dan berkembang. Pendirian praktek adalah pendirian yang pertama dan pokok di dalam teori pengetahuan Dialektika Materialis.



B. Praktek Adalah Motif Pendorong Pengetahuan Manusia


     Selanjutnya, mari kita beralih kepada fungsi kedua dari praktek dalam teori pengetahuan Marxis. Dalam pengetahuan manusia, praktek merupakan kekuatan pendorong dalam pengembangan pengetahuan lebih lanjut. Ketika manusia melihat atau melakukan suatu hal secara sekilas, maka ia akan memiliki suatu pengetahuan namun masih secara dangkal. Untuk mendalami pengetahuannya, orang harus berpraktek secara terus-menerus, berlatih secara terus-menerus dengan intensif. Untuk melihat bagaimana praktek dapat mengembangkan pengetahuan manusia, kita harus melihat terlebih dahulu dua tahapan pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan perseptual dan rasional. 


     Semua pengetahuan manusia pada dasarnya dimulai dengan langkah pertama pengumpulan data mentah, fakta dan fenomena terisolasi yang ditemui manusia dalam proses praktek sosial. Refleksi otak atas kontak fisik antara panca indera dan data objektif ini disebut pengetahuan perseptual. Kemudian, langkah atau tahap kedua ialah sintesis yang lebih komprehensif atau luas atas bahan-bahan persepsi dengan mengadakan pengaturan kembali atau penyusunan kembali. Tahap yang terakhir ini termasuk ke dalam tahapan konsepsi, pertimbangan dan kesimpulan. Dengan kata lain, pengetahuan perseptual harus diangkat menjadi pengetahuan rasional, dan pengetahuan rasional hanya dapat ada apabila didasarkan pada pengetahuan perseptual, yang pada dasarnya merupakan hasil pengumpulan banyak bahan mentah berdasarkan praktek sosial yang konkret. Ini adalah hubungan dialektis antara dua jenis pengetahuan yang saling melengkapi. Dan semakin baik pengetahuan perseptual yang didasarkan pada praktik konkret langsung, semakin dalam dan lebih benar pengetahuan umum tersebut.


     Mari kita ambil contoh mengenai persoalan ini. Ketika DPR RI mengesahkan undang-undang Celaka Omnibus Law Cipta Kerja, sangat banyak orang yang menanggapinya secara negatif. Namun, meskipun banyak masyarakat menanggapinya secara negatif, pandangan mereka mengenai persoalan ini masih berada di kulit luarnya saja, artinya masih dalam pengetahuan perseptual. Mereka hanya melihat bahwa "DPR Korup! DPR Goblok! DPR... dst,.. dsb,.. dsl,..". Singkatnya, mereka tidak menilai persoalan ini sampai ke akar-akarnya, melainkan hanya di bagian kulit luarnya saja. Apabila orang mampu melihat persoalan ini secara lebih mendalam, mereka akan mencapai tingkat pengetahuan rasional, dengan kesimpulan logis bahwa keputusan ini bukan hanya semata-mata disebabkan oleh korupnya DPR dan keblingernya pemerintahan, melainkan juga oleh kebutuhan sistem kapitalisme untuk mencari pasar yang memiliki buruh upahan murah dan kemudahan perizinan berusaha. Oleh karena itu, apabila orang menolak UU Omnibus Law Ciptaker, maka seharusnya ia tidak hanya menentang perilaku pemerintahannya saja, melainkan juga menentang sistem ekonomi yang mendasarinya, kapitalisme. 


     Namun, bagaimana orang dapat mencapai kesimpulan logis ini? Tentu saja dengan praktek sosial di antara kelas Pekerja. Bukan suatu kebetulan apabila banyak mahasiswa yang masih melihat persoalan Omnibus Law ini secara dangkal, masih melihat persoalan ini semata-mata hanya karena kesalahan pemerintahannya saja, tanpa melihat basis ekonominya. Bukan suatu kebetulan pula apabila banyak buruh yang melihat persoalan ini sampai ke kesimpulan logisnya. Kelas buruh setiap hari bergelut dengan realitas ekonomi kapitalisme, bagaimana kapitalisme bekerja dan menindas mereka. Oleh karena itu, tak aneh apabila kelas Buruh lebih cepat sampai kepada kesimpulan logisnya, karena setiap hari mereka bergelut dengan realitas basis ekonomi kapitalisme.



C. Praktek Adalah Kriteria untuk Mengukur Kebenaran 


     Alasan ketiga mengapa kaum Marxis lebih menekankan praktek adalah karena semua teori harus diuji terlebih dahulu. Satu-satunya kriteria untuk menguji kebenaran dan ketepatan suatu teori pengetahuan adalah melalui praktek. Apabila kita berhasil, maka kita akan mengetahui bahwa teori yang kita miliki kemungkinan besar adalah benar. Namun, apabila kita gagal, maka kita pun akan mengetahui bahwa teori yang kita miliki kemungkinan besar adalah salah, maka dari itu harus kita sesuaikan dan perbaiki.


     Meskipun praktek adalah kriteria kebenaran teori yang paling mumpuni, namun kaum Marxis selalu menyarankan agar kita jangan keburu nafsu untuk menilai benar-tidaknya teori tersebut. Apabila gagal, orang jangan lantas berkata bahwa "ah! Ternyata gagal! Pasti teori ini sama sekali tak berguna! Teori ini harus kita buang jauh-jauh!". Namun, apabila kita berhasil pula, jangan orang lantas berkata bahwa teori yang dimilikinya pasti benar sebenar-benarnya. Apabila kita melakukan ini, kita sama saja menilai suatu teori secara fragmentaris, atau hanya sebagian. Ini jelas bertentangan dengan Dialektika yang menuntut kita untuk menilai suatu hal dalam keterkaitannya dengan yang lain, dalam keseluruhannya. Singkat kata, untuk menilai kebenaran teori melalui praktek, orang harus melihat kompleksifitasnya, melihat segala macam seluk-beluknya serta dinamikanya, khususnya mengenai realitas konkret.


     Contoh yang paling umum ialah mengenai anggapan bahwa semua buruh itu malas dan tolol. Apabila kita melihat anggapan ini secara terfragmentaris, khususnya jika kita melihatnya dari sudut pandang borjuis semata, maka nampaknya anggapan ini adalah benar. Namun, apabila kita turun ke lapangan dan melakukan praktek langsung, kita akan segera mengetahui bahwa anggapan ini hanyalah omong kosong belaka. Anggapan ini pada dasarnya adalah ideologi (kesadaran palsu) borjuis untuk melegitimasi tatanan yang ada, agar kelas Pekerja tidak dapat menuntut kenaikan upah untuk menaikkan standar hidup mereka. Secara riil buruh merupakan golongan yang bekerja selama berjam-jam (rata-rata 8 jam sehari), namun dengan hasil yang hanya cukup untuk subsistensi atau memenuhi keperluan hidup semata. Ini berbanding terbalik dengan kehidupan sang majikan yang tak bekerja selama berjam-jam dan tak perlu merasakan panasnya sengatan matahari atau pengapnya pabrik yang ia miliki, namun ia dapat hidup dengan santai dengan segala macam kekayaannya. Dengan demikian, meskipun anggapan ini dinilai benar bagi sebagian besar orang (borjuis), namun nyatanya anggapan ini tidak memiliki nilai kebenaran yang valid.


     Selanjutnya, Marx dan Engels sejatinya juga menilai kebenaran teori mereka melalui praktek. Dalam Komune Paris misal. Dalam Komune Paris, meskipun kelas pekerja mengalami kegagalan dan hanya mampu mengontrol kekuasaan negara selama 78 hari, namun Marx dan Engels tak keburu nafsu untuk mengklaim bahwa tak ada harapan lagi bagi kelas Pekerja. Dalam Komune Paris, Marx dan Engels melihat kebenaran teori yang mereka tulis dalam "Prinsip Komunisme" di poin ke-19, yaitu bahwa revolusi tak mungkin terjadi hanya di satu negeri. Kegagalan Komune Paris merupakan bukti bahwa revolusi tak dapat terjadi hanya di satu negeri, apalagi jika terjadi di negeri yang terbelakang. Revolusi Sosialis harus berwatak internasional. Namun, dalam Komune Paris pula, Marx dan Engels melihat kekurangan teori mereka, yaitu bahwa kelas Pekerja tidak bisa menggunakan aparatur negara yang sudah jadi untuk mencapai tujuannya. Ia harus dihancurkan dahulu dan diganti dengan yang baru sama sekali. Ini adalah contoh bagaimana praktek dapat menjadi kriteria kebenaran teori, meskipun hal ini tetap harus kita sikapi dengan penuh ketelitian dengan tetap melihat kompleksifitasnya.



D. Praktek Adalah Tujuan Daripada Teori


     Apakah setelah kita mengetahui banyak hal secara rasional maka permasalahannya akan berhenti? Tentu saja tidak. Saya berusaha untuk belajar menulis artikel dengan baik agar saya dapat menulis artikel dan dibaca oleh banyak orang lalu dapat memberikan pemahaman yang cukup agar masyarakat dapat bergerak. Anda berusaha semaksimal mungkin untuk mempelajari suatu bahasa karena Anda ingin bisa berbicara dan menulis dalam bahasa itu. Anda mempelajari resep masakan untuk memasak makanan yang enak. Ini hanyalah contoh sehari-hari untuk menunjukkan bahwa orang mempelajari sesuatu untuk menggunakannya. Oleh karena itu, belajar agar dapat berpraktek adalah karakteristik dasar lain dari teori pengetahuan Marxis. Kita belajar tentang dunia, bukan untuk merenungkan dunia, tetapi untuk mengubahnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Marx bahwa, "Para filsuf hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi intinya ialah mengubahnya." (Marx, Tesis Tentang Feuerbach). Dengan demikian, Kaum Marxis menekankan praktek sebagai tujuan pengetahuan karena karakteristik yang melekat pada praktek itu sendiri.


     Dalam karyanya "Tentang Praktek", Mao Zedong telah menjelaskan persoalan ini dengan sangat tepat. Ia menuliskan bahwa: "Apa yang oleh filsafat Marxis dianggap sebagai masalah yang paling penting tidaklah terletak dalam memahami hukum-hukum dunia objektif dan dengan begitu menjadi sanggup untuk menerangkannya, tetapi secara aktif mengubah dunia dengan mempergunakan pengetahuan tentang hukum-hukumnya yang objektif. Dari pendirian Marxis, teori adalah penting, dan arti-pentingnya ditunjukkan sepenuhnya dalam pernyataan  Lenin: "Tanpa teori revolusioner tak dapat ada gerakan revolusioner". Tetapi Marxisme menekankan arti-pentingnya teori justru dan hanya karena ia dapat membimbing aksi. Jika kita mempunyai teori yang tepat, tetapi hanya mengobrolkannya, menyimpan dan tidak mempraktekkannya, maka teori itu, bagaimanapun juga baiknya tidak mempunyai arti.  Pengetahuan mulai dengan praktek, mencapai bidang teori melalui praktek, dan kemudian harus kembali lagi ke praktek. Fungsi aktif dari pengetahuan tidak hanya menyatakan diri dalam lompatan aktif dari pengetahuan persepsi ke pengetahuan rasionil, tapi juga — dan ini yang lebih penting — dalam lompatan dari pengetahuan rasionil ke praktek revolusioner. Pengetahuan yang memungkinkan kita menangkap hukum-hukum dunia harus ditujukan kembali kepada praktek mengubah dunia, yaitu, ia harus kembali dipergunakan dalam praktek produksi, dalam praktek perjuangan klas revolusioner." (Mao, Tentang Praktek).



PENUTUP


     Setelah kita melihat penjabaran yang puanjang dan lebar ini, sudah waktunya bagi kita untuk menutup pembahasan ini dengan menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari teori pengetahuan Marxis ini antara lain adalah:


     Pertama, mengenai sumber pengetahuan manusia. Dari mana kah asal atau sumber pengetahuan manusia? Marxisme secara tegas menjelaskan bahwa realitas objektif merupakan sumber pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan refleksi atas realitas objektif yang dimasukkan kepada konsep, teori, hukum ilmiah, ataupun lainnya. Meskipun di saat yang sama pengetahuan manusia juga bersifat subjektif, namun kesubjektifan pengetahuan manusia hanya dapat ada sejauh realitas objektifnya ada. Tanpa ada yang objektif, tidak ada yang subjektif. Dengan demikian, pengetahuan manusia bukan berasal dari bawaan manusia, bukan berasal dari suatu karunia Sorga, bukan berasal dari persepsi indrawi semata, melainkan berasal dari realitas objektif itu sendiri, yang hadir secara mandiri dari manusia.


     Yang kedua, mengenai peran praktek dalam pengetahuan manusia. Dalam teori pengetahuan Marxisme, kaum Marxis secara tegas menyatakan bahwa hanya melalui praktek segala macam pengetahuan manusia dapat muncul dan berkembang. Praktek adalah dasar dari segala macam teori pengetahuan manusia. Meskipun memang terdapat beberapa pengetahuan yang tak bersumber dari praktek, melainkan dari buku, tradisi, dll. Namun sumber-sumber ini hanya dapat ada apabila ia mendasarkan diri kepada sumber pengalaman langsung, atau berdasarkan praktek. Ini menunjukkan bahwa tanpa adanya praktek atau pengalaman langsung, tidak ada pengetahuan. Pendirian praktek adalah pendirian yang pertama dan pokok di dalam teori pengetahuan Dialektika Materialis.


     Selanjutnya, dalam teori pengetahuan Marxisme, aspek praktek juga menempati tempat sebagai motor penggerak dan pendorong perkembangan pengetahuan manusia. Ketika manusia melihat atau melakukan suatu hal secara sekilas, maka ia akan memiliki suatu pengetahuan perseptual yang masih dangkal. Untuk mendalami pengetahuannya, orang harus berpraktek secara terus-menerus, berlatih secara terus-menerus dengan intensif, hingga akhirnya manusia dapat memiliki pemahaman yang menyeluruh dan mampu mencapai tingkat pengetahuan rasional. Tanpa adanya pengetahuan perseptual yang bersumber dari praktek, kita tidak akan memiliki pengetahuan yang rasional. Namun, tanpa adanya pengetahuan rasional pula, kita tidak akan memiliki pengetahuan yang menyeluruh, sistematis, dan radikal. Ini adalah hubungan dialektis antara dua jenis pengetahuan yang saling melengkapi.


     Kemudian, peran ketiga yang dimainkan oleh praktek dalam teori pengetahuan Marxisme ialah perannya sebagai kriteria untuk mengukur suatu kebenaran teori pengetahuan. Pada dasarnya, semua teori pengetahuan harus diuji terlebih dahulu kebenarannya, dan satu-satunya kriteria untuk menguji kebenaran atau kesalahan suatu teori pengetahuan adalah praktek. Namun, untuk menilai benar-tidaknya suatu teori pengetahuan melalui praktek, metode penalaran Dialektis juga harus kita pergunakan secara konsisten. Dengan kata lain, untuk menilai benar-tidaknya suatu teori pengetahuan, kita harus bisa melihat keterkaitannya antara satu hal dengan yang lainnya. Menilai kebenaran teori pengetahuan bukan secara parsial, melainkan secara total atau menyeluruh. Dengan demikian, keputusan untuk menilai teori tersebut dapat lebih tepat. 


     Yang terakhir, peran sentral yang dimainkan oleh praktek ialah karena praktek ialah tujuan dari pengetahuan manusia. Apa yang oleh filsafat Marxis dianggap sebagai masalah yang paling penting tidaklah terletak dalam hal bagaimana manusia memahami dunia secara objektif, komprehensif, dan radikal, melainkan bagaimana manusia dapat mengubah dunia tersebut. Pada dasarnya, belajar agar dapat berpraktek adalah karakteristik dasar lain dari teori pengetahuan Marxis. Kita belajar tentang dunia, bukan untuk merenungkan dunia, tetapi untuk mengubahnya. Aspek praktek adalah aspek fundamental bagi pengetahuan manusia karena praktek itu sendiri merupakan tujuan dari pengetahuan manusia.


     Dengan berdasarkan premis ini, yaitu bahwa pengetahuan manusia dikondisikan oleh realitas objektif melalui praktek, mari kita menilai dan memberi solusi atas persoalan edukatif di Indonesia saat ini. Saat ini, kita bisa melihat bahwa secara riil, rakyat Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang masih sangat kurang. Ini tentu saja bukan karena mereka ditakdirkan untuk menjadi demikian, atau karena mereka itu malas belajar, namun karena tidak terbukanya akses pendidikan secara umum dan yang terutama adalah karena ketimpangan sosial yang terjadi. Oleh karena itu, karena persoalan ini bukan hanya karena masyarakatnya malas atau karena takdirnya memang demikian, namun karena strukturnya yang busuk dan timpang, maka satu-satunya solusi yang paling rasional ialah mengganti sistemnya menjadi lebih baik. Kapitalisme adalah akar dari persoalan-persoalan ini, dan oleh karena itu, merobohkan kapitalisme adalah kunci untuk menyelesaikan persoalan. Dengan Sosialisme, kontrol ekonomi akan dijalankan secara terpadu dan demokratis, maka sebagai akibatnya, ketimpangan akan ditiadakan dan akses pendidikan akan dibuka bagi masyarakat umum tanpa adanya pembedaan kelas ekonomi.



BIBLIOGRAFI


● Isfcogito.org. Kritik Marxisme Terhadap Konsep Objektivitas Konvensionalisme. http://lsfcogito.org/kritik-marxisme-terhadap-konsep-objektivitas-konvesionalisme/. Akses 16/01/2020


● Isfcogito.org. GM Dan Kepikunan Popperian. http://lsfcogito.org/gm-dan-kepikunan-popperian/. Akses 16/01/2020


● Marxists.org. Tentang Praktek. https://www.marxists.org/indonesia/reference/mao/mz37002.htm. Akses 16/01/2020


● Marxists.org. The Role of Practice in the Marxist Theory of Knowledge. https://www.marxists.org/history/erol/ncm-8/cwp-practice.htm. Akses 16/01/2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya