Langsung ke konten utama

ORGANISASI SISWA ATAU ORGANISASI KAKI TANGAN NEGARA?




     Organisasi Siswa Intra Sekolah? Siapa yang tak kenal dengan organisasi ini? Barangkali, dari seluruh pelajar yang ada di Indonesia, dari SD sampai ke bangku SMA, semuanya mengenal organisasi ini. Organisasi Siswa Intra Sekolah atau yang sering disingkat sebagai OSIS ini pada dasarnya merupakan satu-satunya organisasi kepelajaran yang sah di mata negara dan sekolah. Organisasi ini merupakan organisasi yang langsung didirikan oleh negara Indonesia untuk menghindari "bahaya perpecahan di antara para siswa" (suatu istilah karet yang sangat rancu). Meskipun visi dan misi yang dimiliki oleh OSIS ini terkesan baik dan positif, namun apabila kita melihat lebih jauh, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya organisasi ini tak lebih dari perpanjangan tangan kelas penguasa.

     Berdasarkan catatan sejarah yang ada (meskipun dengan amat sangat minim), kita akan melihat bahwa OSIS pada dasarnya merupakan organisasi yang baru didirikan pada tahun 1972. Pendirian OSIS oleh "beberapa pimpinan organisasi siswa yang sadar" ini (organisasi apa dan siapa saja? Tidak ada satu pun sumber yang menjelaskannya) ditujukan untuk menghindari bahaya perpecahan di antara para siswa intra sekolah di sekolah masing-masing (?). Setelah mendapat arahan dari pimpinan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, organisasi ini akhirnya didirikan.

     Apabila kita melihat pola peleburan berbagai macam organisasi pelajar ke dalam organisasi pelajar tunggal yang dikontrol oleh negara ini, maka secara tak langsung kita juga akan melihat suatu pola yang serupa dengan perfusian partai-partai politik di zaman ORBA. Dalam ketetapannya tentang GBHN yang dikeluarkan pada tahun 1973, MPR menegaskan mengenai perlunya perfusian atau peleburan organisasi peserta pemilu atau parpol-parpol yang dianggap “sejenis". Senada dengan itu, Soeharto pun juga menyarankan agar partai-partai politik segera mengelompokkan diri untuk menghindari konflik yang berkepanjangan dalam pemilu dan untuk mempermudah jalannya kampanye pemilihan umum. Meskipun niat yang ingin dilakukan katanya hanya untuk menghindari konflik yang berkepanjangan dan untuk mempermudah jalannya kampanye pemilihan umum, namun setelah perfusian itu, partai-partai hasil fusi ternyata malah tidak bisa menjadi bebas bergerak seperti dahulu. Soeharto melalui jejaring kekuasaannya berhasil menyetir PPP dan PDI lewat Direktorat Sospol di TNI AD dan Kementerian Dalam Negeri. Identitas asli partai-partai yang berfusi pun perlahan digerus sehingga hanya menyisakan dua ideologi besar, yakni partai Islam dan partai nasionalis.

     Kemudian, dalam hal membungkam nalar-nalar kaum kritis pelajar, kita pun akan meliat suatu pola yang serupa dengan pola pembungkaman Orde Baru. Dalam demo tolak Omnibus Law misal. Dalam demo tersebut, atas nama "menolak demo anarkis" dan "menolak radikalisme", negara secara terang-terangan melarang keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi ini. Meskipun pada dasarnya pelajar juga berhak untuk mengikuti aksi demonstrasi, namun negara tetap melarangnya dengan ancaman dari aparat-aparat negara dan OSIS. Ini serupa dengan yang dilakukan Soeharto. Atas nama memulihkan “ketentraman dan ketertiban umum”, Soeharto melakukan pembersihan dan pembungkaman terhadap musuh-musuh politiknya.

     Apakah bukan suatu kebetulan apabila sentralisasi keorganisasian pelajar ini selaras dengan kepentingan rejim kediktatoran Soeharto untuk memusatkan kekuasaan di dalam tangannya? Apakah bukan suatu kebetulan pula apabila kelahiran Organisasi Siswa Intra Sekolah yang sentralistik ini didahului dengan kelahiran Orde Baru yang sama sentralistiknya? Tentu saja ini bukan suatu kebetulan. Apabila kita melihat semua ini, kita dapat menilai bahwa pada dasarnya OSIS memang merupakan sebuah organisasi bikinan pemerintahan ORBA dan bukan organisasi yang berasal dari pelajar. Sedari awal, OSIS memang tidak dirancang untuk mewakili suara-suara kaum pelajar, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan negara atas kehidupan pelajar. Dengan demikian, setelah hampir menginjak usia 23 tahun semenjak Reformasi '98, apakah OSIS masih perlu dipertahankan? Agaknya memang tidak.

SUMBER

● Budiarjo, Miriam,. (1998, 16 November). Demokrasi Di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Pancasila. PT Gramedia Pustaka Utama

Kompas.com. Pelajar SMK-SMA Ikut Demo, Khofifah Minta OSIS dan Komite Sekolah Turun Gunung. https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/surabaya/read/2020/10/13/21355951/pelajar-smk-sma-ikut-demo-khofifah-minta-osis-dan-komite-sekolah-turun. Akses 31/01/2021

Tirto.id. Sejarah Pemilu 1977: Taktik Fusi Parpol ala Soeharto & Orde Baru. https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/sejarah-pemilu-1977-taktik-fusi-parpol-ala-soeharto-orde-baru-dl3V. Akses 31/01/2021

Tirto.id. Membungkam Pengkritik: Gaya Rezim Orde Baru Melanggengkan Kekuasaan. https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/membungkam-pengkritik-gaya-rezim-orde-baru-melanggengkan-kekuasaan-eL7f. Akses 31/01/2021

Wirahadie.com. Sejarah Terbentuknya OSIS. https://www.google.com/amp/s/wirahadie.com/sejarah-terbentuknya-osis/amp/. Akses 31/01/2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau