Langsung ke konten utama

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa yang mereka wartakan. 


     Narasi terkait “pembantaian” di Lapangan Tiananmen tersebut (kalau memang ada) didasarkan pada narasi fiktif tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika pemerintah Tiongkok pada akhirnya memutuskan untuk membersihkan alun-alun dari para pengunjuk rasa, pada tanggal 4 Juni 1989. Histeria yang ditimbulkan oleh penggambaran dramatis ini sangatlah efektif. Hampir semua sektor masyarakat dunia, termasuk sebagian besar kaum “kiri”, menerima presentasi imperialis tentang apa yang sebenarnya terjadi. Artikel ini secara singkat hendak merobohkan pandangan sesat tersebut dan menggambarkan ulang peristiwa ini secara gamblang.


     Dalam artikel ini, kita akan menggunakan pisau analisa Marxis buat 'membedahnya'. Di sini, kita tak akan melayangkan pandang kepada permasalahan kronologis, melainkan kita akan melayangkan pandang kepada masalah latar belakang ekonomis dan politis, beserta buah-buah pelajaran yang dapat kita petik. Mempercayai narasi imperialis tentu adalah suatu ketololan, melihat betapa seringnya mereka menipu kita, demi melayani kepentingan sempit mereka buat mengeksploitasi kelas pekerja. Apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa ini? Bagaimana latar belakang ekonomi-politiknya? Dan apa saja buah-buah yang dapat kita petik dari peristiwa ini?



BAGAIMANA ITU BISA TERJADI?


     Sebelum kita berbicara panjang-lebar soal peristiwa Tiananmen ini, ada baiknya bila kita memandang ke belakang terlebih dahulu, untuk melihat akar permasalahan ekonomi dan politiknya. Dalam tahun-tahun akhir di era pemerintahannya, Mao telah meninggalkan warisan yang buruk bagi Tiongkok. Dua peristiwa besar, yakni peristiwa "Lompatan Jauh ke Depan" dan "Revolusi Kebudayaan" telah menyebabkan kekacauan politik dan stagnasi produksi. Pendekatan yang subjektif dan ambisius atas keterbelakangan Tiongkok, serta konflik internal antar kekuasaan birokrat partai telah mendorong Tiongkok ke dalam jurang kemunduran. Terlepas dari kemajuan progresif dari revolusi 1949 yang setara dengan revolusi Bolshevik, Tiongkok telah jatuh ke dalam kemunduran. Ini merupakan suatu keniscayaan atas kelahiran Tiongkok sebagai negara buruh yang cacat, dengan mengambil contoh dari birokrasi Stalinis sebagai modelnya.


     Kondisi ketika meletusnya revolusi kebudayaan ini dapat digambarkan dalam kalimat-kalimat berikut: "Bangsa itu dalam kekacauan. Pada awal 1967, hampir semua Partai dan organisasi pemerintah telah dirampas dari kekuasaan mereka atau diorganisasi kembali secara drastis. Badan keamanan publik, protektorat dan pengadilan berhenti beroperasi, sementara kekerasan dan perselisihan sipil melanda negara. Produksi di pabrik, tambang, dan perusahaan lain terhenti, dan sistem komunikasi serta transportasi terganggu secara serius." (Zang)


     Pasca kematian Mao, faksi sentris yang dipimpin oleh Deng Xiaoping berhasil memperoleh pengaruh dan melaksanakan serangkaian reformasi. Secara khusus, mereka menerapkan kebijakan 'membuka diri' terhadap modal asing, dengan meningkatkan perdagangan dengan negara-negara kapitalis dan memungkinkan anasir ekonomi pasar berkembang di Tiongkok, di bawah kendali ketat negara buruh. Ekonomi pasar ini (yang beroperasi di Kawasan Ekonomi Khusus) adalah semacam 'api yang terkendali', di mana komando puncak perekonomian tetap berada di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PKT di bawah Deng mulai fokus pada pembangunan berkelanjutan dari 'Empat Modernisasi': pertanian, industri, pertahanan nasional, dan sains / teknologi.


     Meskipun berhasil membawa kestabilan yang sebelumnya sempat hilang, namun langkah-langkah reformasi ini kemudian membawa kesulitan nyata bagi banyak orang. Proses reformasi ini membawa inflasi yang serius dan peningkatan kesenjangan kekayaan secara cepat, ia juga menyebabkan banyak masalah korupsi, dan mengurangi standar hidup penduduk perkotaan. Penurunan standar hidup, kesenjangan sosial yang meningkat, birokrasi negara yang membelenggu masyarakat, dll, telah menjadi latar belakang ekonomi dan politik dari peristiwa ini. Ledakan protes kuat yang mengguncang Tiongkok selama tujuh minggu itu ditujukan kepada birokrasi PKT yang tidak kompeten dan korup: “Hampir semuanya berada dalam ruang lingkup ini: kampanye melawan korupsi, nepotisme, inflasi, kebrutalan polisi, birokrasi, hak istimewa pejabat (privilese), sensor media, pelanggaran hak asasi manusia, asrama mahasiswa yang sempit, dan penyempitan desakan demokrasi. Tetapi mengatakan demonstrasi itu untuk 'menuntut demokrasi' adalah penyederhanaan yang berlebihan." (James Kynge, FT 4 Juni 2009)


     Ketika reformasi pasar mulai terjadi, para birokrat PKT kemudian 'dibebaskan' dari pertanggungjawaban ekonomis kepada massa proletariat. Setelah membebaskan diri dari pertanggungjawaban tersebut, birokrasi Partai Komunis Tiongkok kemudian menjadi pelaku praktek korupsi yang semakin meluas. Karena para pejabat tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, mereka dapat mengambil hak istimewa, tunduk kepada suap, dan dapat menggunakan kendali mereka atas negara dan aparat ekonomi untuk mengumpulkan modal. Hal ini membuka celah di negara Tiongkok untuk modal swasta internasional dan pribumi, menciptakan sayap pro-kapitalis dari birokrasi yang terkait dengan kekuatan kapitalis di luar Partai Komunis. Hal inilah yang kemudian menjadi sasaran kemarahan dari para demonstran di kemudian hari. Praktek korupsi yang semakin menjadi-jadi, kesenjangan sosial yang melebar, dan hak istimewa para birokrat telah menjadi pemantik bagi gelombang demonstrasi akbar. 


     Protes Tiananmen yang dibuka dengan kematian Hu Yaobang ini — seorang birokrat 'liberal' yang dipermalukan karena menangani gelombang demonstrasi mahasiswa sebelumnya dengan terlalu lunak — dengan cepat menyebar ke para pekerja di puluhan kota di seluruh Tiongkok. Ketidakpopuleran “reformasi” pasar telah mendorong partisipasi kelas pekerja ke dalam protes Lapangan Tiananmen, yang diprakarsai oleh para mahasiswa itu. Partisipasi jutaan pekerja telah mengubah karakter dan signifikansi demonstrasi. Para pemimpin mahasiswa hanya bermaksud untuk menekan pemerintah agar mendapat lebih banyak ruang politik, sedikit reformasi pendidikan, dan mungkin beberapa pergantian personel di antara elit penguasa. Tetapi kekuatan sosial yang selaras di belakang gerakan mereka memiliki potensi untuk mencapai perubahan yang jauh lebih mendasar dalam masyarakat Tiongkok. Pimpinan PKT dengan tepat memandang partisipasi massa dari pekerja dan pengangguran sebagai ancaman yang berpotensi revolusioner terhadap pemerintahan mereka. 



BUKAN SUATU PERGERAKAN TUNGGAL


     Sebagian besar dari apa yang kita dengar tentang protes Tiananmen (termasuk dari kalangan 'kiri') pada umumnya selalu menggambarkan tentang kesatuan pergerakan dalam protes ini. Mereka seringkali menyederhanakan protes hanya menjadi "Otoritarianisme Vs. Demokrasi" di satu sisi, atau "Kapitalisme Vs. Sosialisme" di sisi lainnya. Namun, sejarah protes Tiananmen sejatinya lebih kompleks daripada yang kita kira. Alih-alih menjadi suatu pergerakan tunggal, protes Tiananmen pada dasarnya merupakan pergerakan yang kompleks dengan berbagai tuntutan yang kadangkala saling berkontradiksi.


     Setidaknya, terdapat dua pergerakan besar yang menjadi motor penggerak utama dalam protes Tiananmen ini. Yang pertama ialah pergerakan kaum mahasiswa, yang berpusat kepada tuntutan demokratisasi politik, sedangkan yang kedua ialah pergerakan kelas pekerja, yang berpusat kepada tuntutan demokratisasi ekonomi. Selain itu, terdapat perbedaan mendasar pula terkait sikap mereka terhadap reformasi pasar Tiongkok. Kebanyakan intelektual muda Cina menyambut baik “reformasi” ekonomi pasca-Mao yang berorientasi kepada pasar, yang mereka kaitkan dengan kebebasan pribadi yang lebih besar, dan mendukung perluasan reformasi itu. Massa pekerja, sebaliknya, menentang reformasi ini dan bereaksi terhadap efek negatif dari reformasi ini—meningkatnya inflasi, pengangguran di kalangan pemuda yang pertama kali memasuki pasar tenaga kerja, hilangnya jaminan kerja bagi pekerja di perusahaan milik negara maupun di sektor swasta yang sedang tumbuh, nepotisme dan korupsi yang meluas di kalangan pejabat PKT.


     Berkenaan dengan perbedaan mendasar tersebut, Ji Han merangkumnya sebagai berikut: "Perbedaan antara demokrasi yang diinginkan kaum buruh dan demokrasi yang diinginkan oleh mahasiswa adalah bahwa demokrasi yang pertama didasarkan pada kelas, sedangkan yang terakhir mengabaikan adanya pembagian kelas dalam masyarakat. Yang pertama mengacu pada demokrasi tempat kerja terlebih dahulu, yang terakhir adalah tentang kebebasan individu yang abstrak. Yang pertama adalah demokrasi yang menolak reformasi marketisasi, yang kedua menganut reformasi marketisasi. Juga, dengan makna ini, kita dapat mengatakan bahwa apa yang dikejar oleh kaum buruh adalah “demokrasi sosialis”, dan yang dikejar oleh para mahasiswa adalah “demokrasi liberal”." (Ji Han, China: the marginalized narrative of the June Fourth Movement – what occurred during the spring and summer of 1989 was in fact “two movements”)


     Tak hanya terkait tuntutan mereka dan sikap mereka terhadap reformasi pasar, perbedaan pergerakan kelas pekerja dan mahasiswa juga dapat dibedakan dengan sikap mereka terhadap birokrasi PKT. Hal ini dapat dilihat dari sikap mereka setelah Zhao Ziyang -salah seorang birokrat yang reformis- mengumandangkan sebuah pidato emosional di Lapangan Tiananmen. Setelah melakukan itu, para mahasiswa kemudian memberikan tepuk tangan yang meriah kepada Zhao Ziyang dan memilih untuk mendukung dia. Para mahasiswa beranggapan bahwa Zhao Ziyang pantas untuk dijadikan sekutu, dan menganggap bahwa Zhao Ziyang memang benar-benar berpihak kepada pergerakan Tiananmen ini.


     Mengomentari fenomena lucu tersebut, salah seorang pekerja berkata: "Tidak lama setelah Zhao Ziyang pergi [ke alun-alun] dan menangis, kata-kata para mahasiswa berubah. Sekarang mereka mengatakan bahwa Zhao Ziyang akan disingkirkan dari kekuasaan, bahwa Zhao Ziyang baik, bahwa kita harus melindunginya. Kami segera mengatakan dalam siaran kami bahwa, sepanjang gerakan, kami tidak pernah menuntut pemecatan satu orang atau promosi satu orang. Jika Anda melakukan kesalahan, Anda harus mengakuinya kepada orang- orang. Orang-orang biasa ingin melihat apakah pencapaian atau kesalahan Anda lebih besar... Pada saat itu, kami mengira Zhao Ziyang datang ke alun-alun untuk menipu orang, karena dia tahu bahwa kariernya sudah selesai. Seorang pekerja berbicara di 'forum demokrasi' kami dan mengatakan bahwa kami tidak menganggap bahwa setiap orang yang meneteskan air mata harus menjadi orang baik. Jika Zhao Ziyang tidak datang, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Anda masih akan berteriak 'turun dengan Zhao Ziyang'? Li Peng pergi [ke alun-alun] juga, tapi dia tidak meneteskan air mata. Jika Li Peng menangis, apa yang akan kamu katakan sekarang?" (Andrew G. Walder and Gong Xiaoxia, Workers In The Tiananmen Protests: The Politics Of The Beijing Workers' Autonomous Federation).


     Para Pekerja tidak memiliki ilusi akan kemurahan hati birokrat PKT. Berbeda dengan para mahasiswa yang bersikap ambigu dan lembek, Kelas Pekerja di Tiongkok mewarisi ketegasan dan kemandirian politik. Mereka menganggap bahwa seluruh pentolan dari birokrat PKT sebagai sama: "Ketika gongzilian (Serikat Pekerja Otonom Beijing, Red.) aktif, kami tidak menginginkan Deng Xiaoping, dan kami juga tidak menginginkan Zhao Ziyang. Meskipun dia datang ke alun-alun dan menangis, kami merasa dia melakukannya dengan motif. Kami menentang korupsi pejabat, dan anak-anaknya korup... Ada orang-orang yang membagi pemerintahan menjadi faksi: faksi reformasi, faksi konservatif, faksi otoriter baru, faksi moderat, dll... Partai Komunis adalah satu faksi, 'faksi merugikan rakyat' [ hairen pai ]... Beberapa orang di pemerintahan itu baik, tapi siapa yang baik dan siapa yang tidak, saya tidak tahu. Di alun-alun, saya pikir titik awal para reformis itu baik, tetapi apa yang dibawa reformasi kepada rakyat? Para reformator dan Deng Xiaoping bernafas dari lubang hidung yang sama. Ketika Anda pergi bekerja, apakah Anda mengendarai sepeda atau naik mobil? Apa yang Anda miliki di lemari es Anda di rumah? Reformasi telah membawa krisis; para reformis tahu itu bahkan lebih jelas daripada Deng Xiaoping. Anda mengacaukan reformasi, dan sekarang Anda ingin mengambil keuntungan dari gerakan untuk mengalihkan kesalahan ke kelompok lain. Tidak mungkin. Siapa yang kita lawan? Kami menentang Anda!" (Andrew G. Walder and Gong Xiaoxia, Workers In The Tiananmen Protests: The Politics Of The Beijing Workers' Autonomous Federation).


     Akan tetapi, meskipun demikian, para mahasiswa sendiri sejatinya tidak sepenuhnya terkontaminasi dengan ide-ide demokrasi borjuis ini. Mereka bukanlah kelompok monolitik. Mereka sendiri masih dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, seperti kelompok Maois, kelompok non-ideologis (tak memiliki pandangan politk yang jelas) yang menderita kelesuan ekonomi sebagai akibat dari reformasi pasar Deng Xiaoping, kelompok yang hanya keluar untuk hang out, bersosialisasi dan bersenang-senang, dll. Namun, sebagian besar dari para mahasiswa ini memang didominasi oleh pemuda-pemuda idealis yang sangat menginginkan demokrasi borjuis, kebebasan berpendapat, kebebasan pers dll. Kelompok-kelompok mahasiswa yang beragam ini berada di bawah kepemimpinan mahasiswa reaksioner, yang sama idealisnya dengan pemuda-pemuda lainnya dan memiliki koneksi dengan kaum imperialis.


     Dengan melihat fakta sejarah ini, kita dapat mengatakan lagi bahwa protes Tiananmen sejatinya bukanlah suatu pergerakan tunggal. Para mahasiswa dan pekerja, meskipun bergerak pada waktu dan ruang yang sama, serta berinteraksi antara satu dengan yang lainnya (seperti dalam partisipasi skala besar sejak pertengahan Mei awalnya untuk mendukung dan melindungi mahasiswa), tidak pernah seiringan. Antara mahasiswa dan pekerja tidak ada rasa saling percaya, tidak cukup komunikasi, tidak ada kerjasama di tingkat strategis, dan tidak ada rasa “berjuang bersama” dalam solidaritas.


     Oleh karena itu, tak aneh bila kemudian para mahasiswa dengan tegas menolak pemogokan umum buruh dan menganggapnya sebagai “menimbulkan masalah". Tak aneh pula jika para pekerja merasa jijik dengan pergerakan mahasiswa yang elitis, eksklusif, dan hierarkis, serta menganggap aneh gelar-gelar bagi kepemimpinan mahasiswa, seperti 'Panglima Umum', 'Ketua' dan sebagainya. Kedua pergerakan ini mewakili kepentingan kelas yang berbeda dan bertentangan, dan oleh karena itu, mustahil buat disatukan.



SUATU PENUMPASAN PERGERAKAN MAHASISWA?


     Salah satu fakta mendasar lain yang selalu ditutup-tutupi oleh kaum imperialis adalah TIDAK ADANYA PEMBANTAIAN DI LAPANGAN TIANANMEN. Sayangnya, sebagian besar media yang ada, termasuk media kiri sekalipun, dengan amat menjijikkan telah mewartakan pandangan sesat terkait protes Tiananmen ini. Mereka mengatakan bahwa itu adalah pembantaian mahasiswa oleh pemerintah China. Itu salah. Para mahasiswa diizinkan untuk meninggalkan Lapangan Tiananmen dengan damai. Apa yang terjadi adalah sebelum unit militer sampai ke Lapangan Tiananmen, mereka kembali bertemu dengan ledakan massa di lingkungan sekitarnya. Mereka mengarahkan senjata mereka pada populasi kelas pekerja Beijing yang tengah berusaha untuk memblokir kedatangan unit militer. Para pekerjalah yang menanggung beban penindasan malam itu. 


     Ini ditegaskan oleh kesaksian jurnalistik dan diplomatik pada saat itu, yang dirahasiakan sampai akhirnya kabel diplomatik itu bocor: "MESKIPUN TEMBAKAN TEMBAKAN BISA DIDENGAR, GALLO MENGATAKAN BAHWA TERLEPAS DARI BEBERAPA TINDAKAN SISWA, TIDAK ADA TEMBAKAN MASSAL KE KERUMUNAN SISWA DI MONUMEN. KETIKA POLOFF MENYEBUT BEBERAPA LAPORAN SAKSI MATA PEMBUNUHAN DI MONUMEN DENGAN SENJATA OTOMATIS, GALLO MENGATAKAN BAHWA TIDAK ADA PEMBUNUHAN TERSEBUT." (N/A 1989. LATIN AMERICAN DIPLOMAT EYEWITNESS ACCOUNT OF JUNE 3-4 EVENTS ON TIANANMEN SQUARE)


     Salah seorang koresponden BBC Beijing yang bernama James Miles telah merefleksikan kejadian tersebut dan menyatakan bahwa "Tidak ada pembantaian di Lapangan Tiananmen" : "Demikian halnya dengan pembantaian di Beijing pada tanggal 3 dan 4 Juni 1989. Saya adalah salah satu wartawan asing yang menyaksikan kejadian malam itu. Pembantaian itu adalah puncak dari demonstrasi yang dipimpin mahasiswa selama berminggu-minggu. Kami mendapatkan cerita secara umum benar, tetapi pada satu detail saya dan yang lain menyampaikan kesan yang salah. Tidak ada pembantaian di Lapangan Tiananmen." (James Miles, Tiananmen killings: Were the media right?)


     Tak hanya itu. Jay Mathews, kepala biro Beijing dari The Washington Post pada tahun 1989, kemudian mengakui bagaimana dia dan rekan-rekannya membentuk narasi yang menjadi dominan: 


     "Mungkin laporan yang paling banyak disebarluaskan pertama kali muncul di pers Hong Kong: seorang mahasiswa Universitas Qinghua menggambarkan senapan mesin menembaki mahasiswa di depan Monumen Pahlawan Rakyat di tengah alun-alun. The New York Times memberikan tampilan yang menonjol pada versi ini pada 12 Juni, hanya seminggu setelah kejadian, tetapi tidak ada bukti yang ditemukan untuk mengkonfirmasi laporan atau memverifikasi keberadaan tersangka saksi. Reporter Times, Nicholas Kristof, menentang laporan itu keesokan harinya, dalam sebuah artikel yang dimuat di bagian bawah halaman dalam; mitos itu tetap hidup. Pemimpin mahasiswa Wu'er Kaixi mengatakan dia telah melihat 200 siswa ditebas oleh tembakan, tetapi kemudian terbukti bahwa dia meninggalkan alun-alun beberapa jam sebelum peristiwa yang dia gambarkan diduga terjadi. 


     "Sebagian besar dari ratusan wartawan asing malam itu, termasuk saya, berada di bagian lain kota atau dipindahkan dari alun-alun sehingga mereka tidak bisa menyaksikan bab terakhir dari kisah mahasiswa itu. Mereka yang mencoba untuk tetap dekat mengajukan laporan dramatis yang, dalam beberapa kasus, menopang mitos pembantaian mahasiswa." (Jay Mathews, 2010. The Myth of Tiananmen and the price of a passive press)


     Namun, apakah tidak ada pembantaian, atau setidaknya korban jiwa sama sekali? ADA, tentu saja. Dan sebagian dari mereka adalah milisi militer itu sendiri. Sebagaimana yang dilaporkan oleh The Wall Street Journal bahwa: "Saat barisan tank dan puluhan ribu tentara mendekati Tiananmen, banyak pasukan diserang oleh massa yang marah dan berteriak, "Fasis". Lusinan tentara ditarik dari truk, dipukuli habis-habisan, dan dibiarkan mati. Di persimpangan barat alun-alun, tubuh seorang prajurit muda, yang telah dipukuli sampai mati, ditelanjangi dan digantung di sisi bus. Mayat prajurit lain digantung di persimpangan timur alun-alun." (James P. Sterba, Adi Ignatius, and Robert S. Greenberger,. 1989. Class Struggle: China's Harsh Actions Threaten to Set Back 10-Year Reform Drive — Suspicions of Westernization Are Ascendant, and Army Has a Political Role Again — A Movement Unlikely to Die)


     Faktanya, tidak ada pembantaian di Lapangan Tiananmen. Pembantaian tersebut terjadi di tempat lain, dan itu tidak diarahkan bagi para mahasiswa: "Saya sedang ditawan oleh pasukan tentara Tiongkok di serambi selatan Aula Besar Rakyat (yang membentuk salah satu perbatasan Alun-alun) ketika rentetan tembakan itu terjadi. Aku bisa mendengarnya, tapi aku tidak bisa melihat ke dalam Alun-alun. Sekitar empat puluh menit kemudian, Derek Williams dan saya dibawa dengan sepasang jip tentara melewati alun-alun, hampir sepanjang jalan, dan masuk ke Kota Terlarang.


     "Fajar baru saja menyingsing. Ada ratusan tentara di alun-alun, banyak yang duduk bersila di trotoar dalam barisan melengkung panjang, beberapa membersihkan puing-puing. Ada beberapa tank dan pengangkut personel lapis baja. Tapi kami tidak melihat mayat, orang yang terluka, ambulans atau tenaga medis — singkatnya, tidak ada yang menunjukkan, apalagi membuktikan, bahwa "pembantaian" baru-baru ini terjadi di tempat itu.


     "Tapi tidak diragukan lagi banyak orang dibunuh oleh tentara malam itu di sekitar Lapangan Tiananmen, dan dalam perjalanan ke sana — kebanyakan di bagian barat Beijing. Mungkin, bagi sebagian orang, kenyamanan dapat diambil dengan kenyataan bahwa pemerintah juga menyangkal hal itu." (Richard Roth, 2009. There Was No "Tiananmen Square Massacre")


     Seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, korban yang berjatuhan dari konflik berdarah ini sejatinya tidak dialami oleh para mahasiswa, melainkan oleh kelas pekerja. Tujuan dari penumpasan ini tak lain adalah untuk meredam kekuatan revolusioner kelas pekerja yang dapat membahayakan kekuasaan politik birokrasi PKT. Jay Mathews dalam artikel yang sama juga menjelaskan fakta ini: "Black dan Munro mengatakan, “yang terjadi bukanlah pembantaian terhadap mahasiswa, tetapi terhadap pekerja dan penduduk biasa—tepatnya target yang dimaksudkan oleh pemerintah China.” Mereka berpendapat bahwa pemerintah keluar untuk menekan pemberontakan pekerja, yang jauh lebih banyak dan lebih banyak marah daripada para mahasiswa. Ini adalah cerita yang lebih besar yang kebanyakan dari kita diabaikan atau diremehkan." (Jay Mathews, 2010. The Myth of Tiananmen and the price of a passive press)


     Kekuatan revolusioner dari massa rakyat pekerja memang sangatlah besar. Selain dapat melakukan pemogokan umum yang dapat melumpuhkan jalannya perekonomian Tiongkok, mereka juga bisa menetralisir kekuatan militernya. Hal itu terbukti ketika pemerintah Tiongkok memberlakukan darurat militer pada tanggal 20 Mei. Ketika unit besar Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) melaju ke Beijing dengan kekuatan penuh, banyak pekerja dan warga yang secara spontan menghentikannya di sepanjang pinggiran kota. Mereka membentuk perisai manusia, dan menumpuk barikade untuk menghentikan militer maju lebih jauh. Mereka menawarkan makanan dan perbekalan kepada para prajurit, membangun persahabatan dan kepercayaan dengan mereka. Dengan empati dan alasan yang menggugah, mereka membujuk para prajurit untuk menjatuhkan senjata mereka. Dengan kata lain, pada awal pemberlakuan darurat militer, ketika bahaya situasi meningkat pesat, yang berani menentang dan berkomunikasi dengan organ kekerasan nasional terkuat bukanlah mahasiswa, tetapi para pekerja. Dan para pekerja memang memperoleh kesuksesan sementara: tentara dihentikan.


     Perintah birokrat PKT untuk tindakan keras militer pada dasarnya telah diabaikan. Tidak hanya unit-unit militer yang berkelana ke ibu kota, para pekerja dan manajemen kereta bawah tanah juga menolak untuk mengangkut para tentara di bawah tanah. Angkatan Darat ke-38, yang berbasis di Beijing dan mencakup banyak anggota wajib militer dari ibukota, dilaporkan menolak untuk bergerak dalam kerumunan. Tujuh pensiunan perwira senior PLA menulis surat kepada Deng untuk memprotes penggunaan Tentara Rakyat terhadap rakyat. Surat tersebut juga ditandatangani oleh lebih dari 100 perwira yang sama-sama menentang membawa pasukan ke ibukota: “Tentara sama sekali tidak boleh menembak orang-orang” (New York Times, 23 Mei). Pembebasan Paris (18 Mei) mengutip seorang mantan perwira yang mengatakan, “situasi di Tiongkok saat ini agak mirip dengan Hongaria pada tahun 1956, kecuali tidak ada kemungkinan intervensi Soviet untuk menyelamatkan rezim.”


     Namun sayang. Pada akhirnya, Deng Xiaoping beserta antek-antek birokrat lainnya berhasil memperoleh unit-unit militer yang masih setia kepada mereka, dan berhasil melakukan penumpasan bagi pergerakan kelas pekerja. Sejak saat itu, mereka mulai melakukan penangkapan massal bagi mereka-mereka yang dianggap terlibat dalam pergerakan protes Tiananmen, dan mengeksekusi mereka. Sekali lagi, para pekerja merupakan korban yang sesungguhnya dari peristiwa ini.



MENIMANG-NIMANG ULANG


     "Lalu? Apa pentingnya?!?!? Bukankah peristiwa pembantaian itu tetap terjadi? Bukankah itu merupakan suatu kekejaman yang tak terampuni? Dasar kaum Marxis munafik!!" Teriak kaum reaksioner dengan muka memerah. Namun, benarkah perbedaan narasi pembantaian ini tidaklah penting?  Siapakah sesungguhnya yang munafik? Mari kita lihat dengan menggunakan metode lain, dengan cara membandingkannya dengan peristiwa yang serupa. 


     Sepanjang 18 Mei hingga 27 Mei 1980, kediktatoran militer Republik Korea yang didukung oleh AS telah menjatuhkan Gerakan Demokratisasi Gwangju, yang telah memakan korban dengan jumlah yang serupa: "Pada tanggal 17 Mei 1980, darurat militer dideklarasikan oleh para pemimpin militer Korea Selatan yang mencoba untuk memadamkan tuntutan yang meningkat dari rakyat untuk demokratisasi. … Angka resmi menyebutkan jumlah korban tewas 200, dengan 1.000 pemrotes lainnya terluka. Tapi menurut perkiraan lain antara satu dan dua ribu benar-benar mati." (BBC News, Flashback: The Kwangju massacre)


     Selanjutnya, pada tanggal 27 Februari 1989, hanya beberapa bulan sebelum protes Tiananmen, pemerintah sayap kanan Venezuela, Carlos Andrés Pérez, mulai menerapkan program terapi kejut ekonomi dukungan AS yang disebut The Great Turn. Hal ini mengakibatkan gelombang protes yang berlangsung selama 9 hari, di mana para demonstran dibantai oleh militer Venezuela: "Angka resmi awalnya menyebutkan jumlah korban tewas sekitar 300, tetapi kelompok hak asasi manusia memperkirakan itu jauh lebih tinggi. Dalam pernyataan hari Selasa, pemerintah mengatakan sekitar 1000 orang telah tewas." (Aljazeera, Relief for Venezuelan riot-hit families)


     Atau, tak perlu jauh-jauh ke negara lain, Indonesia pun juga pernah mengalami pembantaian yang serupa, di mana korbannya justru JAUH LEBIH BANYAK. Pada tahun-tahun setelah peristiwa malam jahanam itu (GESTOK), aparat TNI yang dibantu oleh kekuatan imperialis AS telah melakukan pembantaian sistematis yang menargetkan kaum kiri, khususnya kaum Komunis. Korban dari pembantaian 5 tahun ini telah memakan korban antara 500.000 hingga 1 juta orang! Sungguh amat sangat banyak bukan? 


     Lalu, berapa banyak korban dari protes Tiananmen ini? Mari kita lihat: "Nicholas Kristof dari New York Times, yang melakukan beberapa pekerjaan detektif mengagumkan di rumah sakit Beijing pada minggu-minggu setelah pembantaian, mengatakan dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 21 Juni 1989 bahwa "tampaknya masuk akal bahwa sekitar selusin tentara dan polisi tewas, bersama dengan 400 hingga 800 warga sipil"." (James Miles, Tiananmen killings: Were the media right?). Seorang diplomat Barat menyebutkan jumlah korban antara 300 hingga 1.000 orang, sementara perkiraan Amnesty International menyebutkan jumlah kematian antara beberapa ratus dan mendekati 1.000. (Time, How Many Really Died? Tiananmen Square Fatalities)


     Tentu, bukan maksud kita untuk melakukan adu jumlah korban, seperti halnya kita ketika melakukan adu nasib antara satu sama lain. Namun, yang jadi persoalan ialah, mengapa peristiwa-peristiwa lain, yang sama-sama memakan jumlah korban yang banyak, bahkan ada yang jauh lebih besar (500.000!!) itu tidak diberitakan? Setiap upaya serius dalam menghubungkan tragedi Tiananmen dengan tragedi-tragedi yang serupa pasti akan memberikan kebenaran sederhana bahwa, apa yang telah membuat Tiananmen menjadi peristiwa luar biasa dalam sejarah modern tidak ada hubungannya dengan kebrutalannya, atau bahwa itu terjadi dalam periode yang kita bayangkan secara mundur sebagai damai, atau kebajikan mahasiswa yang jatuh. Apa yang membuatnya menjadi makanan pokok tahunan media borjuis hanyalah kegunaannya dalam menghancurkan solidaritas proletar internasional dengan China, dan dengan demikian menjaga stabilitas pemerintahan borjuis di Barat. 



APA YANG HARUS DILAKUKAN?


     Pelajaran utama dari protes ini dan tugas mendesak bagi para pekerja di seluruh dunia (termasuk di Indonesia!) adalah pembentukan partai kepeloporan komunis yang otentik. Tanpa sebuah partai yang mengkonsolidasikan perspektif ini, yang menjadi ujung tombak bagi perjuangan kelas pekerja, maka elemen-elemen kelas pekerja akan menjadi terpecah belah dan dapat menjadi terdemoralisasi. Beberapa dari mereka bahkan mungkin tergoda oleh elemen-elemen pro-kapitalis, yang programnya, meskipun nampaknya progresif, namun sangat kontrarevolusioner.


     Terkait tugas kepeloporan ini, kita dapat membandingkannya dengan beberapa sikap dari sebagian kaum 'kiri' atas protes Tiananmen ini. Di satu sisi, mereka menyatakan bahwa pergerakan Tiananmen ini sepenuhnya progresif dan patut kita dukung. Di sisi lain, ada juga yang menyatakan bahwa pergerakan ini sepenuhnya reaksioner dan ditunggangi oleh imperialis, dan oleh karena itu harus kita tentang. Kedua pandangan ini, meskipun nampaknya berseberangan, pada dasarnya berdiri di atas fondasi yang sama. Mereka pada dasarnya memiliki sikap yang idealis, tanpa melakukan "analisis konkret dari situasi konkret" (Lenin).


     Terkait tuduhan yang terakhir, memang tak diragukan lagi. Sebagian anasir dari pergerakan ini memang memainkan peran yang reaksioner, dalam hal ini adalah dari kalangan para mahasiswa. Salah satu pemimpin mahasiswa, Chai Ling, mengatakan dalam sebuah wawancara: “Saya ingin memberi tahu mereka [para mahasiswa] bahwa kami mengharapkan pertumpahan darah, bahwa itu akan membutuhkan pembantaian, yang akan menumpahkan darah seperti sungai melalui Lapangan Tiananmen, untuk membangunkan rakyat. Tapi bagaimana saya bisa memberitahu mereka ini? Bagaimana saya bisa memberi tahu mereka bahwa hidup mereka harus dikorbankan untuk menang?” (Interview at Tiananmen Square with Chai Ling) 


     Pergerakan para mahasiswa jelas memainkan peran yang reaksioner, sebab pergerakan mereka amatlah eksklusif dan elitis. Jauh dari tuduhan palsu, hal ini telah diakui dengan senang hati oleh Wang Dan, seorang pemimpin mahasiswa di Tiananmen, dalam sebuah wawancara dengan New York Times pada tahun 1989: "Gerakan ini belum siap untuk partisipasi pekerja karena demokrasi harus terlebih dahulu diserap oleh mahasiswa dan intelektual sebelum mereka dapat menyebarkannya kepada orang lain." (Sheryl Wudunn, 1989. A Portrait of a Young Man as a Beijing Student Leader). Suatu pengakuan yang amat jujur!! Terima kasih!!


     Setelah peristiwa malam jahanam tersebut, CIA berkoordinasi dengan badan-badan intelijen Inggris, Kanada, Australia, Jerman dan negara-negara imperialis lainnya untuk mengevakuasi Chai Ling dan aset-aset penting lainnya. Melalui operasi Yellow Bird, Chai Ling dan antek-antek mahasiswa reaksioner lainnya akhirnya berhasil keluar dan hidup dalam perlindungan negara imperialis, sambil mewartakan kebohongan-kebohongan terkait "Pembantaian mahasiswa demokratik di Lapangan Tiananmen". Apakah para mahasiswa ini (khususnya pimpinan-pimpinannya) pantas disebut sebagai revolusioner? Merupakan suatu ketololan bila kita mengatakan bahwa pergerakan ini sepenuhnya revolusioner!!


     Namun, tentu saja, tidak semua anasir dalam pergerakan ini memainkan peran yang reaksioner. Kelas pekerja merupakan anasir yang memainkan peran revolusioner, dan oleh karena itu harus kita dukung. Sikap kita terhadap kepentingan kelas inilah yang menjadi tolok ukur mutlak untuk menilai seberapa jauh kepeloporan revolusioner kita bagi kelas pekerja. Hanya dengan menjunjung tinggi kepentingan kelas pekerja, tanpa mencampuradukkannya dengan kepentingan-kepentingan reaksioner lainnya, kita baru dapat disebut sebagai revolusioner. 


     Tugas utama kita sebagai kepeloporan revolusioner proletariat bukanlah melakukan aksi demonstrasi "solidaritas Tiananmen" di depan kedutaan besar Tiongkok untuk para pekerja di sana, apalagi sampai ikut-ikutan melakukan peringatan tahunan buat mengenangkan korban pekerja Tiananmen. Bukan itu, melainkan merobohkan borjuasi di masing-masing negeri dan menelanjangi posisi-posisi oportunisme, sosial-sovinisme, serta 'kiri' kekanak-kanakan di negara kita sendiri, yang telah memainkan peran sebagai musuh dalam selimut. Di bawah panji-panji Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky, wujudkan partai kepeloporan revolusioner baru dan internasionalisme proletariat!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau