Langsung ke konten utama

EKONOMI-POLITIK MARXIS


II. ASAL-USUL EKONOMI-POLITIK MARXIS



2.1. Pengantar

Tujuan bagian ini adalah untuk menjelaskan asal-usul dari EPM. Di bagian 2.2., kita akan melihat dasar permasalahan dalam ilmu ekonomi, yaitu permasalahan nilai. Dari aspek sejarah pemikiran ekonomi, beberapa komentator menunjukkan bahwa Aristoteles adalah pemikir yang pertama kali mengetengahkan persoalan nilai ini, kendati masih secara implisit. Selanjutnya, di bagian 2.3., kita akan melihat bagaimana Aristoteles membedakan antara kegiatan ekonomi (oikonomike tekhne) dengan kegiatan khrematistik (khrematistike tekhne). Aristoteles menganggap bahwa kegiatan ekonomi merupakan perkara ‘pemenuhan kebutuhan alamiah manusia’, dan oleh karenanya, memiliki batas. Sedangkan, kegiatan khrematistik berurusan dengan pencarian kekayaan melalui penimbunan uang, oleh karenanya, tak memiliki batas. Di bagian ini, kita akan melihat bagaimana persoalan nilai itu dikaitkan dengan distingsi Aristoteles antara ekonomi dan khrematistik. Lalu, di bagian 2.4., kita melihat bagaimana para ekonom klasik seperti William Petty, Adam Smith, dan David Ricardo mencoba menyelesaikan permasalahan nilai yang belum sempat dituntaskan oleh Aristoteles ini dengan alternatif teori nilai kerja mereka.[1] Di bagian akhir, kita akan melihat rangkuman dari seluruh bagian asal-usul EPM ini secara menyeluruh.


2.2. Permasalahan Nilai Dalam Komoditas

Nilai merupakan suatu hal yang mendasar dalam ilmu ekonomi. Nilai dapat dikatakan sebagai batu fondasi realitas ekonomi dan objek utama ilmu ekonomi. Hal ini terjadi karena persoalan nilai adalah persoalan keseukuran (commensurability) antar barang/jasa yang dipertukarkan. Oleh karena keseukuranlah yang memungkinkan pertukaran barang/jasa tersebut, maka nilai merupakan syarat minimal bagi setiap relasi ekonomi (sejauh relasi ekonomi dimengerti sebagai relasi pertukaran barang/jasa kebutuhan, yang kini biasanya disebut ‘komoditas’). Selain itu, nilai adalah komponen dasar dari konsep kekayaan (wealth) dan karena kekayaan adalah objek kajian ekonomi-politik (Klasik) dan ilmu ekonomi (Neo-klasik), maka nilai adalah objek fondasional dalam ilmu ekonomi. Oleh karena itu, teori nilai adalah landasan teoretik ilmu ekonomi itu sendiri.

     Banyak dari kalangan komentator ekonomi (termasuk Karl Marx) yang menyatakan bahwa Aristoteles adalah pemikir yang pertama kali mengetengahkan persoalan nilai ini, kendati masih secara implisit.
Aristoteles memang tidak pernah secara langsung mendiskusikan persoalan nilai dalam ekonomi (bahkan istilah ‘nilai’ (aksia) sendiri tak pernah ia pakai dalam pembahasannya tentang ekonomi). Teks Aristoteles yang paling mendekati persoalan nilai adalah Etika Nikomakhea Buku V, 1132b22-1133b28. Dalam teks tersebut, Aristoteles ingin mengajukan sebuah pertanyaan kunci dalam permasalahan nilai ini, yaitu mengapa barang-barang yang secara riil memiliki kegunaan yang berbeda dapat dipertukarkan? Yang menjadi pokok persoalan bagi Aristoteles ialah, bagaimana menentukan adil atau tidaknya sebuah pertukaran komersial di antara dua pihak? Di sinilah persoalan nilai muncul.

     Dalam Etika Nikomakhea, Aristoteles menyatakan bahwa “tidak ada pertukaran tanpa kesetaraan dan tidak ada kesetaraan tanpa keseukuran” (Etika Nikomakhea 1133bl718). Dalam kalimat tersebut, Aristoteles menyatakan bahwa suatu pertukaran dapat terjadi karena barang-barang yang ditukarkan tersebut memiliki keseukuran yang sama. 7 Kg beras dan 1 buah kemeja (misalkan), dapat dipertukarkan karena keduanya dapat disetarakan (senilai atau seukur), sehingga pertukaran dapat terjadi. Seorang petani menghasilkan produk yang berbeda secara kualitatif dari yang dihasilkan oleh seorang pembuat kemeja. Produk-produk yang berbeda jenis itu, agar dapat dipertukarkan, mestilah seukur satu sama lain. Sebuah pertukaran baru dapat disebut adil apabila pertukaran itu dilangsungkan sesuai dengan proporsi keseukuran barang-barang yang mau dipertukarkannya. Jika tidak demikian, maka salah satu dari kedua pihak yang melakukan pertukaran tersebut akan mengalami kerugian. Hubungan itu, kata Aristoteles, mensyaratkan kesetaraan barang yang mau dipertukarkan.

     Namun, apa yang dimaksud Aristoteles dari kata 'seukur' ini? Dalam Metafisika, Aristoteles berbicara tentang keseukuran ini. Aristotes mengemukakan bahwa keseukuran adalah yang satu sebagai ukuran bagi segala kuantitas. “Ukuran,” demikian tulis Aristoteles, “adalah hal yang melaluinya kuantitas diketahui; dan kuantitas sebagai kuantitas diketahui entah melalui sebuah ‘satu’ atau melalui sebuah bilangan, dan semua bilangan diketahui melalui sebuah ‘satu’. Karenanya, semua kuantitas sebagai kuantitas diketahui melalui yang satu”. Ukuran, dengan demikian, tersusun oleh satuan terkecil yang sama-sama dimiliki oleh setiap hal yang mau diukur. Satuan ukuran terkecil berkenaan dengan apa yang disebut Aristoteles sebagai 'hal yang melandasi' (hupokeimenon; substratum', underlying thing) (1087b3). Keseukuran berarti adalah ‘hal yang melandasi’ karena ukuran “pastilah merupakan sesuatu yang dapat disifatkan pada semua yang sejenis”. Mengukur berarti menerapkan predikat pada sesuatu, menyifatkannya, dan pemberian predikat hanya dimungkinkan apabila ada subjek atau ‘hal yang melandasi’, yang menjadi penerima predikat tersebut. Dua hal dapat dikatakan seukur hanya jika terdapat sebuah himpunan yang elemennya adalah sifat-sifat yang sama-sama dimiliki keduanya sehingga keduanya dapat diukur dan diperbandingkan berdasarkan himpunan sifat-sifat tersebut. Sebagai contoh, 2 buah tongkat dengan panjang 3 meter dan 5 meter merupakan 2 benda yang berbeda, namun kedua barang ini memiliki basis keseukuran yang sama (senilai) dalam satuan meter. Teori tentang keseukuran, karenanya, adalah pada dasarnya suatu teori tentang substansi sebagai substratum (hupokeimenon).

     Oleh karena itu, membicarakan permasalahan nilai dalam komoditas berarti sama saja membicarakan permasalahan keseukuran antar komoditas, yang tak lain adalah permasalahan suatu substansi umum dari adanya komoditas (substansi sebagai substratum). Substratum adalah landasan umum yang menjadi basis keberadaan benda-benda. Oleh karena landasan umum inilah setiap benda dapat diperbandingkan dan disifatkan. Karena substratum adalah landasan umum yang menjadi basis keberadaan benda-benda, maka substratum sekaligus merupakan syarat minimal bagi adanya sesuatu yang diperlukan bagi mungkinnya pensifatan atas segala yang bertumpu padanya. Keseukuran dapat dilihat sebagai substratum karena keseukuran, seperti substratum, digambarkan sebagai ‘hal yang melandasi’ yang “dapat disifatkan pada semua yang sejenis”. Mengatakan bahwa dua hal seukur berarti mengatakan bahwa keduanya bertumpu pada satu landasan yang sama, yang menjadi sumber keberadaan keduanya. Keseukuran, sebagai sumber keberadaan, adalah sama dengan substratum.


2.3. Persoalan Keseukuran & Distingsi Ekonomi-Khrematistik

Keseukuran, seperti telah dibahas sebelumnya, mengindikasikan adanya suatu landasan umum yang menautkan hal-hal yang berlainan. Landasan umum atau substratum inilah yang dipertanyakan dalam ilmu ekonomi dengan teori nilai. Namun, apa yang menjadi landasan umum itu? Aristoteles, tidak memberikan jawaban definitif atas pertanyaan ini. Di satu tempat ia menerangkan keseukuran berdasarkan kebutuhan (bahwa barang-barang yang berbeda itu sama-sama menjadi objek kebutuhan manusia), tetapi di tempat lain ia juga menyebutkan peran kerja (dalam wujud rasio antara jumlah tukang bangunan dan pembuat sepatu) (bdk. Etika Nikomakhea 1133a2530 dan 1133a22-23). Berikut ini kita akan memeriksa bagaimana persoalan keseukuran tersebut muncul kembali dalam uraian Aristoteles tentang hakikat ekonomi. 

     Pandangan Aristoteles tentang hakikat ekonomi tertuang dalam Politik, khususnya Buku I, 1256al-1258b7. Di sana ia memilah antara ‘ilmu pengelolaan rumahtangga’ (ekonomi) dan 'ilmu pencarian kekayaan' (khrematistik). Ekonomi (oikonomia, yang berarti: pengaturan atau pengelolaan rumahtangga; oikos: rumah, rumahtangga; nomos: pengaturan, aturan, hukum) berkenaan dengan perkara ‘pemenuhan kebutuhan alamiah manusia’ (1257a30) dan, oleh karenanya, memiliki batas (1257b31-32). Batas tersebut tercapai ketika manusia sudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Aristoteles menyatakan bahwa ilmu pengaturan rumah tangga dalam wujudnya yang alamiah/kodrati berkenaan dengan pencarian sarana pemenuhan kebutuhan yang niscaya diperlukan bagi adanya kehidupan material dan sarana itulah yang dimengerti sebagai ‘kekayaan yang sesungguhnya’ yang tidak tak terbatas. Sebaliknya, khrematistik (khremata: harta benda, kekayaan) berurusan dengan pencarian kekayaan melalui penimbunan uang, oleh karenanya, tak memiliki batas (1257b34-35 dan 1257b39-41). Apabila tujuan ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan melalui konsumsi (Baloglou 2012: 19), tujuan khrematistik adalah akumulasi kekayaan dalam rupa uang. Distingsi antara ekonomi khrematistik, pada akhirnya, adalah distingsi antara bentuk penghidupan ekonomis yang alamiah dan tidak alamiah.

     Distingsi antara yang alamiah dan yang tidak alamiah itu didasarkan pada distingsi kegunaan barang-barang. Aristoteles menulis: “Dari segala hal yang kita miliki ada dua kegunaan: keduanya berasal dari bendanya sendiri tetapi tidak dalam cara yang sama, sebab yang satu adalah kegunaan yang alamiah dan yang lain adalah kegunaan yang tidak alamiah." Contoh yang ia berikan adalah kegunaan sepasang sepatu. Kegunaan khas sepasang sepatu adalah sebagai alas kaki, sementara kegunaan yang tidak alamiah adalah sebagai barang dagangan (komoditas). Demikian pula dengan uang. Uang yang fungsi alamiahnya adalah sebagai alat tukar, tetapi menjadi tidak alamiah jika digunakan untuk menimbun kekayaan (Pack 2010: 17). Ekonomi dimengerti sebagai aktivitas yang alamiah karena berkaitan dengan produksi kegunaan khas barang-barang dan karenanya tujuannya adalah subsistensi. Khrematistik, sebaliknya, dimengerti sebagai sesuatu yang tak alamiah karena berkaitan dengan pengejaran kegunaan yang tidak alamiah dari barang-barang dan karenanya tujuannya adalah akumulasi demi akumulasi.

     Distingsi antara kegunaan yang layak dan tidak layak dari barang-barang dapat dilihat sebagai pendahulu distingsi antara nilai-pakai dan nilai-tukar dalam ekonomi Klasik (Roncaglia 2005: 27).[2] Kegunaan yang alamiah dari sebuah barang mengemuka dalam nilai-pakainya, sementara kegunaan yang tidak alamiah mengemuka dalam nilai-tukarnya. Apabila nilai-pakai ialah kegunaan fisik sebuah barang dalam memenuhi kebutuhan, nilai-tukar adalah rasio pertukaran sebuah barang di hadapan barang lain. Dominannya nilai-pakai menandai bentuk ekonomi subsisten yang digambarkan Aristoteles, sementara dominannya nilai-tukar menandai khrematistik yang dikecamnya. 

     Distingsi kegunaan tersebut berkaitan erat dengan persoalan keseukuran. Dalam hal kegunaan yang alamiah, persoalan keseukuran tidak mengemuka. Sebuah kemeja memiliki kegunaan khas yang sepenuhnya berbeda dengan sekarung beras. Keduanya tak seukur. Persoalan keseukuran mengemuka dalam kegunaan yang tak alamiah, yakni dalam penggunaan barang sebagai komoditas untuk diperjual-belikan. Bagaimana mungkin kemeja yang fungsi khasnya sepenuhnya berbeda dengan beras dapat dipertukarkan dalam proporsi tertentu dengannya? Bukankah itu sama seperti bertanya tentang manakah yang lebih ‘tajam’ antara pena, tatapan mata dan nada tinggi? Kemeja dan beras hanya mungkin dipertukarkan apabila keduanya memiliki substratum yang sama dan substratum ini pastilah tidak berhubungan dengan kegunaan yang alamiah dari masing-masing barang (sebab kegunaan jenis terakhir ini berbeda secara kualitatif satu sama lain). 

     Problem keseukuran adalah permasalahan di balik konsep kekayaan (wealth) yang khrematistik. Dalam kerangka khrematistik, kekayaan seseorang dihitung dari berapa jumlah uang yang dimilikinya dan bukan dari berapa jumlah gandum di lumbung. Kekayaan yang khrematistik ditentukan oleh akumulasi nilai-tukar ketimbang nilai-pakai. Oleh karena itu, persoalan keseukuran tetap merupakan misteri yang tak terjawab dalam kerangka khrematistik. Jika ‘kaya’ berarti memiliki jumlah rasio pertukaran yang tinggi dan rasio pertukaran selalu mengandaikan keseukuran, maka keseluruhan ilmu ekonomi (yang objek kajian utamanya adalah ‘kekayaan’) bertumpu pada konsep keseukuran. Inilah yang tak berhasil diklarifikasi oleh Aristoteles dan baru akan dijawab, berdasarkan pertanyaan penuntun dari Aristoteles, oleh para pemikir menjelang era ekonomi Klasik.


2.4. Alternatif Teori Nilai Kerja

Di bagian sebelumnya, kita telah melihat bagaimana Aristoteles secara impisit mengantisipasi permasalahan nilai dalam ekonomi ini. Aristoteles dalam beberapa karyanya mempermasalahkan tentang 'pertukaran yang adil'. Bagaimana mungkin barang-barang yang memiliki kegunaan yang berbeda dapat ditukarkan? Apa yang mensyaratkan suatu pertukaran tersebut disebut itu adil? Aristoteles kemudian menjawab permasalahan ini dengan menjawab bahwa, pertukaran dapat terjadi karena barang-barang yang ditukarkan tersebut seukur. Pertukaran dapat terjadi karena barang-barang yang ingin ditukarkan tersebut memiliki basis evaluasi yang sama. Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa keseukuran ini tidak dapat dicari dari 'kegunaan alamiahnya', melainkan harus dicari atas dasar 'kegunaan yang tak alamiah', yakni dalam penggunaan barang sebagai komoditas untuk diperjual-belikan. 

     Namun, ada 1 permasalahan yang belum dipecahkan oleh Aristoteles secara tegas. Jika pertukaran komoditas mengindikasikan suatu keseukuran, atau dengan kata lain, kesamaan basis evaluasi, lalu apa yang menjadi basis evaluasi tersebut? Permasalahan yang belum dijawab oleh Aristoteles inilah yang coba diselesaikan oleh para ekonom-politik klasik. Bagian ini akan dipecah menjadi 2 bagian. Di bagian 2.4.1., kita akan melihat sejarah teori nilai kerja dan dinamika teorinya secara menyeluruh. Selanjutnya, di bagian 2.4.2., kita akan melihat teori nilai kerja ini secara lebih lanjut dengan menyertai paradigma yang melatarbelakanginya.


2.4.1. Sejarah Teori Nilai Kerja


Sejarah mengenai teori nilai kerja dapat dilacak hingga permasalahan mengenai harga yang adil di abad pertengahan. Thomas Aquinas mencoba untuk membahas tentang harga yang adil ini dalam Summa Theologiae (II-II, quaest. LXXVII, art. 1). Dalam karyanya ini, ia mencoba untuk menyelesaikan persoalan yang serupa dengan Aristoteles, yakni tentang syarat kemungkinan bagi adilnya sebuah pertukaran. Pertanyaan dasar Aquinas: “Bolehkah seseorang menjual barang lebih tinggi dari nilainya?” Definisi harga yang adil sebuah barang adalah harga yang sesuai dengan nilai barang tersebut. Kriteria keadilan yang diajukan Aquinas dalam pertukaran adalah 'prinsip kesetaraan antar benda' (principle of equality of thing to thing). Sebuah pertukaran disebut adil apabila kedua belah pihak mempertukarkan barang-barang yang senilai. Karenanya, apabila barang-barang yang dipertukarkan itu tak senilai, entah harganya lebih tinggi atau lebih rendah dari nilainya dan tak terwujud lagi kesetaraan nilai, maka pertukaran ini dapat dinyatakan bersifat tidak adil.

     Selanjutnya, Aquinas menulis “Bolehkah seseorang dalam perdagangan menjual barang di atas harga ongkosnya?”. Secara tidak langsung, Thomas Aquinas menyatakan bahwa nilai suatu komoditas dapat dilihat melalui ongkos produksinya. Dalam melihat persoalan nilai, Thomas Aquinas mengajukan pendekatan berbasis ‘ongkos produksi’ (cost of production). Komponen-komponen harga yang oleh Aquinas ikut membentuk harga yang adil ialah biaya pembuatannya, harga bahan baku dan transportasi, dll (dengan kata lain, ongkos produksi). Oleh karena harga yang adil tak lain adalah nilai itu sendiri, maka nilai ditentukan oleh ongkos produksinya. Nilai komoditas, dengan demikian, ditentukan berdasarkan jumlah ‘balas-jasa’ atau remunerasi atas kerja produsen. Namun, lebih lanjut, balas-jasa ini juga mesti bersifat proporsional terhadap status sosial sang produsen dalam masyarakat (Roncaglia 2005: 39). Nilai komoditas yang dihasilkan oleh seorang pengrajin harus memuat, selain biaya reproduksi tenaga kerjanya dan bahan baku yang terpakai, juga harus memuat biaya untuk mempertahankan martabat sosial sang pengrajin sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat (gradus dignitatis) (Baeck 1994: 153).



     Sir William Petty pada abad ke-18 melanjutkan pekerjaan Aquinas ini dan memberikan jawaban yang lebih definitif. Bagi William Petty, pendekatan nilai berbasis ongkos produksi yang diajukan oleh Thomas Aquinas masih menyisakan suatu persoalan dalam perkara pengukuran. Persoalan ini mengemuka karena menurut Petty ongkos produksi bukanlah suatu besaran tunggal, melainkan gabungan dari berbagai faktor: mulai dari kerja, bahan baku, sewa tanah, modal, biaya transportasi, biaya reproduksi status sosial, dst. Pendekatan berbasis ongkos produksi dianggap masih terlalu abstrak. Petty menyadari persoalan ini. Kurang lebih, ia bertanya, jika nilai dari komoditas ditentukan oleh ongkos produksinya, sedangkan ongkos produksi tersebut terdiri dari berbagai macam komponen yang masih abstrak, lalu apa yang menjadi komponen pokok yang meregulasi ongkos produksi secara keseluruhan? Selanjutnya Ia menulis: “tidak boleh ada dua ukuran dan karenanya yang terbaik bagi yang jamak adalah yang tunggal dari segalanya”. Dengan menyatakan ini, Petty menyadari bahwa ukuran nilai mesti diasalkan pada sebuah ‘besaran pokok’ yang mana semua besaran lain dapat diturunkan darinya. Apa yang diupayakan Petty kemudian ialah mencari ‘besaran pokok’ nilai ini.

     Dalam pencariannya, Petty menemukan dua besaran pokok yang meregulasi ukuran nilai komoditas, yakni tanah dan kerja. “Segala sesuatu mesti dinilai,” demikian Petty “berdasarkan dua denominasi alamiah, yakni tanah dan kerja”. Selanjutnya, Petty menulis “Nilai tanah bergantung pada besar kecilnya produk yang diberikannya dalam proporsinya terhadap kerja sederhana yang dicurahkan untuk menghasilkan produk tersebut.” Dalam kalimatnya inilah, Petty menunjukkan bahwa prinsip yang meregulasi nilai tak lain adalah kerja. Pada akhirnya, tanah dapat memberikan nilai dalam komoditas sejauh tanah tersebut mengalami kerja manusia. Petty menunjukkan bahwa kerja dapat menjadi ‘landasan dan akar’ dari segala perhitungan ekonomi. Dengan demikian, basis penentu nilai ialah kerja, atau lebih spesifik lagi, waktu kerja.

     Selanjutnya, Adam Smith kemudian melanjutkan teori nilai kerja yang dikonsepkan oleh William Petty ini, kendati diberi sedikit pengecualian. Smith dalam beberapa karyanya memang mengakui teori nilai kerja ini, walaupun di saat yang sama, Smith menganggap bahwa teori nilai kerja ini tidak bisa diterapkan dalam segala waktu. Dalam karyanya, ia dengan jelas menulis, “kerja adalah harga pertama, uang pembelian asah yang dibayarkan untuk semua barang. Bukanlah melalui emas ataupun perak, melainkan melalui kerja, semua kemakmuran dunia pada mulanya dibeli” (Smith [1776] 1937: 30). Smith dalam karyanya Wealth Nation bab 5 dengan sangat jelas menuliskan bahwa kerja merupakan sumber nilai bagi komoditas. Ia menulis, "karena itu, nilai komoditas apa pun, bagi orang yang memilikinya, dan yang berarti tidak digunakan atau dikonsumsinya sendiri, tetapi menukarnya dengan komoditas lain, sama dengan jumlah tenaga kerja yang memungkinkannya untuk membeli atau memerintah. Oleh karena itu, tenaga kerja adalah ukuran nyata dari nilai tukar semua komoditas." Jadi, sampai di sini dapat disimpulkan bahwa Adam Smith mengakui kerja manusia sebagai ukuran dasar nilai tukar.

     Namun, bagi Smith, teori nilai kerja ini tidak berlaku dalam kaitannya dengan kapitalisme. Dia beranggapan bahwa teori nilai kerja ini tidak berlaku lagi karena dalam kapitalisme, alat-alat produksi dengan produsennya mengalami keterpisahan. Keterpisahan antara sarana produksi dengan produsennya menciptakan suatu problem distribusi pendapatan. Dalam masa pra-kapitalisme, sarana produksi belum mengalami keterpisahan dengan produsennya, sehingga, nilai input dengan nilai output dalam produksi di masa ini merupakan nilai yang sama, dan akibatnya, problem distribusi pendapatan belum muncul. Namun, di masa kapitalisme, ketika terjadi pemisahan antara produsen dan sarana produksi, problem distribusi pendapatan mulai mencuat. Dengan pemisahan tersebut, muncul pula bentuk pendapatan baru yang mengemuka akibat privatisasi sarana kerja, yakni sewa (rent) dan laba (profit). Artinya, muncul problem distribusi nilai ke dalam sewa lahan dan laba yang membuat nilai input tidak identik dengan output (output lebih besar dari input).

     Problem distribusi pendapatan inilah yang dipersoalkan Smith dalam Bab VI bukunya. Begitu terjadi privatisasi lahan dan modal, terjadi pula pemisahan antara produsen dan sarana produksinya. Dengan pemisahan ini produsen memperoleh bentuk pendapatan baru, yakni upah (wage), yang terpisah dari pendapatan para pemilik sarana produksi: kelas pemilik tanah (rent) dan kelas pemilik kapital (profit). Smith menjelaskan bahwa tiga komponen harga atau nilai tukar dalam tahapan masyarakat sesudah “akumulasi modal dan pengolahan tanah” adalah upah, sewa dan laba. Dengan mempertimbangkan distribusi pendapatan ini kemudian Smith mengubah teori nilainya. Sementara dalam tahapan masyarakat primitif, Smith menggunakan argumen teori nilai-kerja untuk berbicara tentang ukuran dan penentu nilai, dalam tahapan masyarakat modern, Smith menggunakan argumen teori nilai-ongkos produksi. Nilai tukar kini ditentukan oleh ‘ongkos produksi’-nya, yakni upah, sewa dan laba. Pendekatan Smith atas nilai inilah yang dikenal sebagai ‘teori penjumlahan’ (adding up theory): nilai = sewa + upah + laba.

     Berdasarkan teori tentang distribusi pendapatan ke dalam tiga kelas itulah Smith merumuskan konsepnya tentang ‘harga alamiah’ (natural price). Seperti dituliskan Smith:

     “Ketika harga setiap komoditas tidak lebih atau kurang dari apa yang diperlukan untuk membayar sewa tanah, upah kerja dan laba modal yang dipergunakan... dalam tingkat alamiahnya, maka komoditas dijual pada apa yang dapat disebut sebagai harga alamiahnya. Komoditas itu, karenanya, dijual sesuai dengan nilainya [worth]”

     Konsep harga alamiah ini dipilahnya dari ‘harga pasar’ (market price), yakni harga komoditas yang memang aktual di pasaran. Harga pasar ini tidak selalu identik dengan harga alamiahnya. Perbedaan antara harga pasar dan harga alamiah ini, menurut Smith, dijelaskan oleh ‘permintaan efektif’ (effectual demand) yang ada di pasar. Permintaan efektif adalah permintaan yang dibarengi dengan kapasitas untuk membeli. Apabila permintaan efektif atas sepatu  melebihi jumlah sepatu yang ditawarkan di pasaran, maka harga pasar sepatu akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Namun peningkatan ini tidak mempengaruhi harga alamiahnya secara langsung. Naik-turunnya harga pasar, oleh karena itu, disebabkan oleh proporsi penawaran dan permintaan (supply-demand) yang ada di pasar. Dalam menggambarkan hubungan antara harga alamiah dengan harga pasar, Smith menuliskan:

     “Harga alamiah…. Adalah harga sentral, di mana harga segala komoditas senantiasa bergravitasi terhadapnya. Berbagai peristiwa kadang-kadang dapat membuat harga komoditas menggantung jauh di atas harga alamiah, dan kadang-kadang memaksanya malahan agak dibawah harga alamiah(nya). Akan tetapi apapun yang menjadi rintangan yang menghalangnya menetap pada pusat
ketenangan dan kediaman itu harga komoditas itu senantiasa cenderung kepadanya.”

     Di masa selanjutnya, David Ricardo kemudian melanjutkan pekerjaan Smith dan memberikan ketegasan dalam teori nilai kerjanya. Bagi Ricardo, penggunaan teori nilai ongkos produksi dalam fase kapitalisme justru menurutnya tidak rasional. “Seolah-olah,” demikian kata Ricardo, “ketika laba dan sewa telah dibayarkan, keduanya akan menghasilkan pengaruh pada nilai relatif komoditas, independen terhadap sejumlah kerja yang diperlukan bagi produksi komoditas.” Artinya, bagi Ricardo, teori nilai kerja tetap berlaku dalam masa kapitalisme (masyarakat sipil). Kapital dan tanah bagi Ricardo tidak bisa dijadikan 'besaran pokok'. Pada akhirnya, kapital dan tanah dapat memberikan nilai dalam komoditas sejauh hal-hal tersebut mengalami kerja manusia. Kapital dan tanah dapat diturunkan dari kerja.

     Selanjutnya, David Ricardo memilah nilai barang (di luar nilai pakainya) menjadi 2 bagian, yaitu nilai absolut dan nilai relatif. Nilai absolut adalah nilai komoditas yang hadir secara inheren, tanpa memerlukan relasi dengan komoditas lain. Sedangkan, nilai relatif adalah proporsi nilai tukar yang ada dalam komoditas dalam relasinya dengan komoditas lain. Nilai relatif adalah nilai yang hanya muncul jika suatu barang ingin ditukarkan. Sedangkan, nilai absolut selalu ada dalam komoditas tanpa memerlukan proses pertukaran. Di pasaran, nilai tukar aktual selalu berubah setiap saat. Perubahan ini dapat dijelaskan oleh perubahan nilai riil atau absolut dari komoditas yang dipertukarkannya. Perubahan nilai riil ini tidak disebabkan oleh fenomena sirkulasi (pertukaran), melainkan ditentukan oleh apa yang terjadi dalam ranah produksi. Mengenai hubungan antara nilai relatif dengan nilai absolut, Ricardo menulis: 

     “Anda mengatakan bahwa jika tidak ada pertukaran komoditas maka komoditas tidak akan memiliki nilai, dan saya setuju dengan Anda apabila yang Anda maksudkan adalah nilai tukar. Tetapi bila saya mesti mencurahkan kerja sebulan untuk membuat sepotong mantel dan hanya satu minggu kerja untuk membuat topi, walaupun saya tak akan pernah menukarkan keduanya, mantel tetap akan menjadi empat kali lipat nilai topi; dan apabila seorang pencuri membobol masuk rumah saya dan mengambil barang-barang saya, saya lebih rela ia mengambil tiga topi ketimbang sepotong mantel.”


2.4.2. Lebih Lanjut Mengenai Teori Nilai Kerja

     Sebelumnya, kita telah melihat bagaimana sejarah dari teori nilai kerja beserta dinamika perkembangannya. Saat ini, kita akan mencoba untuk menganalisis teori nilai kerja ini secara lebih lanjut dengan melihat pula paradigma yang melatarbelakanginya. Secara sederhana, paradigma yang melatarbelakangi munculnya teori ini ialah retrospektif-fisikalis. Metode penalaran retrospektif dalam teori nilai-kerja ini menindikasikan bahwa teori ini memiliki tujuan untuk menjelaskan asal-usul yang menyebabkan adanya fenomena empirik pertukaran komoditas, sekalipun asal-usul tersebut tak secara langsung mengemuka secara empirik. Sedangkan, metode penalaran fisikalis dalam teori nilai-kerja ini menindikasikan bahwa teori ini memiliki tujuan untuk menjelaskan latarbelakang objektif (kualitas primer) yang mendasari proses pertukaran. Perpaduan antara penalaran retrospektif dan pendekatan fisikalis dalam teori nilai-kerja mewujud dalam semua prinsip dasar yang berlaku dalam Petty, Smith, Ricardo dan Marx: syarat material dari adanya X menentukan sifat-sifat X dan karenanya merupakan sarana pengukur yang akurat tentang X.

     Metode penalaran retrospektif telah memungkinkan para ekonom klasik untuk mencari syarat material dari adanya komoditas. Syarat material adalah syarat paling dasar yang mesti dipenuhi agar keberadaan material sesuatu dimungkinkan. Agar sesuatu ada sama sekali, syarat material keberadaannya mesti dipenuhi. Syarat material dari komoditas sebagai komoditas atau barang-dagangan ialah keberadaan kerja yang menjadi syarat terdasar yang memungkinkan keberadaan material komoditas. Jadi, adanya komoditas mesti dikaji secara retrospektif pada sumber yang memungkinkannya dan sumber ini, pada analisis terakhir, mestilah merupakan sumber keberadaan material yang elementer dari komoditas tersebut. 

     Metode penalaran retrospektif telah membantu para ekonom klasik untuk melihat realitas ekonomi secara kausal; dimana produksi mengkondisikan distribusi, distribusi mengkondisikan sirkulasi, dan sirkulasi mengkondisikan konsumsi. Dalam Poverty of Philosophy, Marx menyatakan paradigma ini: “Pada prinsipnya, tidak ada pertukaran produk-produk, yang ada ialah pertukaran kerja yang berkooperasi dalam produksi. Modus pertukaran produk bergantung pada modus pertukaran tenaga produktif. Secara umum, bentuk pertukaran produk berkorespondensi dengan bentuk produksi. Ubahlah bentuk produksinya dan bentuk pertukaran akan berubah sebagai akibatnya. Maka dalam sejarah masyarakat kita melihat bahwa modus pertukaran produk diregulasi oleh modus produksinya. Pertukaran individual berkorespondensi juga terhadap modus produksi yang tertentu yang pada dirinya berkorespondensi dengan antagonisme kelas. Karenanya, tidak ada pertukaran individual tanpa antagonisme kelas.” (Marx [1847] 1971:78)

     Selain itu, metode penalaran fisikalis dalam teori nilai kerja ini telah memungkinan para ekonom klasik untuk melacak kualitas primer, atau substansi fisik-material yang menjadikan komoditas ada. Pendekatan berbasis metode penalaran fisikalis ini telah memberi pandangan objektif dalam teori nilai kerja ini. Berbeda dari teori nilai utilitas yang mendasarkan kepada subjektifisme konsumen, teori nilai kerja ini mendasarkan teorinya dengan objektifisme produksi. Inilah logika dasar yang menyertai setiap upaya perumusan teori nilai-kerja dalam pemikiran para ekonom Klasik.


2.5. Rangkuman

Ada 2 hal yang dapat dirangkum dari pemaparan di muka. Pertama, teori nilai dalam komoditas adalah teori tentang substansi umum yang melandasi komoditas (substansi sebagai substratum). Aristoteles telah menunjukkan bahwa duduk perkara dalam setiap aktivitas ekonomi, yakni pertukaran, adalah persoalan keseukuran nilai antarbarang yang dipertukarkan. Keseukuranlah yang menjamin agar pertukaran yang adil dimungkinkan. Selanjutnya, Aristoteles mengemukakan bahwa karena keseukuran merupakan syarat minimal bagi adanya pertukaran, maka harus ada tolak ukur yang menjadi basis keseukuran tersebut. Harus ada suatu hal yang melandasi setiap komoditas, yang menjadi dasar utama agar komoditas tersebut dapat dipertukarkan. Melalui landasan umum inilah, setiap komoditas dapat diperbandingkan dan dipertukarkan. Namun, apa yang menjadi landasan umum yang menjadi basis keberadaan komoditas? Aristoteles tidak memberikan jawaban yang definitif.

     Yang ke-2, para ekonom klasik telah menjawab permasalahan nilai mengenai apa yang menjadi landasan umum yang menjadi basis keberadaan komoditas dengan teori nilai kerja mereka. Di abad pertengahan, Thomas Aquinas telah mengajukan persoalan mengenai harga yang adil bagi penjualan komoditas. Aquinas menyatakan bahwa harga yang adil adalah harga yang sesuai nilainya, yakni ongkos produksinya. William Petty kemudian melanjutkan karya Aquinas ini dan memberikan ketegasan dalam teorinya. Petty menganggap bahwa jawaban yang diberikan Aquinas masih terlalu samar. Jika nilai mengindikasikan syarat minimal yang harus ada, maka nilai tersebut harus mengemuka dalam bentuk kualitas primer atau besaran pokok. Melalui kualitas primer itulah, semua komoditas dapat diturunkan. Petty menyelesaikan masalah ini dengan menjawab bahwa kerja adalah nilai atau substansi dasar yang melandasi adanya komoditas. Pendekatan berbasis teori nilai kerja inilah kemudian diwariskan oleh William Petty kepada Adam Smith (kendati sedikit dikecualikan), David Ricardo, hingga Karl Marx.


_________________________

CATATAN

[1] Istilah ‘ekonomi Klasik’ umumnya mengacu pada pandangan sederet pemikir ekonomi mulai dari William Petty pada abad ke-17 hingga Karl Marx pada abad ke-19. Ekonomi klasik secara umum dianggap sebagai aliran ekonomi modern pertama dalam sejarah pemikiran ekonomi. Secara lebih khusus, dalam artikel ini, istilah 'ekonomi klasik' mengacu kepada mazhab teori ekonomi yang menganut teori nilai-kerja.

[2] Smith adalah ekonom pertama yang memilah secara teknis nilai pakai dan nilai tukar. Aristoteles memang telah mengantisipasinya, seperti telah disebutkan, tetapi Aristoteles berangkat dengan distingsi yang lebih umum (non-ekonomis) tentang fungsi inheren dan aksidental barang-barang. Smith secara langsung mengacu ke ekonomi ketika ia memilah value in use dan value in exchange. Nilai pakai sebuah barang adalah kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusia, sementara nilai tukar adalah “daya untuk membeli barang lain”. Smith menuliskan, "Nilai, harus diamati, memiliki dua makna yang berbeda, dan kadang-kadang mengekspresikan kegunaan dari beberapa objek tertentu, dan kadang-kadang kekuatan membeli barang-barang lain yang dimiliki oleh objek tersebut. Yang bisa disebut "nilai yang digunakan"; yang lain, "nilai tukar." Hal-hal yang memiliki nilai terbesar dalam penggunaan sering memiliki nilai tukar yang kecil atau tidak sama sekali; dan, sebaliknya, mereka yang memiliki nilai terbesar sebagai gantinya memiliki nilai penggunaan yang kecil atau tidak sama sekali. Tidak ada yang lebih berguna daripada air: tetapi air akan membeli apa saja yang langka; apa pun yang langka bisa didapat dengan imbalan itu. Sebaliknya, berlian tidak memiliki nilai apa pun yang digunakan; tetapi barang-barang lain dalam jumlah sangat besar mungkin sering didapat sebagai gantinya" ( Wealth of Nations Book 1, bab IV).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau