Langsung ke konten utama

MATERIALISME DIALEKTIS SEBAGAI ILMU



Selama kurang lebih 3 dekade terakhir, Marxisme sebagai ilmu pengetahuan yang ilmiah telah dihancurkan secara vulgar dan sistematis oleh k'las borjuasi. Semenjak Tembok Berlin dan tirani Stalinisme runtuh, k'las borjuasi terus mencoba untuk mewartakan bahwa Marxisme hanyalah sekumpulan teori kuno semata, yang tak ada bedanya dengan fosil-fosil manusia primitif yang terdapat di museum. Mereka mencoba meyakinkan semua orang bahwa pertentangan k'las telah dimenangkan k'las borjuasi, dan oleh karena itu, mempelajari Marxisme adalah suatu kebodohan. 30 tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin, semua dengan cepat berubah. Euforia segera menjadi suasana pesimisme. Peringatan akan bahaya-bahaya krisis yang lebih besar di hari mendatang mulai bersahutan, bukan dari seorang Marxis, tapi dari para pakar ekonomi borjuis dan para ideolog pembelanya.

     Belum habis tentang permasalahan krisis 2008, kapitalisme kini harus menghadapi krisis baru lagi yang disebabkan oleh pandemi global. Pandemi global COVID-19 telah menghentikan berbagai macam proses produksi, sehingga menyebabkan krisis kapitalisme terulang kembali. Selain itu, dalam beberapa dekade yang akan datang, kapitalisme akan terancam lagi oleh krisis periodik baru yang disebabkan oleh semakin menipisnya pasokan minyak bumi. Marx telah jauh-jauh hari memprediksi krisis periodik kapitalisme ini. Krisis-krisis periodik kapitalisme ini telah mematahkan fitnahan-fitnahan keji yang dilancarkan oleh intelektual borjuis, yaitu bahwa pemikiran Marx merupakan teori-teori kuno belaka. Bukannya semakin kuno, Marxisme pada saat ini justru semakin relevan.

     Namun, apakah Marxisme itu? Marxisme adalah teori ilmiah dalam perjuangan proletariat revolusioner yang bertujuan untuk menggulingkan sistem kapitalis yang semakin kontradikif dan mendirikan tatanan sosialis baru sebagai gantinya. Sebagai teori ilmiah, Marxisme tidak mengkonstitusikan teorinya dengan takhayul ataupun dongeng kanak-kanak. Marxisme mendasarkan teorinya dengan realitas materi yang riil dengan segala macam seluk-beluknya.

     Berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Lenin, Marxisme dapat dibagi menjadi 3 komponen pokok. Yang pertama dari ke-3 komponen pokok itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis (Sosialisme Prancis), khususnya semenjak revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Komponen ke-2 dari Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi-politik Inggris', yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Komponen ke-3 dari Marxisme, yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat klasik Jerman' atau materialisme dialektis, dan aspek filsafat inilah yang akan kita bahas di artikel ini.


APA ITU MATERIALISME DIALEKTIS?

Secara ringkas, materialisme dialektis adalah sebuah pandangan filosofi dalam melihat dunia secara objektif dan dalam pergerakannya. Materialisme dialektis adalah cara memahami realitas dunia secara "komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam tahyul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis" (V. I. Lenin). Secara sederhana, metodologi ini adalah kombinasi dari Dialektika dan Materialisme. Materialisme dialektis adalah landasan teoretis daripada Marxisme.

     Konsep dasar materialisme dialektis pada dasarnya diambil dari alam itu sendiri. Konsep ini bukanlah konsep yang dipaksakan secara sewenang-wenang atas alam, seperti yang ditekankan oleh para intelektual borjuis. Konsep ini telah diekstraksi dari alam sesuai dengan metode terbaik pemikiran ilmiah dan model praktik ilmiah. Ide-ide ini mencerminkan proses, kekuatan, dan hubungan yang benar-benar ada dan beroperasi dalam realitas objektif sebelum mereka dirumuskan oleh pemikiran dialektik.


MATERIALISME

Sepanjang sejarah filsafat manusia, kita dapat menemukan dua kubu filsafat yang saling berseberangan dan bertentangan. Dua kubu itu ialah idealisme dan materialisme. Pemikiran umum mengenai "Idealisme" (yaitu kejujuran, cita-cita mulia, budi pekerti luhur, dsb) dan "Materialisme" (yaitu egoisme dasar, serakah, kenikmatan duniawi, dsb) tidak ada hubungannya dengan idealisme filosofis dan materialisme filosofis.

     Banyak filsuf besar di masa lalu adalah kaum Idealis, terutama Plato dan Hegel. Aliran pemikiran ini memandang alam dan sejarah sebagai cerminan dari gagasan, idea, atau roh semata. Teori bahwa semua manusia dan semua materi diciptakan oleh Roh ilahi, adalah konsep dasar idealisme. Pandangan ini diekspresikan dalam beberapa cara, namun dasarnya adalah bahwa idea mengatur perkembangan dunia material. Sejarah dijelaskan sebagai sejarahnya idea. Tindakan orang dilihat sebagai hasil dari pemikiran abstrak, dan bukan dari kebutuhan material mereka.

     Pemikir materialis, di sisi lain, berpendapat bahwa dunia material adalah nyata dan bahwa alam atau materi adalah yang utama. Pikiran atau ide adalah produk otak. Otak, dan karenanya pemikiran, muncul pada tahap tertentu dalam pengembangan materi hidup. Dasar-dasar batu materialisme adalah sebagai berikut:

(a) Dunia material, yang diketahui oleh indera kita dan dieksplorasi oleh sains, adalah nyata. Perkembangan dunia adalah karena hukum kodratnya sendiri, tanpa ada jalan lain untuk supernatural.

(B) Hanya ada satu dunia, dunia material. Pikiran adalah produk materi (otak) yang tanpanya tidak akan ada ide yang terpisah. Karena itu, pikiran atau ide tidak dapat hidup terpisah dari materi. Gagasan umum hanyalah refleksi dari dunia material. "Bagi saya," tulis Marx, "idenya tidak lain adalah dunia material yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran." Dan selanjutnya, "Makhluk sosial menentukan kesadaran".

     Kaum Idealis memahami kesadaran, pemikiran, sebagai sesuatu yang eksternal, dan berlawanan dengan materi, dengan alam. Bagi kaum materialis, pendapat ini adalah suatu hal yang salah. Ada korelasi erat antara hukum pikiran dan hukum alam, karena yang pertama mengikuti dan mencerminkan yang terakhir. Pikiran tidak dapat menurunkan kategorinya dari dirinya sendiri, tetapi hanya dari dunia luar. Bahkan pikiran yang paling abstrak sekalipun sebenarnya berasal dari pengamatan dunia material.

     Ini bisa kita lihat dengan mudah. Sistem angka kita yang mengambil bilangan sepuluh, ini adalah karena kita manusia memiliki sepuluh jari sehingga kita pun menghitung sampai 10. Bilamana manusia punya 12 jari, maka tidak akan aneh kalau sistem angka kita maka akan mengambil bilangan 12 dan bukan 10. Jadi konsep dasar matematika bukanlah sesuatu yang datang dari langit, bukanlah sesuatu yang tidak ada dasar materinya. Angka Romawi pada dasarnya didasarkan pada representasi jari. Berbeda dari itu, kaum Idealis akan berpikir bahwa bilangan 10 ini adalah konsep abadi yang akan selalu ada dengan atau tanpa kehadiran manusia berjari sepuluh. 

     Menurut Lenin, “ini adalah materialisme: materi yang bekerja pada organ indera kita menghasilkan sensasi. Sensasi tergantung pada otak, saraf, retina, dll, yaitu materi adalah yang utama. Sensasi, pikiran, kesadaran adalah produk tertinggi dari materi”.

     Menurut pandangan kaum materialis, kesadaran kita, cara berpikir kita, tabiat-tabiat kita, semua ini adalah akibat dari interaksi kita dengan lingkungan sekeliling kita, yakni dunia materi yang ada di sekitar kita. Marx menuliskan bahwa, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi keberadaan sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka." Oleh karena itu, kaum materialis secara tegas menolak segala anggapan tentang sifat atau tabiat alamiah manusia. Kaum materialis secara tegas menolak konsep bahwa ras A, B, atau C pada dasarnya adalah ras yang serakah, egois, pemabuk, dsb. Sedangkan ras D, E, atau F pada dasarnya adalah ras yang cerdas, mulia, berbudi pekerti luhur, baik hati, dsb. Itu hanyalah pemikiran idealis semata.

     Dari sini kita bisa lihat bagaimana filsafat idealisme ini pada dasarnya kontra-revolusioner karena filsafat ini membenarkan kapitalisme sebagai sistem yang alami dan kekal. Sedangkan materialisme adalah filsafat yang revolusioner, karena ia mengajarkan kita bahwa kapitalisme bukanlah sistem yang lahir dari apa-yang-disebut tabiat alami manusia, tetapi justru sebaliknya bahwa tabiat manusia itu adalah hasil dari sistem sosial yang ada.

     Akan tetapi materialisme tanpa dialektika adalah materialisme yang formalis dan kaku. Tanpa dialektika, materialisme tidaklah lengkap untuk bisa menjelaskan dunia.


DIALEKTIKA

Sebelumnya, kita telah melihat bahwa materialisme modern adalah konsep bahwa materi adalah yang utama dan pikiran atau gagasan adalah produk otak. Namun sekarang, apakah pemikiran dialektika itu? Pada dasarnya, dialektika adalah satu cara pandang atas sesuatu dalam keadaan geraknya dan bukan dalam keadaan diamnya. Dialektika adalah metode penalaran yang bertujuan untuk memahami hal-hal secara konkret dalam semua gerakan, perubahan, dan interkoneksi mereka, dengan sisi-sisi yang berlawanan dan saling bertentangan dalam kesatuan. Proposisi dasar dialektika adalah bahwa segala hal selalu ada dalam proses perubahan yang dinamik, yang seringkali prosesnya tidak terlihat dan tidak bergerak dalam garis lurus. Engels mendefinisikan dialektika sebagai “ilmu tentang hukum-hukum umum tentang gerak dan perkembangan alam, masyarakat manusia dan pemikiran.” 

     Metode berpikir dialektis sudah ada sejak lama, sebelum Marx dan Engels mengembangkannya secara ilmiah sebagai alat untuk memahami evolusi masyarakat manusia. Para filsuf Yunani dengan cemerlang mengantisipasi perkembangan dialektika di kemudian hari sebagai ilmu-ilmu ilmiah. Tetapi mereka sendiri tidak dapat membawa antisipasi ini kepada kesimpulan logisnya karena rendahnya pengembangan alat-alat produksi, dan kurangnya informasi yang memadai tentang cara kerja terperinci dari alam semesta. Ide-ide mereka memberikan gambaran umum yang kurang lebih benar, tetapi mereka sering lebih pada sifat spekulatif yang diilhami daripada teori yang dikerjakan secara ilmiah. Pada awal 500 SM, Heraclitus mengajukan gagasan bahwa "segala sesuatu ada dan tidak ada, karena semuanya berubah, terus berubah, terus-menerus muncul dan berlalu". Dan selanjutnya, “segala hal mengalir dan tak satupun yang tinggal diam”. Pernyataan ini sudah mengandung konsepsi dasar dialektika bahwa segala sesuatu di alam berada dalam keadaan perubahan yang konstan, dan bahwa perubahan ini terungkap melalui serangkaian kontradiksi.

     Hukum-hukum dialektika telah diungkapkan secara rinci oleh Hegel, walaupun, dalam tulisannya, hukum-hukum itu muncul dalam bentuk yang idealis dan mistis. Marx dan Engels-lah yang pertama kali memberi basis yang ilmiah, yang materialis, terhadap dialektika. “Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx,” tulis Trotsky. “Berkat impuls maha dahsyat yang disuntikkan kepada pemikiran manusia oleh Revolusi Prancis, Hegel mengantisipasi pergerakan umum ilmu sains. Tapi karena itu hanya sekedar antisipasi, sekalipun Hegel adalah seorang jenius, dialektika tetap mendapat watak idealis di tangannya. Hegel bekerja di bawah bayang-bayang ideologi sebagai realitas puncaknya. Marx menunjukkan bahwa pergerakan dari bayang-bayang ideologi ini tidak mencerminkan apapun selain pergerakan dari benda-benda material.”

     Dalam bukunya, Capital, Marx menuliskan bahwa “Metode dialektika saya bukan hanya berbeda dengan dialektikanya Hegel, tapi persis kebalikannya. Bagi Hegel, proses kehidupan dari otak manusia, yaitu proses berpikir, yang di bawah panji “Ide” bahkan diubahnya menjadi satu subjek yang independen, adalah inti hakikat dari dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah sekedar bentuk “Ide” yang eksternal dan fenomenal. Bagi saya, sebaliknya, ide bukanlah apa-apa melainkan dunia nyata yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pikiran.”

     Di lain sisi, kita akan melihat metode berpikir lain, yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut sebagai "logika formal". Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum identitas', yang menyatakan bahwa 'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak mungkin sama dengan 'B' atau 'C'.

     Mengenai hubungan antara dialektika dan logika formal, Trotsky, dalam bukunya "ABC of Materialist Dialectics" menuliskan dialektika sebagai "ilmu tentang bentuk pemikiran kita sejauh itu tidak terbatas pada masalah kehidupan sehari-hari tetapi mencoba untuk sampai pada pemahaman tentang proses yang lebih rumit dan berlarut-larut." Trotsky membandingkan dialektika dan logika formal (metafisika) dengan matematika yang lebih tinggi dan lebih rendah. Dengan kata lain, Trotsky memandang bahwa logika formal tetap memiliki kebenaran yang sahih, namun kebenaran dari logika formal sangatlah terbatas. Pada saat-saat tertentu, logika formal tidak bisa didasarkan sebagai metode berpikir karena keterbatasannya. Di saat ini lah dialektika mengambil alih.

     Mari kita gunakan perumpamaan yang digunakan oleh Trotsky untuk melihat kelemahan logika formal ini: satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara jauh lebih teliti, maka akan kelihatan bahwa takaran itu tidak sepenuhnya tepat sama ('A' bisa jadi non 'A'). Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk logika, yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan, dan masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan yang konstan. Dan bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika. Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa, dialektika menyatakan bahwa proses di alam semesta adalah setara (genap) dan perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu dicatat: konsep-konsep ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-hukum dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas terjadi.  


HUKUM-HUKUM DIALEKTIKA

Dalam Anti-Dühring dan Dialektika Alam, Engels memberikan satu ringkasan tentang hukum-hukum dialektika, yang dimulai dengan tiga yang paling dasar:

1) Hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas dan sebaliknya;

2) Hukum tentang kutub berlawanan yang saling merasuki;

3) Hukum tentang negasi dari negasi.

     Marilah kita mulai dengan hukum peralihan dari kuantitas menjadi kualitas. Dalam dialektika, ada dua jenis perubahan, yakni perubahan kuantitas dan perubahan kualitas. Perubahan kuantitas adalah satu jenis perubahan yang hanya menyentuh besaran dari sesuatu hal atau benda. Sedangkan perubahan kualitas adalah sebuah perubahan dari satu sifat ke sifat yang lain. Di alam maupun ilmu sosial, kita dapat menyaksikan dua jenis perubahan ini. Hukum dialektika mengajarkan bahwa pada saat tertentu perubahan kuantitas bisa beralih menjadi perubahan kualitas, bahwa perubahan tidak selalu berada dalam garis lurus tetapi pada momen tertentu mengalami loncatan. Loncatan semacam ini tidak bisa diukur dengan kuantitas semata, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas. 

     Banyak sekali contoh di alam yang menggambarkan hukum dialektika ini, misalnya mengenai mendidihnya air. Ketika kita menaikkan suhu air satu derajat dari 20 derajat ke 21 derajat, kita tidak akan melihat perubahan kualitas. Air masih berbentuk air, yang terjadi hanya perubahan kuantitas. Kita bisa terus naikkan suhu air ini satu derajat per satu derajat, hingga suhu air mencapai 99 derajat, dan air pun masih berbentuk air. Tetapi ketika kita naikkan satu derajat lagi, dari 99 derajat ke 100 derajat, maka sesuatu loncatan terjadi, sebuah perubahan kualitas terjadi. Air mendidih dan berubah menjadi uap. Jadi perubahan satu derajat (perubahan kuantitas) mengakibatkan mendidihnya air menjadi uap (perubahan kualitas). Hal yang sama juga benar untuk perubahan dari air menjadi es. 

     Hukum dialektika ini pun bisa kita lihat dalam fenomena sosial baru-baru ini, yakni kerusuhan di USA dan berbagai macam negara lainnya. Banyak media yang mengatakan bahwa kerusuhan ini 'hanya' disebabkan oleh tewasnya George Floyd oleh polisi AS. Kematian George Floyd telah memicu kerusuhan di berbagai macam negara, terutama Amerika Serikat. Namun George Floyd ini bukan satu-satunya orang kulit hitam yang sering ditindas oleh aparat keamanan, dan dia bukanlah yang pertama yang tewas karena tindakan aparat yang sewenang-wenang. Kematian George Floyd hanyalah bagian kecil dari tindakan rasisme di seluruh dunia. Kematiannya merupakan 'satu tetes air' yang membuat bendungan kemarahan rakyat meluap. Seperti kata Engels, “necessity expresses itself through accident” (keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat kecelakaan/kebetulan). Situasi masyarakat Amerika memang sudah sangat panas, dan hanya butuh “satu derajat celcius” saja untuk membuatnya mendidih, dan satu derajat ini diwakili oleh kematian George Floyd.

     Hukum dialektika kedua adalah kutub berlawanan yang saling merasuki. Hukum ini mengajarkan kepada kita bahwa kontradiksilah yang menggerakkan dunia. Engels melukiskan bahwa, “Dialektika telah membuktikan dari hasil pengalaman kita akan alam sejauh ini bahwa semua kutub yang bertentangan secara umum ditentukan oleh aksi yang dilakukan oleh kedua kutub yang saling berseberangan satu terhadap yang lain, bahwa pemisahan dan pertentangan kedua kutub ini hanya hadir dalam kesalingterhubungan dan kesatuan mereka, dan, sebaliknya, bahwa kesatuan mereka hanya hadir dalam pemisahan merekadan kesalingterhubungan mereka hanya hadir dalam kesalingberlawanan mereka. Jika hal ini telah dipahami, tidak akan lagi ada persoalan tentang penghapusan final atas tarikan dan tolakan, atau pemisahan final antara bentuk-bentuk pergerakan pada materi di satu kutub dan bentuk-bentuk pergerakan pada materi di kutub yang lain, dan karena itu, tidak akan ada lagi persoalan tentang kesalingrasukan atau tentang pemisahan mutlak antara kedua kutub tersebut. Ini sama saja dengan menuntut bahwa kutub-kutub utara dan selatan magnet saling meniadakan diri mereka sendiri, atau bahwa dengan membelah sebatang magnet kita akan memperoleh satu batang dengan hanya kutub utara tanpa kutub selatan, dan satu batang dengan kutub selatan tanpa kutub utara.” (Dialektika Alam)

     Kita dapat melihat contoh hukum ini pada alam sendiri. Alam nampaknya bekerja dalam pasangan-pasangan. Kita memiliki “strong force” dan “weak force” di tingkat sub-atomik; daya tarik dan daya tolak; kutub utara dan selatan dalam magnetisme; positif dan negatif dalam listrik; materi dan anti-materi; laki-laki dan perempuan dalam biologi; ganjil dan genap dalam matematika; bahkan konsep “right-handedness” dan “left-handedness” dalam hubungannya dengan spin dari partikel-partikel sub-atomik. Terdapatlah satu simetri tertentu, di mana kecenderungan-kecenderungan yang saling bertentangan, seperti kata Feynman “saling menyeimbangkan”, atau, seperti ungkapan Heraclitus yang lebih puitis, “saling bersepakat dengan menjadi saling berbeda seperti regangan yang saling bertentangan dari busur dan tali dalam sebuah alat musik”. Terdapatlah dua macam materi, yang dapat disebut positif dan negatif. Yang sama saling tolak dan yang bertentangan saling tarik.

     Begitu pula masyarakat kita, yang bergerak karena kontradiksi. Revolusi sosial terjadi ketika tingkat produksi manusia sudah bertentangan dengan sistem sosial yang ada. Inilah basis dari setiap revolusi di dalam sejarah umat manusia, dari jaman komunisme primitif, ke jaman perbudakan, ke jaman feodalisme, dan sekarang zaman kapitalisme. Kontradiksi antara tingkat produksi dan sistem sosial terus saling berbenturan, saling merasuki, dan menjadi motor penggerak sejarah. 

     Di zaman kapitalisme, kontradiksinya adalah antara sistem produksi yang bersifat sosial dengan nilai surplus yang diapropriasi secara pribadi. Tidak ada satupun buruh yang bisa mengatakan bahwa dia sendirilah yang memproduksi sebuah komputer misalnya. Ribuan, bahkan ratusan ribu, buruh dari berbagai industri bekerja bersama memproduksi ribuan komponen terpisah yang lalu dirakit menjadi sebuah komputer. Oleh karenanya sistem produksi kapitalisme adalah sistem produksi sosial. Namun nilai surplus, atau produk tersebut, tidak menjadi milik sosial, dan hanya menjadi milik pribadi, yakni segelintir pemilik alat produksi tersebut. Kontradiksi inilah yang lalu membawa perjuangan kelas -- kadang terbuka kadang tertutup -- antara buruh dan kapitalis, yang terus menerus mendorong masyarakat kita.

     Hukum dialektika ketiga adalah negasi dari negasi. Hukum negasi dari negasi berkaitan dengan sifat pembangunan melalui serangkaian kontradiksi, yang tampaknya membatalkan, atau meniadakan fakta, teori, atau bentuk eksistensi sebelumnya, hanya untuk kemudian dinegasikan pada gilirannya. Namun penegasian ini bukanlah penyangkalan penuh bentuk yang sebelumnya, tetapi penegasian dimana bentuk yang sebelumnya dilampaui dan dipertahankan pada saat yang sama. Gerakan, perubahan, dan pengembangan dengan demikian bergerak melalui serangkaian negasi yang tidak terputus. Kalau dilihat secara keseluruhan, perubahan dalam dialektika bukanlah suatu pengulangan seperti lingkaran, melainkan bergerak terus ke bentuk yang lebih tinggi, bergerak naik secara spiral.

     Hegel memberikan contoh sederhana dalam bukunya, The Phenomenology of the Mind: “Tunas menghilang ketika bunga menerobos, dan kita dapat mengatakan bahwa yang pertama disangkal oleh yang terakhir; dengan cara yang sama ketika buah datang, bunga dapat dijelaskan sebagai bentuk palsu dari keberadaan tanaman, karena buah muncul sebagai sifat aslinya sebagai pengganti bunga. Tahapan-tahapan ini tidak hanya dibedakan, mereka saling melengkapi karena tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Tetapi aktivitas tanpa henti dari sifat inheren mereka sendiri membuat mereka pada saat yang sama merupakan kesatuan organik, di mana mereka tidak hanya saling bertentangan satu sama lain, tetapi di mana satu sama diperlukan dengan yang lain; dan kebutuhan yang sama dari semua momen ini merupakan sendirian dan dengan demikian kehidupan keseluruhan."


PENUTUP

Pada dasarnya, Filsafat Marxisme ini bukan hanya filsafat yang mencoba untuk menjelaskan dunia ini, melainkan juga mengubahnya. Filsafat Marxis pada dasarnya adalah panduan untuk bertindak: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; akan tetapi intinya adalah untuk mengubahnya ”. (Marx, Tesis tentang Feuerbach.) Kapitalisme saat ini adalah sistem sosial yang benar-benar absurd dan harus digulingkan, selama manusia masih ingin bertahan hidup dan masih ingin menghindari bar-barisme. Namun, penggulingan kapitalisme ini masyarakat hanya dapat dicapai oleh k'las proletariat yang secara sadar berjuang untuk transformasi masyarakat. Dengan kata lain, perjuangan untuk transformasi masyarakat kepada Sosialisme hanya dapat diperjuangkan dari bawah, bukannya menanti jatuh dari Sorga. Dengan filsafat Marxislah, k'las Proletariat dapat menggunakannya sebagai senjata untuk mendirikan Sosialisme


REFERENSI

Revolusioner.org.(2011, 25 Jun).Mengenal Dasar-dasar Filsafat Marxisme: Bagian I. Materialisme Dialektis. Diakses pada 17 Juni 2020. https://www.militanindonesia.org/teori-4/sosialisme/8186-mengenal-dasar-dasar-filsafat-marxisme-bagian-i-dialektika-materialisme.html

Revolusioner.org.(2005, 6 September).Materialisme Dialektis. Diakses pada 17 Juni 2020. https://www.revolusioner.org/teori-4/sosialisme/1882-materalisme-dialektis.html

Woods, Alan,. & Grant, Ted,.( 2017 13 September). Nalar yang Memberontak: Filsafat Marxisme dan Sains Modern. Bab 3. Materialisme Dialektik. https://www.revolusioner.org/8651-nalar-yang-memberontak-filsafat-marxisme-dan-sains-modern-bab-3-materialisme-dialektik.html

Lenin, Vladimir,.(1913). Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme. https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1913/tigasumb.htm

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau