Langsung ke konten utama

MARXISME DAN AGAMA



"Die Religion ... ist das Opium des Volkes" (Bahasa Indonesia: "Agama... adalah opium (candu) bagi masyarakat"), adalah salah satu pernyataam Karl Marx yang paling terkenal dan paling banyak disalahartikan. Kutipan ini sering digunakan untuk menyerang Marx, seakan-akan Marx menuduh agama menyesatkan dan menipu rakyat. Atau malah sebaliknya, oleh yang anti agama digunakan untuk memojokkan mereka yang memeluk agama. Apakah benar demikian? 

     Pertama-tama perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa pernyataan ini sebenarnya bukanlah pernyataan khas Marxis. Ungkapan yang sama dapat kita temukan, dalam berbagai konteks, dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, dan juga Heinrich Heine. Pandangan Marx mengenai agama sendiri bukanlah pandangan yang berdiri sendiri, melainkan berasal dari pandangan Ludwig Feuerbach. Maka dari itu, sebelum kita melihat pandangan  Marx mengenai agama, ada baiknya jika kita melihat kritik agama Feuerbach terlebih dahulu, sebab dasar pandangan Marx terhadap agama berasal dari pandangan tersebut.


FILSAFAT MARXISME MENGENAI AGAMA

A. Kritik Agama Feuerbach



Ludwig Andreas von Feuerbach (atau yang sering disingkat hanya menjadi Ludwig Feuerbach(1804-1872)) adalah seorang filsuf dan antropolog Jerman. Semula Feuerbach ingin menjadi pendeta Protestan. Karena pengaruh Prof. Karl Daub ia kemudian mengembangkan minat dalam filsafat Hegel yang dominan waktu itu dan melanjutkan studinya dengan mengikuti kuliah-kuliah Hegel (meskipun dilarang oleh ayahnya). Setelah belajar selama dua tahun, ia makin lama makin tidak dapat menerima pemikiran Hegel.

     Gagasan inti Hegel, yang menganggap bahwa hal yang abstrak bernama "roh semesta" merupakan hal yang primer, adalah sasaran kritik Feuerbach. Menurut Feuerbach, Hegel memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seolah-olah yang nyata adalah Tuhan (suatu hal yang tidak kelihatan, abstrak), sedangkan manusia (yang kelihatan dan ditangkap oleh pancaindra) hanyalah 'wayangnya'. Padahal yang nyata adalah manusia, bukan sebaliknya. Bukan manusia itu pikiran Allah, melainkan Allah adalah pikiran manusia. Bagi Feuerbach, manusia indrawi tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta alam hanya berada sebagai objek pikiran manusia.

     Kritik prinsipiil terhadap posisi Hegel tersebut berdasarkan pengandaian Feuerbach (yang dianggap tidak perlu dibuktikan lagi) bahwa realitas yang tak terbantahkan adalah pengalaman indrawi dan bukan pikiran spekulatif. Kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah, dari kepastian indrawi. Realitas indrawi yang langsung menyatakan diri. Oleh karena itu, bagi Feuerbach, hanya ada satu titik tolak filsafat yang sah, yaitu manusia indrawi.

     Pengandaian itulah dasar kritik agama Feuerbach. Inti kritik tersebut adalah bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi sebaliknya, Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah proyeksi manusia. Secara panjang, Feuerbach menuliskan:

     "Agama.... adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terhadap hakikatnya sendiri, tetapi perlakuannya terhadap hakikatnya adalah seperti terhadap makhluk lain. Hakikat Ilahi tidak lain adalah hakikat manusia, atau lebih tepat: hakikat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, secara nyata, jasmaniah, diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda darinya-karena itu semua ciri hakikat Ilahi adalah ciri hakikat manusia."

     Jadi, secara ringkas, kritik agama Feuerbach adalah sebagai berikut: agama hanyalah proyeksi dari hakikat manusia. Dalam agama, manusia, bukannya berusaha untuk menjadi sesempurna mungkin, ia malah dituntut untuk 'mengemis' anugrah-anugrah dari Sorga. Bukannya berusaha untuk menjadi seutuh dan sesempurna mungkin, manusia, sebaliknya, mengharapkan akan menerima keutuhan dan kesempurnaannya dari sorga. Agama adalah tanda keterasingan manusia dari hakikatnya sendiri. Manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila ia meniadakan agama. 


B. Dari Kritik Teologi Menjadi Kritik Politik

Walaupun pandangan agama Marx berasal dari Feuerbach, namun ini bukan berarti bahwa Marx menjiplak pemikiran Feuerbach dengan sama 100%. Marx melangkah lebih jauh lagi. Menurut Marx, Feuerbach 'berhenti' di tengah jalan. Bagi Marx, adalah betul bahwa agama adalah dunia khayalan di mana manusia mencari dirinya sendiri. Tetapi Feuerbach tidak melanjutkan dengan bertanya, mengapa manusia melarikan diri ke khayalan daripada mewujudkan diri dalam kehidupan nyata?

     Feuerbach tidak cukup konsekuen. Seharusnya Feuerbach bertanya: mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Mengapa manusia tidak dapat merealisasikan hakikatnya secara nyata? Mengapa hanya secara semu dalam khayalan agama? Jawaban yang diberikan Marx adalah: Karena kehidupan nyata, dan itu berarti: struktur kekuasaan dalam masyarakat, tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan kekayaan hakikatnya. Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya.

     Manusia merealisasikan hakikatnya hanya dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh. "Penderitaan relijius adalah, pada satu dan saat yang sama, ekspresi dari penderitaan yang nyata dan protes melawan penderitaan yang nyata. Agama adalah desah napas keluhan (sigh) dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah candu bagi masyarakat" (A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right).

     Dengan demikian, Marx menemukan sesuatu yang amat penting: agama hanyalah tanda keterasingan manusia, tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. "Agama adalah candu bagi masyarakat."

     Jadi, makna dari pernyataan bahwa "Agama adalah opium/candu bagi masyarakat" adalah agama, sebagai sarana untuk 'meringankan' beban manusia. Konteks opium/candu adalah sebagai obat peringan beban pikiran, bukan sebagai opium/candu yang membuat ketergantungan (mabok agama).

     Menurut Marx, agama memiliki fungsi sebagai penenang atau penghibur sementara. Fungsi ini kurang lebih sama seperti fungsi opium terhadap orang sakit atau cedera. Ia mengurangi rasa sakit dan memberi ilusi yang menyenangkan kepada si sakit. Agama seperti halnya obat-obat bius, yang tidak memecahkan persoalan sesungguhnya, tetapi memberikan jalan keluar yang bersifat sementara, supaya orang bisa bertahan di dalam penderitaannya. Agama adalah pelemah semangat perlawanan kaum tertindas terhadap kelas di atasnya yang bersifat opresif dan menjadikan masyarakat sebagai orang yang tidak berjiwa dan tidak berperasaan.

     Candu dari agama tersebut memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi buruk dari si pecandu. Agama memberikan kepuasan semu tanpa mengubah situasi buruk orang kecil. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat bagi orang yang dengan tabah menerima nasibnya. Jadi, menurut Karl Marx, karena agama, rakyat kecil tidak memiliki semangat untuk memerjuangkan nasibnya, tetapi malah bersedia menerima segala penghisapan dan penindasan yang dideritanya, hal yang justru menguntungkan klas-klas penindas.

     Maka dari itu, karena agama hanyalah gejala sekunder keterasingan manusia, kritik tidak boleh berhenti pada agama. Kritik terhadap agama tidak akan menyelaikan persoalan aslinya. Kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat. "Kritik Sorga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik."


BAGAIMANA KITA MENANGGAPI ANGGAPAN MARX INI? 

Namun, apakah pandangan Karl Marx terhadap agama ini salah? Tentu saja tidak, setidaknya untuk sebagian pendapatnya. Untuk menilai pendapat ini, kita tidak bisa melepaskan latar belakang Marx sebagai seotang sosiolog. Sebagai seorang sosiolog, penilaian yang dilakukan Marx ini semata-mata adalah penilaian yang dianalisis secara empiris-objektif semata. Secara empiris berarti agama dianalisis berdasarkan data dan pengalaman-pengalaman yang konkret. Dan, secara objektif berarti agama 'dibedah' menurut apa adanya (das Sein) bukan menurut apa yang seharusnya (das Sollen).

     Agama bagaikan pisau bermata dua, pernyataan ini sepertinya dapat kita gunakan dalam memahami hal ini. Di satu pihak, agama telah memajukan peradaban manusia, yakni menghormati kehidupan, menjunjung kemanusiaan universal, dll. Namun di lain pihak, agama telah menimbulkan berbagai macam perpecahan, peperangan, kekacauan, konflik, dll.

     Apa yang dikatakan oleh Marx memanglah benar, yaitu bahwa agama  memang dapat memberikan kelepasan kepada seseorang dari tekanan ekonomi dengan nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan keagamaan yang dipeluknya, dan boleh jadi, nilai-nilai dan kepercayaan keagamaan itu mempunyai efek seperti obat bius. Namun, pada waktu yang sama, agama telah memberikan makna yang sangat berarti pada kehidupan manusia, bahkan makna tersebut dapat memicu manusia untuk semakin berkembang. Max Weber membuktikan bahwa kebangkitan ekonomi di Eropa Barat mempunyai hubungan yang erat dengan agama (dalam hal ini adalah calvinisme). Weber menyatakan bahwa orang-orang yang mengalami keberhasilan dalam bidang ekonomi di Eropa Barat umumnya adalah orang-orang Calvinis. Selain itu, di Indoensia sendiri, di masa pra-kemerdekaan, banyak di antara para golongan agama yang memainkan peran progresif. Melihat hal ini, maka apa yang Marx katakan ini harus ditempatkan sebagai kebenaran relatif, yakni kebenaran yang hanya benar jika ditempatkan dalam situasi dan kondisi tertentu, bukan sebagai kebenaran absolut. Pandangan Marx ini harus ditempatkan secara dialektis. 

Di masa pra-kemerdekaan Indonesia, banyak di antara para golongan agama yang memainkan peran progresif. Salah satu golongan agamawan yang memainkan peran progresif ini ialah Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam pada masa itu dapat digolongkan sebagai salah satu organisasi penggerak kemerdekaan Indonesia terbesar yang pernah ada.


PENUTUP

Jadi, apakah kritik agama Karl Marx masih relevan? Tentu saja. Marx mendasari teorinya tidak pada hal yang bersifat abstrak, melainkan pada realitas yang nyata. Pernyataan "agama adalah candu bagi masyarakat" adalah benar-benar riil dan masih terjadi hingga hari ini. Maka agaknya, pernyataan Marx ini bak tantangan kepada agama-agama. Andaikan Marx masih hidup, Marx mungkin akan berkata, "Mau sampai kapan agama terus seperti ini?!?" Melalui pernyataan Marx ini, Marx seolah-olah telah menantang agama untuk menunjukkan bahwa mereka bisa juga menjadi kekuatan pembebas dan pemberdaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau