Langsung ke konten utama

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA




          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya? 



MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS


          Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih dulu musti menyelidiki: dari manakah asal pikiran manusia? Pandangan Marxisme terhadap seluruh ide-ide dan pikiran manusia dapat disingkat dalam kalimat berikut: "Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka." (Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik). Marxisme dengan demikian menganggap bahwa pikiran kita sepenuhnya ditentukan oleh dunia nyata di sekitar kita. Dunia nyata ini tidak terbatas hanya kepada materi fisik semata, melainkan juga kepada segala sesuatu yang dapat diamati secara objektif, termasuk realitas sosial. Ide-ide manusia dan pikiran kita, seabstrak apapun itu, pada dasarnya hanya dapat muncul dalam kaitannya dengan realitas konkret alam manusia, masyarakat sosial. Ini adalah premis dasar Marxisme atas segala macam bentuk pikiran manusia.


          Moralitas manusia, sebagai suatu kode etik yang mengatur perilaku individu-individu manusia dalam suatu kelompok sosial, pada dasarnya juga merupakan produk dari pikiran manusia, dan oleh karena itu bersifat historis dan relatif terhadap kelas-kelas sosial yang ada. Tidak ada yang namanya moralitas absolut, moralitas yang terlepas dari atau berdiri di atas atau berasal dari luar masyarakat, moralitas abadi yang berasal dari wahyu ilahi dan berlaku bagi semua manusia di sepanjang segala zaman, dll. Moralitas merupakan fenomena sosial dan sejarah. Dengan demikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Engels, "kita menolak setiap usaha yang memaksakan atas diri kita sesuatu dogma moral yang bagaimanapun sebagai suatu hukum etika yang abadi, terakhir dan tidak bisa berubah selamanya dengan dalih bahwa dunia moral juga mempunyai azas-azasnya yang permanen, yang berdiri di atas sejarah dan di atas perbedaan-perbedaan di antara nasion-nasion. Sebaliknya kita menegaskan bahwa semua teori moral hingga kini adalah produk, dalam analisis terakhir, dari kondisi-kondisi ekonomi masyarakat yang berlaku pada masanya." (Anti-Dühring)


          Pada zaman dahulu, memenggal orang karena murtad sudah dianggap wajar, sedangkan sekarang tidak. Sama halnya dengan perbudakan yang dianggap wajar oleh agama-agama terdahulu, namun dikecam habis-habisan oleh agama saat ini. Apakah ini suatu kebetulan? Tentu saja tidak. Moralitas Kristen primitif (jemaat perdana) berbeda dengan moralitas Kristen modern. Penafsiran moral proletariat Muslim berbeda dengan penafsiran moral borjuis kecil Muslim. Singkatnya, kelas-kelas sosial menciptakan moralitas mereka sendiri untuk melayani kepentingan mereka. "Manusia, secara sadar atau secara tidak sadar, mendapatkan ide-ide moral mereka, pada upaya terakhir, dari hubungan-hubungan praktis yang di atasnya posisi kelas mereka didasarkan – dari hubungan-hubungan ekonomi yang dengannya mereka melaksanakan produksi dan pertukaran... moralitas adalah selalu moralitas kelas; ia telah membenarkan dominasi dan kepentingan-kepentingan kelas yang berkuasa, atau, bahkan sejak kelas tertindas telah menjadi cukup kuat, ia telah menyatakan kejengkelannya terhadap dominasi ini dan kepentingan-kepentingan masa depan kaum tertindas." (Anti-Dühring).


          Secara ringkas, pandangan Marxisme terhadap moralitas dapat dirumuskan sebagai berikut: Moralitas adalah suatu konsesi bersama yang berisi sekumpulan norma atau ketentuan etika yang mengatur perilaku individu-individu manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain, demi melayani tujuan bersama berdasarkan kedudukan kelasnya dan sistem produksi masyarakatnya. Sebagai suatu produk masyarakat yang bergantung kepada posisi kelas dan sistem produksinya, moralitas dengan demikian bersifat historis dan relatif. Marxisme secara tegas menolak seluruh konsep moralitas yang didasarkan pada konsep ekstra-manusia dan ekstra-kelas, yang didasarkan pada frasa idealis ataupun semi-idealis, yang selalu berakhir dengan sesuatu yang sangat serupa dengan perintah ilahi yang abadi. Kami memandang klaim-klaim tersebut sebagai suatu penipuan, sebagai suatu omong kosong filistin yang begitu menjijikkan, sebagai suatu selubung ideologis untuk meninabobokan kelas pekerja revolusioner. Bertentangan langsung dengan kaum reaksioner dan konservatif yang turun dari ide-ide sorgawi menuju ke bumi, di sini kami berangkat dari dunia nyata yang fana menuju ke sorga.



MORALITAS, AGAMA, DAN PERTENTANGAN KELAS


          Jadi, apakah agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, cinta kasih, dll? Tidak, tentu saja. Sama tidaknya dengan agama yang mengajarkan kejahatan, kekerasan, dll. Bukan agama yang mengajarkan kebaikan, kejahatan, dst,... dsb,... dsl,... melainkan masyarakatlah yang mengajarkan hal-hal tersebut (agama sendiri tak lebih dari ciptaan manusia). Yang menjadi titik tolak analisis moral kita haruslah masyarakat konkret beserta sistem produksi yang mendasarinya dan kelas-kelas sosial yang berada di dalamnya, bukan agamanya. Menyatakan bahwa agama mengajarkan kebaikan, kedamaian, cinta kasih, dll, (ataupun sebaliknya, menyatakan bahwa agama mengajarkan kekejaman, kebencian, kejahatan, dll) hanya akan mengaburkan basis kelas yang mendasari moralitas manusia dan menguntungkan propaganda ideologis kelas borjuis. 


          Dalam kitab-kitab suci sendiri, kita seringkali dapat menemukan berbagai macam ayat yang berpotensi untuk mengalami multitafsir dan saling berkontradiktif. Apabila kita menginginkan kedamaian, kita bisa menemukan ayat tentang kedamaian. Begitu juga dengan sebaliknya. Setiap kelas sosial menggunakan ayat-ayat yang banyak dan (seringkali) saling bertentangan ini untuk melayani kepentingan kelasnya, termasuk dalam konteks terorisme ini adalah kelas borjuasi kecil. Di tengah keadaan krisis akut kapitalisme yang merajalela, kelas borjuasi kecil yang merasa tertekan dan bimbang kemudian lari kepada penghiburan agama. Mereka kemudian memberikan penafsiran 'radikal' atas agama untuk melayani kepentingan mereka. 


          Kemudian, ada paduan suara penyangkalan besar, ketika para imam dan elit-elit borjuasi nasional bergegas untuk membalas, bahwa terorisme ini adalah hasil dari penyesatan tafsir atas iman ‘asli’ kepada tafsir 'radikal'. Tetapi bagaimana bisa ada penyesatan iman, jika iman, yang tidak ada pembenaran objektif, tidak memiliki tolok ukur yang dapat didemonstrasikan untuk disesatkan? Apakah ini bisa disebut sebagai suatu penyesatan? Bukan hak kami untuk menjawab hal ini. Kaum Marxis tidak pernah ambil peduli dengan benar-tidaknya penafsiran kitab suci di hadapan wahyu ilahi. Yang menjadi persoalan bukanlah mengenai keliru atau tidak, melainkan mengapa dan bagaimana penafsiran tersebut dapat muncul serta bagaimana kita harus melawan hal tersebut. Hanya itu, tidak lebih. Mengenai persoalan keliru-tidaknya penafsiran kitab suci terhadap wahyu ilahi, biarkan hal itu diserahkan kepada kaum teolog yang merasa berhak untuk menafsirkannya. 


          Sebagaimana yang diungkapkan Marx dalam The German Ideology, ide-ide yang dominan adalah idenya kelas penguasa, termasuk dalam penafsiran agama. Apakah yang anda maksud sebagai penafsiran iman yang 'asli' dan benar ini merupakan penafsiran yang sesuai dengan ketetapan kelas penguasa? Kami mengakui kenaifan ini. Kelas penguasa seringkali menggunakan agama untuk menjinakkan gelombang revolusioner kelas pekerja dan memecah belah mereka. Pengistimewaan terhadap beberapa golongan agama di atas golongan agama lainnya seringkali dilakukan demi memupuk 'rasa iri' di antara kelas pekerja itu sendiri. Singkat kata, agama digunakan untuk memecah belah kelas pekerja dan meninabobokan mereka. Hal ini tidak perlu ditangisi, sebab setiap kelas pada dasarnya menggunakan agama menurut kepentingannya, dan masing-masing dari mereka memberikan penafsiran tersendiri atas agamanya. 



PENUTUP


          Kesimpulannya, tentu tidak ada yang salah bila kita menyatakan bahwa agama bukanlah akar dari persoalan terorisme ini, sebab kenyataannya memang demikian. Akar daripada terorisme agama bersumber dari basis materiil yang nyata, dan bukan dari agama. Tanpa adanya basis materiil yang nyata ini, peran agama sebagai salah satu motif pendorong (sekunder) bagi terorisme tidak akan pernah ada. Namun, meskipun demikian, bukan berarti kita harus berkompromi pula. 'Pembelaan' kita terhadap persoalan ini harus berlandaskan kepada Materialisme Dialektis, bukan dengan meminjam ide-ide kelas borjuasi dengan klaim-klaim mereka yang fantastis dan penuh selubung ideologis.



SUMBER


● Engels, Friedrich,. (1878). Anti-Dühring. Hasta Mitra. 


● Marxists.org. Society and Mind in Marxian Philosophy. https://www.marxists.org/archive/pannekoe/1937/society-mind.htm. Akses 04/04/2021


● Marxists.org. The Nature of Human Brain Work, V “Practical Reason” Or Morality. https://www.marxists.org/archive/dietzgen/1869/brain-work/ch05.htm. Akses 04/04/2021


● Marxists.org. Tugas-Tugas Liga Pemuda!. https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1920/TugasLigaPemuda.htm#:~:text=Liga%20pemuda%20Komunis%20harus%20mengajar,menghadang%20saat%20ini%20akan%20dipecahkan. Akses 04/04/2021


● Sayers, Sean,. (1998). Marxism and Human Nature. Routledge. 


● Trotsky, Leon,. Dewey, John,. Novack, Georg,. Engels, Frederick,. Lenin, Vladimir,. Their Morals and Ours. Resistance Marxist Library.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau