Langsung ke konten utama

TENTANG PERMASALAHAN FUNDAMENTALISME AGAMA DAN ATEISME BORJUIS




        Seberapa sering kita mendengarkan celoteh dari kaum ateis borjuis liberal yang selalu menyalahkan agama atas segala aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan atas namanya? Seberapa sering pula kita mendengarkan omong kosong yang dilontarkan oleh kelas borjuasi nasional untuk melepaskan keterkaitan antara agama dengan beberapa aksi terorisme sama sekali demi persatuan nasion? Belakangan ini, persoalan-persoalan semacam ini agaknya telah menjadi persoalan yang amat penting dan mendesak untuk segera diselesaikan. Tidak diragukan lagi, aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh kaum fundamentalis agama di Makassar telah menimbulkan suatu ketertarikan masyarakat kepada segala sesuatu yang berhubungan dengan agama, khususnya dalam kaitannya dengan aksi terorisme. Merupakan tugas mutlak bagi kami untuk membuat pernyataan publik tentang pandangan kami atas persoalan ini. Bagaimana analisis Marxisme atas fenomena ini? Apakah aksi terorisme yang mengatasnamakan agama benar-benar tidak ada kaitannya dengan agama? Dan apakah agama merupakan akar dari persoalan ini? Mari kita analisis satu persatu. 



PANDANGAN MATERIALIS ATAS AGAMA


        "Agama adalah candu rakyat — diktum Marx ini adalah batu penjuru dari keseluruhan pandangan Marxis tentang agama." (The Attitude of the Workers’ Party to Religion, V. I. Lenin). Dalam angan-angannya akan kehidupan kekal di sorga, manusia telah mengasingkan dirinya dari realitas konkret. Ia telah melarikan diri dari dunia yang fana ini kepada ilusi kebahagiaan, demi memuaskan hasrat mereka yang tak tercapai. Agama layaknya opium yang memberikan penghiburan semu bagi manusia. Dengan kesedihan yang mendalam, mereka berlutut di hadapan ciptaan mereka sendiri demi memperoleh keutamaan buah-buah Roh Kudus.


        Namun, mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Mengapa manusia tidak dapat memperoleh kebahagiaannya yang konkret? Mengapa hanya secara semu dalam khayalan agama? Itu semua karena kehidupan nyata tidak 'mengizinkannya'. Masyarakat beserta sistem ekonomi di dalamnya telah menindasnya secara keji dan kejam. Dalam kebingungannya, kesengsaraannya, dan kepedihannya yang mendalam, manusia mencoba untuk merangkak dari dunia nyata yang menindasnya itu ke dalam dunia khayalannya. Singkatnya, "semua agama tidak lebih dari refleksi fantastis di kepala orang-orang dari kekuatan eksternal yang mendominasi mereka dalam kehidupan sehari-hari - refleksi di mana kekuatan duniawi mengambil bentuk yang tidak wajar" (K. Marx, F. Engels Soch., V. 20, hlm. 328).


        Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita mengenai akar-akar dari seluruh agama yang ada. Agama di satu sisi berakar pada kehidupan sosial (latar belakang sosial), dan di sisi lain, agama berakar pada aktivitas kognitif manusia (latar belakang epistemologis).


        Apa akar sosial dari agama? Agama pertama kali muncul dalam masyarakat primitif sebagai ekspresi ketidakberdayaan manusia di hadapan kekuatan-kekuatan unsur alam. Agama kemudian masih terus eksis dalam zaman-zaman sejarah berikutnya sebagai cerminan ketidakberdayaan manusia dalam bentuk yang fantastis di hadapan kekuatan-kekuatan sosial yang mendominasi dirinya. Sejak zaman kepemilikan budak, agama mulai mencerminkan dan melindungi hubungan eksploitasi. Ia bertindak sebagai instrumen penghiburan sekaligus penindasan spiritual rakyat pekerja. Akar sosial agama terletak pada kenyataan bahwa dalam masyarakat kelas, agama seringkali ditujukan untuk melindungi kepentingan kelas penguasa serta pelarian bagi masyarakat tertindas atas segala kesengsaraan dan kebingunannya.


        Dengan demikian, agama bukan sekadar takhayul yang ditemukan oleh para pendeta dan penguasa dan yang dapat dilawan oleh propaganda ateistik. Ini juga bukan hanya sekedar ketidaktahuan yang dapat dihancurkan melalui indoktrinasi dengan ilmu pengetahuan alam. Ini muncul dari ketidakmampuan manusia untuk mengontrol nasibnya sendiri. Ini adalah ekspresi dari perasaan bahwa kekuatan yang tidak diketahui dan sangat kuat, baik yang berasal dari alam atau sosial, menguasai hidup dan takdir manusia. 


        Selanjutnya, agama juga memiliki akar epistemologis. Seperti yang kita ketahui, seseorang dalam proses kognisi beroperasi dengan konsep. Pada dasarnya, semua konsep muncul sebagai hasil dari abstraksi. Setiap objek dan fenomena memiliki fitur unik yang melekat hanya padanya, dan fitur berulang yang melekat pada semua fenomena dari jenis tertentu. Mari kita contohkan. Semua manusia berbeda satu sama lain, ada yang berkulit kehitam-hitaman, kecoklat-coklatan, kekuning-kuningan, dll; adapula yang tinggi, pendek, dll. Namun, pada saat yang sama, semua manusia memiliki suatu karakteristik yang sama bagi semua manusia, seperti kemampuan berpikir rasional, berdiri tegak, dll. Fitur umum yang melekat di semua manusia ditetapkan dalam konsep "manusia", dan dalam proses pembentukan konsep ini, kita mengabstraksi dari fitur individu yang melekat pada masing-masing manusia. Abstraksi dari kenyataan ini menciptakan kemungkinan pemisahan konsep dari fenomena riil yang tercermin dalam konsep tersebut. Kesadaran manusia dapat dengan sewenang-wenang melepaskan konsep dari hal-hal nyata, mulai menganggapnya sebagai substansi, prinsip fundamental dari berbagai hal. 


        Sangat jelas bahwa munculnya agama merupakan salah satu syarat utama yang diperlukan bagi tingkat perkembangan kesadaran manusia tertentu. Kemunculan agama didahului oleh periode non-religius yang panjang dalam sejarah umat manusia, ketika manusia masih sangat tidak berdaya dalam perjuangannya dengan alam. Namun, agama tidak ada pada saat itu. Hal ini terjadi karena untuk kemunculan agama, tidak hanya diperlukan ketidakberdayaan yang sebenarnya dari seseorang, tetapi juga kemampuan kesadaran untuk merefleksikan fakta ini, untuk merealisasikannya dalam bentuk religius yang fantastis. Agama juga mengalami sejumlah bentuk perkembangan dalam sejarahnya. Ini bukan sekedar hasil dari perkembangan masyarakat, melainkan juga hasil dari perkembangan kesadaran manusia, yang telah mencapai tingkat di mana tingkat abstraksi yang sangat tinggi menjadi mungkin.


        Marx dan Engels membuktikan bahwa agama memiliki akar kelas dan epistemologis, dan dengan demikian memperjelas alasan terpenting bagi kemunculan dan eksistensi agama. Klarifikasi keadaan ini memungkinkan tidak hanya untuk dengan benar memahami dan menjelaskan asal mula agama, tetapi juga memungkinkan kita untuk menguraikan solusi-solusi konkret untuk mengatasi agama. Agar agama tidak ada lagi atau lenyap, kita tidak cukup hanya dengan melawan kebodohan. Pertama-tama, akar kelas agama perlu dihancurkan, yaitu menghancurkan masyarakat yang mengeksploitasi, kelas-kelas penghisap yang mendukung agama dan melanggengkan kebodohan.



AKAR-AKAR FUNDAMENTALISME AGAMA DAN TERORISME


        Lingkungan yang diciptakan oleh moda produksi kapitalis memiliki kecenderungan yang kuat ke arah penjelasan supernatural atas fenomena alam dan masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis, produksi dan pertukaran produk tidak dilakukan dengan kesadaran penuh dan sesuai dengan rencana yang telah terbentuk sebelumnya; seolah-olah mereka adalah hasil dari kekuatan unsur-unsur luar. Pasar mengontrol produsen. Tidak ada yang tahu apakah komoditas diproduksi secara berlebihan atau kekurangan. Produsen tidak sepenuhnya memahami bagaimana mekanisme produksi kapitalis yang besar dan rumit itu bekerja; mengapa krisis terjadi dan pengangguran tiba-tiba menjadi marak? Mengapa harga-harga naik pada satu waktu dan jatuh di waktu lain? dan seterusnya. Pekerja biasa, tidak mengetahui apa-apa tentang penyebab sebenarnya dari kejadian sosial di mana kehidupannya berlangsung. Ia cenderung menerima 'kehendak Tuhan' sebagai penjelasan universal.


        Dalam periode ketika dunia porak-poranda karena krisis akut kapitalisme, segala macam pandangan terbelakangan niscaya akan tumbuh dengan suburnya. Ini merupakan salah satu akar utama dari munculnya segala macam pandangan reaksioner yang terbelakang, salah satunya ialah fundamentalisme agama. Apakah bukan suatu kebetulan apabila kekalahan revolusi 1905-1907 dan fase reaksi selanjutnya telah meningkatkan pandangan revisionis atas Marxisme dari sudut pandang berbagai kecenderungan pemikiran filosofis borjuis? (neo-Kantianisme, Machisme) Apakah bukan suatu kebetulan apabila selama periode krisis ini, ide-ide individualisme ekstrim, mistisisme dan erotisme, tren idealis dalam filsafat, dan pengaruh filosofis religius seperti pencarian Tuhan dan pembangunan Tuhan juga menjadi tumbuh dengan suburnya? Yang terakhir, apakah bukan suatu kebetulan pula apabila semenjak krisis kapitalisme di tahun 1930an, ideologi borjuis kecil fasisme yang telah menenggalamkan dunia ke dalam kegelapan pekat Perang Dunia kemudian lahir di Eropa? Tentu ini bukan suatu kebetulan.


        Dengan melihat hal ini, maka jelaslah bagi kita bahwa agama bukanlah akar dari persoalannya. Ia 'hanyalah' salah satu refleksi dari situasi ekonomi dan sosial masyarakat yang memuakkan. Imperialisme negara-negara kapitalis, yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Timur Tengah berperan besar dalam menumbuhkan pandangan reaksioner ini. Seperti yang dikatakan Marx, "Penderitaan relijius adalah, pada satu dan saat yang sama, ekspresi dari penderitaan yang nyata dan protes melawan penderitaan yang nyata." (Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right, Marx). Tentu, bukan berarti agama tidak terkait sama sekali. Dalam batasan-batasan tertentu, agama juga turut bertanggungjawab atas kejadian-kejadian ini. Namun, tanpa syarat-syarat materiil yang mendasarinya, peran agama tak akan mungkin bisa dijalankan.


        Pada akhirnya, perjuangan melawan aksi terorisme dan segala macam anasir fundamentalisme agama lainnya hanya bisa dilakukan dengan cara pembangunan perjuangan kelas oleh massa rakyat tertindas untuk melawan para penindas beserta sistem yang menyertainya. Apakah dengan demikian kita harus berkompromi secara politis dan mengebiri Materialisme Dialektis? Tentu saja tidak. Perjuangan melawan seluruh pandangan idealis (termasuk agama) hanya dapat dilakukan sejauh ia tunduk kepada tujuan utama ini, mewujudkan masyarakat Sosialis melalui revolusi dan kediktatoran proletariat. Hanya dengan demikian, maka penindasan berangsur-angsur akan hilang dan agama akan melenyap. Kaum Sosialis akan selalu berada di barisan terdepan dalam menuntut kebebasan mutlak untuk setiap individu dalam memilih agamanya dan toleransi seluas mungkin, termasuk bagi mereka yang tidak memilih agama apapun, atau menjadi ateis.



REFERENSI

Marxists.org. Communism and Religion. https://www.marxists.org/archive/pannekoe/1936/05/communism-religion.htm. Akses 29/03/2021

Marxists.org. The ABC of Communism, Chapter 11: Communism and Religion. https://www.marxists.org/archive/bukharin/works/1920/abc/11.htm. Akses 29/03/2021

Marxists.org. Sosialisme dan Agama. https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1905/SosialismeDanAgama.htm. Akses 29/03/2021

Marxists.org. The Attitude of the Workers’ Party to Religion. https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1909/may/13.htm. Akses 29/03/2021

Religion.historic.ru. Марксисткий атеизм. http://religion.historic.ru/books/item/f00/s00/z0000000/st004.shtml. Akses 29/03/2021

Revolusioner.org. Terorisme dan Fundamentalisme. https://www.revolusioner.org/analisa-perspektif/hukum-demokrasi/8241-terorisme-dan-fundamentalisme.html?fbclid=IwAR2XeiidgponZVCXZslFDGTUKJFT3HN4uF75MTtcHBLnBBFnqCvMQA2ypjg. Akses 29/03/2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau