Langsung ke konten utama

RAS DAN PERTENTANGAN K'LAS



Marxisme telah dituduh oleh para kritikusnya bahwa ia telah mengecilkan perjuangan melawan rasisme. Mereka seringkali menganggap bahwa Marxisme  menjadikan permasalahan rasisme hanya menjadi semata-mata permasalahan ekonomi. Ringkasnya, Marxisme seringkali dianggap mengabaikan permasalahan rasisme. Apakah benar demikian? 

     Permasalahan rasisme akhir-akhir ini memang tidak bisa diabaikan. Belakangan ini kita dikejutkan dengan suatu peristiwa baru, yakni demonstrasi di Amerika Serikat dan berbagai macam negara lainnya. Demonstrasi ini bermula dari terbunuhnya George Floyd oleh seorang polisi AS. Kematian George Floyd ini telah memicu demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat, dan akhirnya meluas hingga ke Eropa.

     Pada artikel kami kali ini, kita akan mencoba untuk membahas permasalahan rasisme ini dalam sudut pandang Marxisme. Di bagian pertama, kita akan mencoba untuk mengupas akar daripada rasisme, baik dari akar kesejarahan, maupun yang lainnya. Di bagian ke-2, kita akan melihat sikap Marxime dalam menghadapi permasalahan ras ini. Apa akar daripada rasisme ini? Dan bagaimana kaum Marxis mengahadapi permasalahan ras ini? 


AKAR RASISME

Banyak dari kalangan intelektual borjuis yang mengatakan bahwa rasisme adalah suatu hal yang alami dari manusia. Karena dianggap sebagai suatu hal yang alami, maka di saat yang sama, rasisme dianggap sebagai suatu hal yang abadi. Selama manusia ada, di situ pula rasisme hadir. Namun, ini hanyalah prasangka kaum idealis semata. Pemikiran seperti ini hanyalah bentuk legitimasi terhadap imperialisme dan kolonialisme. Kaum Marxis secara tegas menolak konsep keabadian rasisme ini. Fragmen-fragmen dari tulisan Marx sendiri dapat memberi kita gambaran yang baik dalam memahami penjelasan Marxis tentang asal-usul rasisme.

     Rasisme mulai lahir pada masa kapitalisme-kolonial (imperialisme kuno). Rasisme lahir dari praktik perbudakan, yang dilakukan oleh kolonial Inggris terhadap orang-orang Negro (Afrika) di Benua Amerika. Dalam karyanya "Das Kapital", Marx menuliskan, "Penemuan emas dan perak di [benua] Amerika, pemusnahan, perbudakan dan penguburan penduduk pribumi di pertambangan, permulaan penaklukan dan penjarahan di Hindia Timur, dijadikannya Afrika sebagai perang perburuan perdagangan budak kulit hitam, merupakan ciri awal era produksi kapitalis."

     Marx kemudian menghubungkan penjelasannya tentang peran perdagangan budak di tahap awal kelahiran kapitalisme, dengan hubungan sosial yang menghasilkan konsep awal dari rasisme terhadap orang kulit hitam. Dalam "Wage Labour and Capital", Marx menjelaskan, "Apa itu budak negro? Ia adalah seorang manusia dari ras kulit hitam..... Negro adalah Negro. Ia hanya menjadi budak dalam hubungan tertentu. Spinning Jenny adalah mesin untuk memintal kapas. Mesin tersebut hanya menjadi modal dalam hubungan tertentu."

     Dalam tulisannya ini, Marx tidak menganggap rendah ras kulit hitam. Ia mengkritik pola pikir yang menganggap masyarakat kulit hitam sama saja dengan budak. Marx menunjukkan bagaimana hubungan ekonomi dan sosial dari kapitalisme telah mendorong orang kulit hitam ke dalam perbudakan, yang pada akhirnya menghasilkan pemikiran yang menyamakan orang kulit hitam (dalam hal ini adalah orang-orang Afrika) dengan budak (ras inferior).

     Walaupun praktik perbudakan telah ada sejak ribuan tahun sebelum penaklukan benua Amerika, namun konsep rasisme seperti yang kita pahami saat ini belum muncul. Kerajaan Yunani kuno dan Romawi mendasarkan kerajaan mereka dengan praktik perbudakan. Namun, perbudakan kuno ini tidak dilihat dari segi ras. Orang-orang Yunani kuno dan Romawi membagi masyarakat berdasarkan kultur (adab atau bar-bar), bukan berdasarkan ras ataupun etnis. Budak-budak yang ada merupakan hasil dari tawanan perang atau penaklukan wilayah. Maka tak heran, pada masa perbudakan kuno ini, kita akan banyak menjumpai budak-budak berkulit putih. Senada dengan itu, seorang sejarawan Sosialis, C. L. R. James menuliskan bahwa, "secara resmi, sekarang terbukti dengan cukup baik bahwa orang Yunani kuno dan Romawi tidak tahu apa pun tentang ras. Mereka memiliki standar lain - beradab dan biadab - dan Anda bisa memiliki kulit putih dan menjadi orang barbar, dan Anda bisa menjadi hitam dan beradab."

     Praktik perbudakan yang berdasarkan atas dasar ras pertama kali dipelopori oleh kerajaan Inggris. Berbeda dengan kolonisasi Spanyol atau negara-negara Eropa lainnya yang bersandar pada corak produksi feodal (kolonisasi feodalis), praktik kolonisasi Inggris bercorak kapitalis, yang dalam kasus Amerika mengambil bentuk apa yang disebut Karl Marx sebagai kapitalis perbudakan (capitalist slavery), yakni sebuah sistem yang didasarkan pada penggunaan tenaga kerja budak untuk memproduksi komoditas untuk pasar dunia.

     Perbedaan ini direkam oleh antropolog Sidney Mintz. Jika kolonisasi Spanyol di ‘Dunia Baru’, tulis Mintz, “berkonsentrasi pada usaha untuk mengeruk barang-barang logam berharga, maka Inggris fokus pada produksi komoditas-komoditas yang laku di pasaran” seperti kapas, nila, kopi, gula dan tembakau. Bagi McNally, perbedaan ini sangat signifikan; kolonialisme Spanyol bertumpu pada pengerukan barang-barang berharga dari dalam tanah dan pengiriman ke negara asal untuk membiayai perang. Ketika emas atau perak itu semakin sulit ditemukan maka mereka menelantarkan atau meninggalkan tanah tersebut.

     Sementara itu, kolonialisme Inggris justru membangun alat-alat produksi. Mereka membersihkan lahan, mengingkatkan kadar kesuburannya, dan membudidayakannya. Mereka juga membangun gudang-gudang penyimpanan, pengawetan, dan penyulingan untuk memproses bahan-bahan mentah. Seturut dengan itu muncul pula kebutuhan akan infrastruktur jalan dan tempat-tempat perdagangan yang akhirnya dibangun untuk memfasilitasi kepentingan produksi komoditas dan pengiriman ke pasar dunia.

     Perbudakan Inggris di benua Amerika telah membantu menghasilkan ledakan ekonomi di abad ke-18, yang menyediakan landasan material bagi revolusi industri di Eropa. Sejak awal, perbudakan kolonial dan kapitalisme saling terkait. Meskipun tidaklah benar jika mengatakan bahwa perbudakan menciptakan kapitalisme, lebih tepatnya ialah perbudakan menyediakan salah satu sumber utama untuk akumulasi modal yang pada akhirnya membantu mendorong perkembangan kapitalisme di Eropa dan Amerika Utara.

     Karl Marx dengan jelas memahami hubungan antara perbudakan kolonial di benua Amerika dengan perkembangan kapitalisme di Inggris. Dalam "Capital", Marx menuliskan, "Sementara industri kapas memperkenalkan perbudakan anak ke Inggris, di benua Amerika, hal itu memberikan dorongan untuk transformasi perbudakan patriarki menjadi sistem eksploitasi komersial. Faktanya, perbudakan terselubung para pekerja upahan di Eropa masih tetap membutuhkan perbudakan di Dunia Baru yang tidak memenuhi syarat sebagai tumpuannya. Modal mengalir dari kepala ke kaki, dari setiap pori, dengan darah dan kotoran."

     Pada periode perbudakan Inggris terhadap orang Afrika ini lah, konsep mengenai rasisme pertama kali lahir. Pada periode ini, orang-orang Afrika menjadi sumber utama budak di perkebunan. Pada awalnya, sistem perbudakan di Amerika tidak menggunakan orang-orang Afrika sebagai sumber utama eksploitasinya. Awalnya, orang-orang Inggris memanfaatkan penduduk asli benua Amerika, tawanan perang, dan orang-orang Irlandia sebagai budak. Alasan utama pergeseran ke budak Afrika ini adalah bahwa budak seperti itu diperoleh dengan cukup murah, dan sekaligus dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan yang berkembang dari para kapitalis perkebunan. Oleh karena itu, dalam bukunya "Capitalism and Slavery" (1944), Eric Williams, sejarawan AS asal Trinidad menuliskan bahwa:  "Perbudakan tidak lahir dari rasisme: melainkan sebaliknya, rasisme adalah konsekuensi dari perbudakan."

     Konsep mengenai rasisme pertama kali dikembangkan oleh kelompok-kelompok seperti "penanam gula Inggris di Karibia, dan corong mereka di Inggris", yang mengaitkan perbedaan fisik untuk mengembangkan mitos bahwa orang kulit hitam adalah setengah manusia dan layak diperbudak. Rasisme digunakan untuk membenarkan penangkapan dan perbudakan abadi jutaan orang Afrika untuk tujuan kapitalisme. Perbudakan penduduk asli Amerika telah dibenarkan dengan alasan kepercayaan mereka yang kafir; Perbudakan Eropa dibenarkan sebagai orang bawahan (tawanan); Perbudakan orang kulit hitam dibenarkan melalui rasisme.


RASISME DALAM MARXISME

Melihat akar daripada rasisme ini, maka dengan tegas kaum Marxis menolak dan melawan konsep dari rasisme tersebut. Perjuangan melawan rasisme merupakan bagian dari perjuangan K'las. Pada akhirnya, konsep mengenai rasisme ini hanyalah ilusi K'las penguasa belaka, dan ilusi ini justru memecah belah K'las Pekerja, seperti yang ditulis Paul D'Amato:

     "Semua orang menerima gagasan bahwa penindasan budak berakar pada hubungan kelas eksploitasi di bawah sistem itu. Lebih sedikit yang menyadari bahwa di bawah kapitalisme, perbudakan upah adalah poros di mana semua ketidaksetaraan dan penindasan lainnya bermula. Kapitalisme menggunakan rasisme untuk membenarkan perampasan, penaklukan, dan perbudakan, tetapi sebagaimana ditunjukkan Karl Marx, rasisme juga digunakan untuk memecah belah dan menguasai [Devide et Impera] - untuk mengadu domba satu bagian K'las Pekerja melawan bagian yang lainnya, dan dengan demikian menumpulkan kesadaran kelas."

     Dalam tulisannya, Marx juga sepenuhnya memahami permasalahan rasisme ini dalam dunia kontemporer, yaitu sebagai alat pemecah belah K'las Pekerja. Marx memahami dinamika rasisme dalam pengertian modern, yaitu sebagai sarana di mana para pekerja, yang memiliki kepentingan obyektif yang sama satu sama lainnya, juga bisa menjadi musuh bebuyutan karena konsep-konsep subyektif, namun dianggap sebagai suatu hal yang nyata dan pokok, rasisme dan nasionalisme. Melihat ketegangan antara pekerja Irlandia dan Inggris, dengan bayangan terhadap situasi di benua Amerika antara pekerja kulit hitam dan putih, Marx menulis:

     "Setiap pusat industri dan komersial di Inggris, kelas pekerja dibagi menjadi dua kubu yang saling bermusuhan, proletar Inggris dan proletar Irlandia. Pekerja Inggris yang biasa membenci pekerja Irlandia itu sebagai pesaing yang menurunkan standar hidupnya. Dengan pekerja Irlandia pula, ia merasa dirinya anggota negara yang berkuasa dan dengan demikian mengubah dirinya menjadi alat kaum aristokrat dan kapitalis di negaranya untuk melawan Irlandia, sehingga memperkuat dominasi mereka terhadap dirinya sendiri. Dia menghargai prasangka agama, sosial dan nasional terhadap pekerja Irlandia. Sikapnya hampir sama dengan "orang kulit putih miskin" dengan "orang negro" di negara-negara bekas budak di AS.

     "Antagonisme ini secara artifisial tetap hidup dan diintensifkan oleh pers, mimbar, surat-surat komik, singkatnya dengan segala cara yang ada pada kelas penguasa. Antagonisme ini adalah rahasia dari impotensi kelas pekerja Inggris, terlepas dari organisasinya. Ini adalah rahasia dimana kapitalis mempertahankan kekuatannya. Dan kelas itu sepenuhnya menyadarinya."

     Selain itu, W. E. B. DuBois, salah seorang aktivis Sosialis kulit hitam menuliskan, "bahwa walaupun Sosialisme pada dasarnya adalah gerakan kelas pekerja untuk menggulingkan kekuasaan kapitalis, ia tetap harus memberikan bantuan kepada setiap kelas yang tertindas atau ras atau kebangsaan. Kelas pekerja tidak dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu membebaskan dirinya dari eksploitasi, kecuali jika ia membebaskan dirinya dari semua elemen komunitas lainnya dari eksploitasi. Ia tidak bisa mengakhiri penindasannya sendiri kecuali jika ia mengakhiri semua bentuk penindasan."

     Lebih lanjut, Lenin, secara langsung melakukan intervensi terhadap Partai Komunis Amerika untuk menyelesaikan permasalahan rasisme ini. Dalam bimbingan Lenin, PKA menyatakan dalam programnya bahwa, "Partai Pekerja akan mendukung orang-orang Negro dalam perjuangan mereka untuk Pembebasan, dan akan membantu mereka dalam perjuangan mereka untuk kesetaraan ekonomi, politik dan sosial ... Tugasnya adalah untuk menghancurkan sama sekali penghalang prasangka ras yang telah digunakan untuk memisahkan Pekerja kulit hitam dan putih, dan mengikat mereka menjadi kesatuan kekuatan revolusioner yang solid untuk menggulingkan musuh kita bersama."

PENUTUP

Melihat hal ini, maka suatu omongkosong lah jika orang menganggap bahwa Marxisme mengabaikan permasalahan rasisme. Marxisme justru dengan tegas menolak dan melawan konsep daripada rasisme ini. Namun, pada akhirnya, perlawanan terhadap rasisme ini adalah bagian dari perjuangan K'las. Rasisme dan kapitalisme telah terjalin sejak awal kapitalisme. "Anda tidak dapat memiliki kapitalisme tanpa rasisme". Karena itu, kemenangan terakhir atas rasisme hanya akan datang ketika kita menghapus sumber utama rasisme - kapitalisme - dan membangun masyarakat Sosialis baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau