Langsung ke konten utama

MEMBENCI KAPITALISME SECARA RASIONAL




"Anti-Kapitalisme kok pakai produk Kapitalis?", seberapa sering kita mendengar pertanyaan ini? Pertanyaan ini seringkali dianggap sebagai "batu sandungan" bagi orang-orang yang memiliki sikap anti terhadap kapitalisme. Kritik ini merupakan jurus andalan untuk menjatuhkan cara pandang anti-kapitalisme. Mereka beranggapan bahwa jika seseorang memiliki sikap anti terhadap kapitalisme, maka "seharusnya" orang tersebut pun tidak menggunakan barang-barang yang "diproduksi oleh" para kapitalis. Para anti-kapitalis seringkali dicap memiliki standar ganda karena menentang kapitalisme, tetapi di saat yang sama menggunakan "barang-barang kapitalis". Apakah benar demikian? Dalam artikel ini, kita akan mencoba untuk membahas permasalahan ini dalam sudut pandang Marxis. Bagaimana kaum Marxis menjawab pertanyaan ini? Dan, apakah anti-kapitalisme berarti harus fanatik dengan menolak dan memboikot seluruh barang  yang "diproduksi oleh" para kapitalis? 


     Sebelumnya, untuk menjawab permasalahan ini, kita harus melihat terlebih dahulu, analisa Marx terhadap komoditas, sebab keberadaan komoditas merupakan suatu hal yang sangat esensial dalam moda produksi kapitalis. Marx memulai dalam bukunya,  "Capital", dengan bergulat mengenai permasalahan komoditas ini. Apa itu komoditas? Pada dasarnya, komoditas adalah barang yang diproduksi untuk dipasarkan. Dalam "Das Kapital" bab 1, Marx menjelaskan bahwa seluruh komoditas pada dasarnya memiliki memiliki dua elemen dasar, yaitu nilai pakai dan nilai tukar (atau seringkali hanya di sebut nilai saja). Elemen yang pertama adalah nilai-pakai, yaitu kegunaan suatu komoditas yang dikondisikan oleh karakter materialnya. Elemen yang kedua ialah nilai-tukar, yakni nilai sebuah komoditas dalam relasi pertukarannya dengan komoditas lain. Kedua elemen dasar ini merupakan elemen yang independen, atau dengan kata lain, tidak saling menentukan. Emas yang memiliki nilai-pakai sangat kecil memiliki nilai [tukar] yang sangat besar, sedangkan air yang memiliki nilai-pakai sangat besar memiliki nilai yang sangat kecil.


     Semua proses produksi kapitalis pada dasarnya memiliki tujuan utama yang sama, yaitu memperoleh profit dalam bentuk nilai-lebih. Tujuan inilah yang membedakan moda produksi kapitalis dengan moda produksi lainnya. Dalam sirkulasi komoditas sederhana, kita akan menemukan rumusan K-U-K, yaitu komoditas (K) yang diproduksi untuk memperoleh sejumlah uang (U) agar dapat digunakan untuk membeli komoditas lain (K). Namun, berbeda dari itu, dalam moda produksi kapitalis kita akan menemukan sirkulasi kapital yang dapat dirumuskan sebagai U-K-U', yaitu uang (U) sebagai kapital  yang digunakan untuk memproduksi komoditas (K) lalu dijual ke pasar dengan tujuan agar dapat menerima kembali uang (U) yang digunakan sebelumnya dengan tambahan sejumlah kuantitas uang (yang diwakili dengan simbol ( ' )). Dalam kedua sirkulasi tersebut, kita akan melihat berbagai macam perbedaan, diantaranya ialah: dalam sirkulasi komoditas sederhana, kuantitas uang akan tetap atau bahkan habis (jika digunakan untuk membeli sesuatu), sedangkan dalam sirkulasi kapital, kuantitas uang justru bertambah; selain itu, dalam sirkulasi komoditas sederhana, transformasi dari uang ke komoditas (U-K) tidak diwajibkan, sedangkan dalam sirkulasi kapital, perubahan dari komoditas ke uang (K-U') merupakan suatu keharusan, sebab sudah diniatkan sejak awal. Darimana pertambahan kuantitas uang dalam sirkulasi kapital? Penambahan kuantitas uang ini berasal dari tenagakerja yang tak dibayarkan kepada K'las pekerja, kerja berlebih.


    Setelah membahas teori-teori yang panjang dan lebar tersebut (saya harap pembaca tidak bosan), mari kita gunakan paradigma ini untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Pada akhirnya, anti terhadap Kapitalisme tidak serta merta mengharuskan kita agar menolak dan memboikot seluruh barang  yang "diproduksi oleh" para kapitalis. Penggunaan "barang-barang kapitalis" pada akhirnya dipebolehkan semata-mata didasarkan karena kita membutuhkannya (memiliki nilai-pakai). Andaikata kapitalisme tidak memonopoli seluruh kebutuhan manusia, maka akan sangat mungkin, kita akan menemukan jawaban yang berbeda. 


     Penggunaan paradigma ini, yaitu menggunakan barang-barang semata-mata karena kita membutuhkannya pun dapat menghindarkan kita dari sikap konsumtif. Kita semua tau, bagaimana para kapitalis melakukan pembodohan-pembodohan masal dengan cara hegemonisasi, mempromosikan "kehidupan ideal"  melalui kanal-kanal media yang ada (sebagai contoh anggapan bahwa keren harus punya motor gede, atau anak muda itu harus banyak nongkrong di cafe). Melalui hegemonisasi, mereka telah mengaburkan distingsi tegas antara kebutuhan dengan kemauan. Para kapitalis mendorong agar masyarakat selalu melayani kemauan atau keinginan mereka, padahal apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan secara riil. 


     Jika berbicara secara jujur pun, sebetulnya tidak ada yang namanya "barang-barang kapitalis". Melalui analisa Marx mengenai komoditas ini, kita dapat mengetahui bahwa apa yang disebut sebagai "barang-barang kapitalis" hanyalah sebuah klaim kapitalis atas sebagian besar kekayaan sosial yang ada. "Barang-barang kapitalis" pada akhirnya tidak akan mungkin ada selama para pekerja tidak mengerjakannya. Tidak hanya komoditasnya saja, alat-alat produksi yang seringkali disebut sebagai kapital [konstan] (walau anggapan ini tidak sepenuhnya benar, alat-alat produksi hanya menjadi kapital "hanya dalam hubungan-hubungan tertentu" (Marx, Kerja Upahan dan Kapital)) pun pada akhirnya tidak akan mungkin ada selama tidak ada pekerja yang menjadikannya ada. Seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka, bukan si kapitalis lah yang memberikan kehidupan kepada si buruh, melainkan sebaliknya, si buruh lah yang senantiasa menambah kekayaan si kapitalis. Melalui nilai-lebih, tenagakerja yang tidak dibayarkan oleh kapitalis, K'las pekerja menambah kekayaan mandornya.


     Akhir kata, kapitalisme merupakan sistem ekonomi atau suatu corak produksi. Anti terhadap kapitalisme berarti anti terhadap corak produksinya dengan segala macam hubungan sosial yang ada (segelintir elit yang menguasai alat-alat produksi dengan mayoritas masyarakat yang tidak memiliki alat produksi). Penghancuran kapitalisme bukanlah suatu akhir dunia. Kontrol pekerja atas alat-alat produksi merupakan suatu bentuk lanjut yang lebih tinggi dari kapitalisme. Pembebasan pekerja tidak bisa diserahkan kepada elit-elit tertentu. Pembebasan pekerja hanya dapat dilakukan oleh pekerja itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau