Langsung ke konten utama

ANTARA YANG UMUM DENGAN YANG KHUSUS




PENDAHULUAN 


     Dalam Marxisme, mana yang penting? Yang partikular atau yang universal? Yang sosial atau yang individual? Yang keseluruhan atau yang perbagian? Singkatnya, yang umum atau yang khusus? Marx menganggap tidak ada yang tidak penting, semuanya penting. Namun, mana yang LEBIH penting? Atas persoalan ini, Marx akan menjawab: "Yang lebih penting ialah yang universal, yang sosial, yang umum, atau yang keseluruhan. Tentu saja!"


     Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar teriakan dari kaum Anti-Marxis yang berkata bahwa: "Nah! Perlu bukti apa lagi?! Jelas-jelas kaum Marxis merupakan kaum yang ingin menghilangkan keberagaman atau perbedaan! Mereka ingin menyamaratakan segala hal dengan menekankan aspek yang umum di atas yang khusus! Tak aneh bila PKI pernah menggunakan slogan "Sama rata Sama rasa", sebab memang mereka ingin menjadikan segala hal sama!" 


     Namun, benarkah tuduhan mereka ini? Yaitu bahwa Marxisme ingin menghilangkan perbedaan atau keberagaman dan menjadikan segala hal sama? Jika tidak, bagaimana konsepsi Marxisme mengenai hubungan antara yang umum dengan yang khusus?



DIALEKTIKA ATAU METAFISIKA?


     Pada dasarnya, fondasi filosofis dari anggapan Marx ini, yang menganggap bahwa aspek umum merupakan aspek yang lebih penting atau menentukan ketimbang yang khusus berakar langsung dari metode penalaran yang paling maju pada masa itu (dan hingga hari ini), yaitu dialektika Hegel. Dialektika menjelaskan bahwa untuk memahami sifat konkret dari suatu hal, adalah penting untuk melihatnya dalam konteks keterkaitannya dengan hal-hal lain dalam keseluruhan yang lebih luas serta perubahannya. Bagi dialektika, hal-hal konkret dan partikular pada dasarnya selalu berubah dalam keterkaitannya atau keterhubungannya dengan hal-hal lain dalam totalitas konkret yang lebih besar. Konteks hubungan ini bersifat internal dan esensial, bukan eksternal dan kebetulan.


     Bentuk penalaran ini secara langsung bertentangan dengan metafisika, yang menganggap bahwa segala sesuatu adalah apa adanya, memiliki sifat esensial yang konstan di dalam dirinya sendiri, dan independen dari konteks hubungannya dengan yang lain. Secara ringkasan, pandangan metasika dapat dirumuskan dalam perkataan Uskup Butler yang menjadi kredo atau pengakuan iman bagi kaum metafisik, yaitu: "Segala sesuatu adalah apa adanya dan bukan hal lain". Sebuah kursi adalah kursi, meja adalah meja, lingkaran adalah lingkaran, dll... Singkatnya, A = A, dan pada saat yang sama A tidak dapat menjadi non-A. 


     Bukankah tampak jelas dan nyata bahwa hal itu adalah benar? Tentu, akan menjadi kesia-siaan belaka bukan jika kita menolak anggapan mereka, kaum metafisik itu? Tentu, apabila kita membatasi diri kita ke dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tanpa mempedulikan hal-hal yang mendetail dan rumit, anggapan kaum metafisik ini tentu saja benar. Dalam penalaran kehidupan sehari-hari, adalah benar bahwa A = A, dan bahwa segala sesuatu identik dengan dirinya sendiri. Namun, pada kenyataanya, A tidak sama dengan A, dan tidak ada suatu hal yang identik dengan dirinya sendiri apabila kita menempatkan hal tersebut ke dalam realitas ruang dan waktu. 


     Dalam karyanya "ABC Dialektika Materialis", Trotsky memberikan perumpamaan yang sangat tepat. Ia menuliskan bahwa, "contohnya satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf itu (A = A, Red.). Keberatan itu tidak penting; pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama persis dengan satu pon gula --sebuah pengukuran yang lebih teliti selalu menyingkapkan adanya perbedaan. Lagi-lagi orang dapat berkeberatatan: tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar --semua bentukan tanpa bisa diinterupsi berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Mereka itu tidak pernah sama dengan dirinya sendiri."


     Singkatnya, segala sesuatu yang memiliki identitas yang mandiri, berada di dalam dirinya sendiri, tetapi materi tidak hanya berhenti di situ; karena tidak ada materi yang berada di dalam dirinya sendiri. Tidak ada suatu hal yang identik dan mandiri, kecuali yang abstrak, terisolasi, statis dan tidak berubah, dan hal tersebut adalah ketiadaan. Segala hal yang nyata dan konkret adalah bagian dari dunia interaksi, gerak, dan perubahan; dan kita harus menyadari bahwa tidak ada segala sesuatu yang benar-benar ada dengan sendirinya, tetapi pada dasarnya ada dalam hubungannya dengan hal-hal lain.



YANG KHUSUS MEMANIFESTASIKAN DIRINYA MELALUI YANG UMUM


     Menurut pandangan metafisika, seperti yang telah kita lihat, hal-hal dianggap sebagai keberadaan yang mandiri, tunggal, dan tidak terhubung dengan hal-hal lainnya. Semua hal, dalam kata-kata Hume, adalah 'longgar dan terpisah'; atau, seperti yang dikatakan Hegel, menurut pandangan ini, perbedaan hal-hal yang berbeda masing-masing secara individual apa adanya, dan tidak terpengaruh oleh hubungan di mana mereka berdiri satu sama lain. Karena itu, hubungannya berada di luar mereka. 


     Namun, hal yang seperti itu adalah abstrak dan salah menurut dialektika. Realitas konkret bukan sekadar keragaman hal-hal yang tak berhubungan dan terkait secara eksternal - ini bukan sekadar totalitas yang hanya berada di ranah teori, melainkan totalitas juga merasuk ke dalam hal-hal yang konkret. Tidak ada panas jika tidak ada dingin, tidak ada kotor jika tidak ada bersih, tidak ada muatan listrik positif jika tidak ada muatan listrik negatif, dst,... dsb,... dsl,... Singkatnya, semua perbedaan memanifestasikan dirinya dalam hubungannya dengan yang lain, dengan yang umum atau yang menyeluruh. Apabila tidak ada yang satu, maka yang lain pun menjadi tidak akan ada. Hanya dalam konteks inilah kita dapat memandang fakta-fakta realitas kehidupan yang terisolasi sebagai aspek-aspek dari proses historis dan mengintegrasikannya dalam suatu totalitas konkret. Hanya melalui Dialektika Materialis, pengetahuan manusia mengenai fakta yang ada dapat menjadi pengetahuan tentang realitas yang komplit.



PENUTUP


     Jadi, benarkah tuduhan mereka, kaum Anti-Marxis itu? Yang menuduh bahwa Marxisme ingin menghilangkan perbedaan atau keberagaman dan menjadikan segala hal sama? Tentu saja tidak. Apa yang mereka tuduhkan itu justru merupakan bukti ketololan mereka, yang tak mampu memahami dasar-dasar dari Marxisme, Dialektika Materialis. Dalam Dialektika Materialis, partikularitas hanya dapat hadir dalam hubungannya dengan yang lain yang terikat dalam suatu totalitas konkret. Konsepsi Marx mengenai hal ini dapat diringkas dalam kalimat-kalimat berikut: "Semakin jauh kita menelusuri jalannya sejarah, semakin individu tersebut tampaknya bergantung dan menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Manusia adalah zoon politikon (hewan sosial), dalam arti yang paling literal: ia bukan hanya hewan sosial, tetapi hewan yang hanya dapat diindividualisasikan dalam masyarakat." (Marx)



REFERENSI


● Marxists.org. ABC Dialektika Materialis. https://www.marxists.org/indonesia/archive/trotsky/1939-ABC.htm. Akses 13/11/2020.


● Radicalphilosophy.com. The Marxist Dialectic. https://www.radicalphilosophy.com/article/the-marxist-dialectic?highlight=Marx. Akses 13/11/2020.


● Radicalphilosophy.com. Marxism and the Dialectical Method, A Critique of G.A. Cohen. https://www.radicalphilosophy.com/article/marxism-and-the-dialectical-method?highlight=Marx. Akses 13/11/2020.


● Marxist.org. History & Class Consciousness, What is Orthodox Marxism?. https://www.marxists.org/archive/lukacs/works/history/orthodox.htm. Akses 13/11/2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau