Langsung ke konten utama

MARXISME TENTANG BAKAT




Selama bertahun-tahun lamanya, pemahaman manusia mengenai bakat telah tertutupi oleh suatu selubung ideologis dan khayalan fiksi yang menganggap bahwa bakat merupakan bawaan seseorang. Pada dasarnya, sebagian besar manusia telah menganggap bahwa bakat berasal dari karunia Sorga, atau setidaknya dari keturunan genetik, sehingga orang yang mewarisi hal-hal tersebut dapat melakukan bakat-bakat tertentu. Namun, benarkah demikian?



APA ITU BAKAT? 


     Secara singkat, bakat adalah kemampuan dasar seseorang untuk belajar dalam tempo yang relatif pendek dibandingkan orang lain, namun hasilnya justru lebih baik. Psikolog Dean Keith Simonton berpendapat bahwa bakat merupakan seluruh paket karakteristik pribadi yang mempercepat perolehan keahlian, atau peningkatan kinerja jika diberikan sejumlah keahlian. Dengan kata lain, bakat memungkinkan seseorang untuk "menjadi lebih baik dengan lebih cepat" atau "mendapatkan lebih banyak keahlian" dari sejumlah keahlian tertentu.


     Menurut Woodworth dan Marquis, bakat adalah sebuah prestasi yang mana dapat diramalkan serta diukur dengan melalui sebuah tes khusus. Oleh karena itu, bakat bisa dikategorikan sebagai sebuah kemampuan atau ability. Ability sendiri sebenarnya memiliki 3 arti, antara lain adalah:


● Achievement, yang merupakan actual ability, yang mana dapat diukur langsung dengan menggunakan alat ataupun tes tes tertentu.

● Capacity, yang merupakan potential ability yang mana hal tersebut dapat diukur dengan cara tidak langsung yaitu melalui kecakapan individu yang mana kecakapan ini dapat dikembangkan dengan perpaduan antara dasar dengan latihan yang intensif serta pengalaman.

● Aptitude, yang merupakan kualitas yang mana hanya dapat diukur dengan tes tes yang memang ditujukan untuk tujuan tersebut.



DARIMANA ASAL BAKAT?


     Ketika kita memiliki seorang teman yang terkenal sangat pandai atau berbakat untuk memainkan berbagai macam alat musik dengan indah, sebagian dari kita mungkin akan langsung menganggap bahwa orang tersebut memang telah memiliki bakat tersebut sejak lahir. Mereka menganggap bahwa bakat merupakan suatu kualitas manusia yang telah ada secara inheren di dalam diri manusia. Namun sayang, anggapan ini rupa-rupanya hanyalah sebuah khayalan fiksi semata.


     Matthew Syed, jurnalis olahraga untuk The Times baru-baru ini menulis sebuah buku berjudul "Bounce: How Champions Are Made", yang mengeksplorasi apa yang membuat orang menjadi yang terbaik di bidang pilihan mereka. Di bukunya ini, ia menyerang setiap gagasan yang menganggap bahwa sebagian dari kita memiliki bakat alami untuk unggul. Inti dari argumennya adalah siapa pun dapat memperoleh bakat dengan baik apabila mereka cukup berlatih, berlatih dengan cara yang produktif, dan siap untuk belajar. Tidak ada dari kita yang dilahirkan dengan dengan keahlian apa pun tanpa melalui suatu proses pembelajaran secara intensif.


     Senada dengan itu, menurut Daniel Coyle dalam bukunya yang berjudul "The Talent Code" menuliskan bahwa: "Keahlian sebenarnya dari para jenius ini, menurut penelitian, terletak pada kemampuan mereka untuk berlatih secara mendalam dan secara intensif, bahkan ketika itu tidak selalu terlihat seperti mereka sedang berlatih. Seperti yang secara ringkas Ericsson katakan, 'Tidak ada tipe sel yang dimiliki orang jenius yang tidak dimiliki oleh kita semua.' ". Dalam bukunya tersebut, ia mengungkapkan bahwa bakat seseorang muncul melalui selubung Myelin, yang berada di syaraf manusia. Apabila manusia selalu berlatih, maka selubung Myelin akan semakin menebal dan semakin baik hasil berlatihnya pula.


     Selanjutnya, penelitian gen yang lebih baru menunjukkan bahwa jika seseorang ingin memperoleh suatu bakat, orang tersebut tidak harus memiliki gen-gen tertentu, melainkan gen tersebut harus "diaktifkan" agar sifat tertentu dapat muncul. Seperti yang diungkapkan oleh Scott Barry Kaufman, seorang asisten profesor psikologi di Universitas New York, yang menyatakan bahwa gen hanya mempengaruhi bakat seseorang, bukan menentukan. Dipengaruhi secara genetik bukan berarti ditentukan secara genetik. Ia mengungkapkan bahwa meskipun gen mengkode protein, dan protein adalah blok bangunan dari segala sesuatu yang kita lakukan, namun mereka jauh dari apa pun yang kita kenali sebagai bakat. Salah satu penemuan terpenting dalam beberapa tahun terakhir adalah bahwa lingkungan memicu ekspresi gen. Setiap langkah yang kita ambil mengubah konfigurasi semua sel di tubuh kita. Seperti yang dicatat Matt Ridley: "Gen adalah mekanisme pengalaman." Bakat berkembang melalui interaksi antara gen dan lingkungan, bukan dari bawaan. Bakat dan praktik saling melengkapi, mereka tidak bertentangan.


     Apabila kita melihat persoalan ini dengan menggunakan perspektif Materialisme Dialektis, kita secara tidak langsung telah melihat suatu bentuk verifikasi terhadap kebenaran Marxisme. Faktanya, bakat bukanlah suatu karunia metafisik yang secara inheren telah ada di dalam diri manusia, melainkan suatu hasil interaksi materiil secara dialektis. Pada dasarnya, bakat merupakan hasil dari suatu hubungan antara faktor internal (minat seseorang dan keniatan) dan faktor eksternal (syarat material, lingkungan sosial, status ekonomi, budaya, kondisi biologis dan fisiologis, dll). Tanpa adanya kedua hal ini, maka bakat pun tidak akan mungkin ada. 


     Anggapan bahwa beberapa orang memiliki suatu kemampuan alami atau bakat bawaan adalah bentuk legitimasi terhadap ketimpangan yang ada. Anggapan ini merupakan suatu mitos kelas penguasa bahwa mereka memang 'dilahirkan dan ditakdirkan untuk memimpin' dengan privilese ke sekolah yang top dan penghidupan yang mewah. Ini adalah salah satu alat para penguasa agar mereka tetap memiliki kontrol terhadap dunia. Dengan Sosialisme, semua orang akan menerima haknya masing-masing untuk dapat mengembangkan bakat sesuai minatnya.




SUMBER


● Theguardian.com. What is talent – and can science spot what we will be best at?. https://www.google.com/amp/s/amp.theguardian.com/science/2013/jul/07/can-science-spot-talent-kaufman. Akses 22/11/2020.


● Motivatedmastery.com. The Science of Talent. http://motivatedmastery.com/the-science-of-talent/. Akses 22/11/2020.


● Socialist.net. Talent And Intelligence: Nature Or Nurture?. https://www.socialist.net/talent-and-intelligence-nature-or-nurture.htm. Akses 22/11/2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau