Langsung ke konten utama

MEMATAHKAN MITOS SIMBIOSIS MUTUALISME





Semenjak RUU Cipta Kerja disahkan, banyak dari kalangan intelektual borjuis yang mencoba untuk menjelaskan hubungan antara kelas pekerja dengan kelas borjuasi dengan menggunakan analogi simbiosis mutualisme. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya, hubungan antara kelas pekerja dan kelas borjuasi adalah saling menguntungkan dan bergantung satu sama lain. Di satu sisi, tanpa adanya kelas borjuis sebagai pemilik dan penyedia kapital (variabel dan konstan), maka kelas pekerja tidak akan dapat bekerja dan akan musnah. Di sisi lain, tanpa adanya kelas pekerja, mesin-mesin yang dimiliki oleh kelas borjuasi tidak akan bisa dijalankan, sehingga pada akhirnya operasional akan lumpuh dan kelas borjuasi tidak akan bisa mendapatkan laba yang dicarinya. Berdasarkan pola pikir yang sederhana ini (lebih tepatnya terlampau menyederhanakan), kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya, kelas kapitalis dan buruh memiliki kepentingan yang sama. Kedua kelas ini memiliki hubungan simbiosis yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Cara berpikir inilah yang kerap kali dipromosikan oleh pemerintah, pengusaha, dan pakar-pakar ekonomi borjuis. Namun, benarkah demikian? 



SEBUAH KESESATAN DALAM BERPIKIR


Sebelum kita menilai pola pikir ini, kita setidaknya harus melihat terlebih dahulu, apa yang menjadi anggapan dasar dari pola pikir ini. Anggapan dasar dari pola pikir ini tak lain adalah kelas kapitalis sebagai penyedia kapital dan kelas pekerja sebagai penggeraknya. Inti dasar daripada pola pikir ini adalah anggapan bahwa kelas kapitalis merupakan kelas yang menyediakan seluruh alat yang dibutuhkan untuk berproduksi, dan kelas pekerja merupakan kelas yang melakukan produksinya. 


     Jika kita melihat anggapan dasar itu sendiri, kita akan segera mengetahui bahwa anggapan ini merupakan suatu kesesatan dalam berpikir. Dalam karyanya, Marx menuliskan bahwa, "Kapital adalah suatu hasil kolektif, dan ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari banyak anggota, malahan lebih dari itu, pada tingkat terakhir, ia hanya dapat digerakkan oleh tindakan bersama dari semua anggota masyarakat." (Manifesto Komunis). Apa artinya? Secara ringkas, bagi Marx, bukan kelas kapitalis yang menyediakan kapital (konstan maupun variabel), melainkan kelas buruh itu sendirilah yang menyediakannya. Alat-alat produksi yang seringkali disebut sebagai kapital [konstan] (walau anggapan ini tidak sepenuhnya benar, alat-alat produksi hanya menjadi kapital "hanya dalam hubungan-hubungan tertentu" (Marx, Kerja Upahan dan Kapital)) pada akhirnya tidak akan mungkin ada selama tidak ada pekerja yang menjadikannya ada. Dengan demikian, maka kelas borjuasi pada dasarnya hanyalah pemilik kapital, bukan penyedia atau pembuat. Dengan tiadanya kelas borjuasi, maka kapital tidak serta merta lenyap.


     Selanjutnya, dengan menganalogikan hubungan ini dengan menggunakan analogi simbiosis mutualisme, secara langsung maupun tidak langsung, kita juga menyatakan bahwa hubungan antara kelas kapitalis dan kelas pekerja adalah setara dan saling menguntungkan. Benarkah demikian? Sayangnya tidak. Dalam hubungan kapitalistik ini, kelas borjuasi jelas memiliki posisi yang lebih tinggi dan lebih diuntungkan. Di satu sisi, apa yang kelas pekerja dapatkan sebagai upah pada akhirnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Upah yang diterima buruh, sebagai satu kelas keseluruhan, tidaklah terakumulasi tetapi terkonsumsi dengan segera. Ini memaksa buruh untuk terus menjual kemampuan kerjanya. Namun, di sisi lain, apa yang kelas borjuasi dapatkan sebagai laba dapat digunakan untuk mengakumulasikan kapital yang lebih besar. Memang kondisi ini bukanlah kondisi yang mutlak terjadi. Mungkin pada saat tertentu, kelas pekerja mendapatkan upah lebih yang bisa ditabung, tetapi ini akhirnya akan digunakan untuk keperluan mendadak: sakit, membayar hutang, membayar tagihan sekolah, dll. Jika hubungan antara kelas borjuis dengan pekerjanya adalah seimbang dan saling menguntungkan, mengapa dalam produksi ini, kelas borjuasi lebih diuntungkan daripada kelas pekerja? Mengapa kelas borjuasi dapat memPHK pekerjanya dengan sesuka hati? Mengapa hukum negara lebih memihak kepada kelas borjuis? Dan mengapa suara kelas borjuasi lebih didengar oleh negara ketimbang suara kelas pekerja? Sebelum menerima pola pikir ini, pertanyaan-pertanyaan ini harus kita renungkan terlebih dahulu. 



PENUTUP


Jadi, kesimpulannya, apakah hubungan antara kelas borjuis dengan kelas pekerja merupakan hubungan simbiosis mutualisme? Secara tegas, tidak. Memang benar kalau kapital membutuhkan buruh, tetapi ini layaknya harimau membutuhkan mangsanya, karena hanya lewat darah mangsanya kapital dapat berlipat ganda. Pada akhirnya, analogi simbiosis mutualisme untuk menggambarkan hubungan kapitalistik ini merupakan upaya kelas borjuis untuk mengaburkan pertentangan kelas dan meninabobokan militansi kelas pekerja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau