PENDAHULUAN
Protes massa pecah di seluruh pelosok Indonesia menyusul disahkannya undang-undang kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja. DPR mempercepat pengesahan undang-undang ini, dari yang seharusnya pada tanggal 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020. Dengan mempercepat pengesahan ini, pemerintah berharap agar dapat menghindari protes massa yang sebelumnya telah disiapkan oleh berbagai macam elemen masyarakat. Tetapi usaha ini tidak berhasil. Mereka tidak berhasil mengecoh massa yang telah marah dan justru menyulut kegeraman massa lebih lanjut.
Kelas Pekerja dan berbagai macam elemen masyarakat lainnya, seperti mahasiswa, langsung merespons pengesahan mendadak UU kontroversial ini dengan memobilisasi massa ke sejumlah kawasan industri dan pusat-pusat kota. Pada tanggal 6 hingga 8 Oktober misalnya, serikat-serikat buruh di berbagai pelosok negeri melakukan pemogokan nasional, seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Puluhan ribu buruh di berbagai kota tumpah ruah ke jalanan. Selama pemogokan tersebut, kelas pekerja telah mengobrak-abrik pabrik dan mendobrak pintu gerbang. Selain itu, pada tanggal 8 dan 20 Oktober pula, mahasiswa di seluruh Indonesia juga melakukan aksi demonstrasi akbar di depan Istana Negara.
Namun, di antara semua hal tersebut, yang paling mengejutkan bagi rejim saat ini adalah keterlibatan radikal anak-anak muda, khususnya kaum pelajar, dalam aksi menentang Omnibus Law. Keterlibatan kaum pelajar ini bisa dibilang merupakan keterlibatan yang hampir tanpa organisasi dan kepemimpinan. Para pelajar turun dalam jumlah ribuan di hampir setiap kota utama dan berdiri di barisan paling depan dalam melawan represi polisi dan tentara.
Pemerintah Indonesia menganggapi rendah keterlibatan pelajar ini. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Bupati DKI Jakarta misalnya. Beliau mengatakan bahwa urusan demo tolak Omnibus Law ini bukanlah urusan para pelajar. Ia menambahkan bahwa seharusnya para pelajar hanya menjalankan tugasnya, yakni belajar, bukannya ikut demo. Senada dengan itu, Dirjen PAUD-Dikdasmen Kemendikbud, Jumeri juga sangat menyayangkan keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi ini. Menurut dia, para pelajar masih bodoh dan belum paham betul akan esensi yang diperjuangkan dalam demo tersebut. Dari interview-interview yang dilakukan di lapangan dengan para pelajar ini, kebanyakan dari mereka memang tidak tahu isi Omnibus Law secara rinci. Ketidaktahuan pelajar ini kemudian dijadikan dalih oleh pemerintah untuk mencap pelajar sebagai pihak yang ditunggangi dan hanya ikut-ikutan. Namun, benarkah tuduhan mereka ini?
Dalam artikel ini, kita mencoba untuk menjawab persoalan ini. Di artikel ini, kita akan melihat bagaimana korelasi Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini terhadap pelajar. Selain itu, di artikel ini pula, kita akan melihat bagaimana kepentingan kapitalisme neoliberal berpengaruh dalam perumusan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Pada dasarnya, UU Omnibus Law Ciptaker ini tidak bisa kita pisahkan dari basis produksi yang menjadikannya ada, yakni sistem produksi kapitalisme. Kritik terhadap Omnibus Law ini, oleh karena itu, tidak boleh hanya bersifat parsial, melainkan juga harus bersifat radikal atau sampai ke akar-akarnya, yang tak lain adalah kapitalisme.
APA ITU OMNIBUS LAW?
Pasca dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyampaikan beberapa rumusan baru yang menggemparkan masyarakat Indonesia. Terdapat beberapa rumusan yang disebutkan, semua rumusan tersebut berupa Undang-undang Omnibus Law yang nantinya akan merevisi undang-undang yang ada di Indonesia secara kolektif. Keputusan Jokowi ini menimbulkan kegemparan sebab sebelumnya Pemerintah Indonesia belum pernah memunculkan Omnibus Law ini. Kemunculan Omnibus Law dalam perhelatan politik hukum perundang-undangan Indonesia menuai banyak kontroversi dalam ruang publik. Ruang-ruang diskusi, sudut kesekretariatan organisasi, sudut kampus, sampai di warung-warung kopi, banyak yang mempertanyakan akan urgensi dan esensi Omnibus Law ini. Mulai dari proses pembuatan sampai pengesahan RUU Omnibus Law ini, banyak dari kalangan masyarakat yang melancarkan kritik dan penolakannya. Namun, apakah Omnibus Law itu sendiri?
Berdasarkan etimologinya, Omnibus Law berasal dari bahasa Latin. "Omnibus" dalam bahasa Latin berarti untuk semua atau untuk segalanya. Dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Garnerer menyebutkan bahwa Omnibus berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Bila digandeng dengan kata "Law", maka istilah Omnibus Law dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua atau segalanya. Menurut pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri, Omnibus Law diartikan sebagai sebuah undang-undang yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Selain menyasar isu besar, tujuannya adalah untuk mencabut atau mengubah beberapa UU.
Sejarah Omnibus Law bermula di negeri Amerika Serikat. Di Amerika, Omnibus Law ini lebih dikenal sebagai Omnibus Bill. Omnibus Law pertama adalah Omnibus Law tentang Compromise of 1850, paket undang-undang yang terdiri dari lima UU terpisah yang disahkan oleh Kongres Amerika Serikat pada September 1850. UU kompromi itu diketuk palu demi menyatukan perbedaan antara negara-negara bagian yang pro penghapusan perbudakan dan negara-negara bagian yang mempertahankan perbudakan. Selanjutnya Omnibus Bill secara rutin juga diterapkan oleh Kongres Amerika untuk menyatukan anggaran beberapa Kementerian dalam satu paket, yang disebut sebagai Omnibus Spending Bill.
Semenjak digunakan di Amerika Serikat, sistem Omnibus Law ini kemudian digunakan di berbagai macam negara dunia, khususnya di negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System. Secara historis, Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum yang dibawa oleh Belanda, yakni Civil Law System. Perbedaan sistem hukum inilah yang menjadi dasar Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, untuk mengkritik secara keras penerapan Omnibus Law di Indonesia ini. Ia mengatakan bahwa di Indonesia, metode Omnibus Law tidak ada landasan hukumnya. Ia menambahkan bahwa penerapan sistem Omnibus Law ini tidak berangkat dari gagasan, melainkan dari kepanikan pemerintah atas gagalnya mereka dalam mengelola negara.
Ada pun perbedaan yang mendasar di antara Civil Law dan Common Law yang menjadi pertimbangan diberlakukannya Omnibus Law adalah sebagai berikut:
Pertama, negara yang menganut Civil Law System berorientasi terhadap kodifikasi hukum agar ketentuan hukum tersebut dapat berlaku secara efektif sebagaimana yang diharapkan dari politik hukum yang ingin diwujudkan. Kodifikasi menjadi salah satu acuan hukum positif yang berlaku di Indonesia dan sampai sekarang masih digunakan. Berbeda halnya dengan Common Law System, yang berorientasi pada penggunaan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama sehingga tidak menempatkan kodifikasi hukum dalam praktik ataupun teori. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap sistem hukum secara formil di Indonesia. Bahwasannya hakim di Indonesia dalam menangani suatu perkara adalah menemukan hukumnya (judge made law), sehingga kodifikasi hukum sangat krusial dalam penerapannya di Indonesia. Dengan kata lain, hakim terikat dengan kodifikasi hukum, yakni hukum yang tertulis, serta hukum yang diundangkan secara resmi oleh negara, yang merupakan sumber hukum positif di indonesia. Berbeda halnya dengan Common Law System yang mana sumber hukum yang utama adalah putusan hakim terdahulu bukan ketentuan-ketentuan yang ada dalam sebuah kodifikasi hukum di negara tersebut. Dalam konsep pidana hal ini sangat bertentangan dengan perkembangan Criminal Justice System di Indonesia, tidak mengarah kepada keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang telah di uraikan dalam teori hukum oleh Gustaf Radbruch.
Di dalam sistem Common Law, menggunakan kodifikasi hukum dianggap sebagai hal yang berbahaya karena aturan undang-undang merupakan hasil karya teoretis yang dikhawatirkan berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan masyarakat sehingga memerlukan interpretasi pengadilan. Maka, penekanannya di sini adalah bahwa mudah bagi negara Common Law System menciptakan Omnibus Law dan sangat sulit bagi negara Civil Law System menciptakan Omnibus Law di negaranya. Perihal itu bahkan dapat menjadi permasalahan dan memicu gejolak ketidakpastian hukum. Apabila kita menelaah secara in casu a quo yang mana pemerintah berupaya menerapkan Omnibus Law di Indonesia, maka hal tersebut merupakan rencana strategis pemerintah untuk menciptakan kodifikasi hukum yang mampu merangkul lebih dari satu substansi undang-undang yang berbeda. Ini merupakan permasalahan yang tidak mudah dan tentunya jika pemerintah tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, yang akan rawan memasukkan kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat karena saking banyaknya pasal dan berpotensi menghadirkan tukar guling maupun ‘pasal titipan’.
Kedua, hakim di negara Civil Law System tidak terikat dengan preseden yang artinya amar putusan hakim tidak dibatasi oleh putusan hakim terdahulu, yang telah menangani duduk perkara yang sama. Hakim Civil Law memang tidak terikat dengan preseden/stare decicis, namun terikat pada peraturan perundang-undangan tertulis yang diberlakukan di negara tersebut sehingga ketika hakim menangani suatu perkara haruslah selalu mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, setelah itu barulah hakim mencari hukumnya yang tidak ditemukan dalam undang-undang dan dapat menggunakan yurisprudensi. Perlu ditegaskan lagi bahwa di negara Civil Law, hakim tidak terikat pada yurisprudensi dan sifatnya hanya membantu hakim dalam menentukan putusannya. Ini pula yang menjadi pembeda dalam Omnibus Law di negara-negara Common Law yang dirumuskan hanyalah hal-hal teknis semata karena nantinya proses penciptaan hukum berada di tangan hakim.
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem Omnibus Law sebetulnya tidak sesuai dengan sistem di Indonesia. Karena konsep Omnibus Law lebih dikenal penerapannya di negara yang menganut Common Law system, maka penerapan sistem Omnibus Law di Indonesia dikhawatirkan akan menjadi tidak sejalan dengan sistem hukum di Indonesia, yang menganut Civil Law System. Namun, kendati tidak terjadi kesesuaian, pemerintah Indonesia tetap bersikukuh untuk menerapkan konsep Omnibus Law ini. Mereka beranggapan bahwa negara Indonesia tengah mengalami obesitas regulasi. Metode Omnibus Law dipilih untuk memangkas regulasi, demi mempermudah masuknya investasi asing yang seringkali terbentur oleh berbagai aturan sektoral. Dengan masuknya investasi asing, diharapkan bahwa lapangan pekerjaan pun akan terbuka juga, sehingga angka pengangguran dapat ditekan.
JALAN BUNTU KRISIS KAPITALISME
Namun, benarkah perhitungan pemerintah itu? Yaitu bahwa jika investasi meningkat, maka lapangan pekerjaan pun akan terbuka lebar sehingga rakyat menjadi sejahtera? Sayangnya tidak. Jika kapitalisme saat ini, yang menjadi basis produksi di negara Indonesia masih segar bugar dan masih progresif, barangkali resep pemerintah ini masih dapat kita pertimbangkan. Namun, faktanya, kapitalisme saat ini telah bangkrut. Kapitalisme saat ini telah memasuki tahap senjanya sehingga tidak bisa lagi kita andalkan. Laissez-faire, yang menjadi doktrin ekonomi kapitalistik kini terhambat oleh penyakit di masa tuanya; akumulasi, sentralisasi, dan monopoli kapital. Namun, mari kita abaikan sejenak hal ini dan berbicara mengenai skenario terbaik dari penerapan Omnibus Law.
Jika kita berbicara mengenai skenario terbaik penerapan Omnibus Law, yaitu masuknya arus investasi modal yang akan disusul dengan meningkatnya permintaan atas tenaga kerja, yang berarti penciptaan lapangan pekerjaan sebagaimana yang dipromosikan oleh rejim dan pengusaha, maka kita akan menemukan bahwa hal ini tidak akan mengubah posisi sosial relatif di antara kelas pekerja dan kelas borjuasi. Secara relatif, upah dan laba pada dasarnya saling bertentangan. Dengan naiknya laba relatif, maka secara otomatis upah relatif pun akan turun. Masuknya arus investasi modal yang akan disusul dengan meningkatnya permintaan atas tenaga kerja belum tentu akan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, sebab tujuan utama dari investasi modal adalah memperoleh laba, bukan untuk menyejahterakan masyarakat. Untuk memperoleh laba sebanyak mungkin, kelas kapitalis akan berusaha sekuat mungkin untuk menekan kenaikan biaya tenaga kerja. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan produktivitas buruh lewat penggunaan teknik produksi yang lebih baik (Misalnya penggunaan mesin yang lebih canggih dan otomatis; divisi tenaga kerja yang lebih rinci dan terorganisir, dsb.). Dengan demikian buruh yang sama kini menghasilkan produk yang lebih banyak, atau kapitalis bisa mengurangi jumlah buruh yang dipekerjakan untuk menghasilkan jumlah produk yang sama. Buruh yang dibayar upah nominal yang lebih tinggi kini menghasilkan lebih banyak produk bagi majikannya. Sebagai kelas, dari keseluruhan total kekayaan yang dihasilkan masyarakat, pangsa yang didapat buruh pada akhirnya akan kembali ke minimum.
Pengenalan mesin membuat kerja buruh semakin sederhana, dan dengan semakin sederhananya kerja buruh, maka semakin besar pula tekanan terhadap upahnya. Buruh menjadi semakin mudah tergantikan. Tidak diperlukan keterampilan tinggi untuk melakukan kerjanya, sehingga hampir siapapun bisa melakukannya. Suplai tenaga kerja yang besar ini memberi posisi tawar yang lebih kuat bagi kapitalis sehingga mampu memotong upah. Dengan demikian, andaikata terjadi kenaikan upah yang tinggi, seiring dengan masuknya kapital besar (investasi), upah yang tinggi akan dengan cepat menguap. Upah kembali lagi menjadi seminim-minimnya, yakni hanya cukup untuk menjaga agar buruh masih bernafas dan dapat melakukan kerjanya.
Ini hanyalah SKENARIO TERBAIK, yaitu ketika investasi modal masuk di sektor manufaktur sehingga tenaga kerja dapat terserap dengan cukup baik. Namun, bagaimana jika investasi yang masuk adalah di sektor tersier atau jasa, sehingga tenaga kerja tidak terserap dengan baik? Inilah permasalahan keduanya. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa belakangan ini, investasi asing mulai bergeser ke sektor tersier yang padat modal seperti jasa keuangan dan perdagangan. Senada dengan itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia pun mengungkapkan bahwa selama lima tahun terakhir, terjadi pergeseran investasi di sektor utama, dari investasi di sektor manufaktur ke sektor jasa. Pergeseran investasi dari manufaktur ke jasa ini telah mempengaruhi penyerapan tenaga kerja secara drastis. Bahlil menyebutkan bahwa pada periode awal Abad 21, setiap 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 720 ribu pekerja. Kini, setiap 1% pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu menyerap 110 ribu tenaga kerja.
Berdasarkan fakta tersebut, kita dapat melihat bahwa kurangnya investasi bukan merupakan akar permasalahan dari tidak adanya lapangan pekerjaan dan kemiskinan, melainkan orientasi produksi yang berkutat kepada perolehan profit. Karena akar permasalahan bukan terletak kepada kurangnya investasi, melainkan karena orientasi produksinya, maka solusi yang harus ditempuh pun bukan dengan membuka keran investasi secara besar-besaran. Sistem produksi kapitalis yang berorientasi kepada perolehan profit menyebabkan kebutuhan masyarakat semakin tersisihkan.
BUKTI PERHAMBAAN NEGARA KEPADA KAPITAL
Dalam laporan riset kolaboratif Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo, tercatat bahwa mayoritas anggota DPR periode 2019-2024 terafiliasi dengan ribuan korporasi. Marepus Corner juga mencatatkan bahwa sekitar 55% anggota DPR berstatus sebagai pembisnis, 16% di antaranya tercatat sebagai pemilik bisnis, dan 36% anggota DPR berstatus sebagai pembisnis tersebut tercatat masih aktif. Berdasarkan data-data ini, kita telah melihat betapa besarnya kekuasaan oligarki kapital dalam keanggotaan DPR RI. Data ini merupakan refleksi aliansi predatoral antara politisi-birokrat dan pemodal dalam rangka akumulasi kapital. Terbentuknya aliansi ini tak terlepas dari hubungan ketergantungan antara politisi yang butuh sumber daya ekonomi serta pengusaha yang butuh akses politik untuk proteksi serta memuluskan ekspansi bisnis.
Pengesahan UU Omnibus Law Ciptaker merupakan timbal balik pemerintah terhadap kaum oligarki. Mereka yang telah menyokong perekonomian politisi-birokrat tersebut, kini menginginkan suatu kepastian hukum untuk meningkatkan eksploitasinya. Dalih penyederhanaan, perampingan, serta penghapusan (obesitas) regulasi yang tumpang-tindih dan menjawab kendala investasi adalah cermin dari kepatuhan pemerintah terhadap borjuasi asing dan oligarki kapital lokal, atau singkatnya, kapitalisme neoliberal. Data-data di atas merupakan bukti yang sangat gamblang bahwa UU Omnibus Law Ciptaker pada dasarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya pekerja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan kaum pemodal.
Selain itu, semenjak Indonesia tergabung ke dalam World Trade Organization (WTO), kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia semakin hari semakin berorientasi kepada kepentingan pasar. Pemangkasan beberapa hak buruh, dihapuskannya batasan import, dan penerapan kapitalisasi pendidikan merupakan implementasi nyata dari otoritas WTO dalam UU Omnibus Law Ciptaker (mengenai aspek kapitalisasi pendidikan akan kita bahas di bagian selanjutnya). Dalam Naskah Akademiknya sendiri, kita telah melihat bagaimana pengaruh WTO dalam penyusunan UU Omnibus Law Ciptaker (Hal. 162-170). Walaupun yang dibahas hanya mengenai perizinan di sektor pertanian dan mengenai import pangan, namun ini tidak menutup kemungkinan keterlibatan WTO di sektor lain. Sebab, penyelarasan peraturan dan kebijakan negara di sektor pertanian dan import pangan terhadap peraturan perdagangan internasional di dalam Perjanjian WTO hanyalah "salah satunya" (Hal. 169).
Dengan melihat hal-hal tersebut, kita telah melihat betapa besarnya pengaruh kepentingan kapitalis neoliberal dalam proses perumusan UU Omnibus Law Ciptaker. Proses perumusan UU Omnibus Law Ciptaker yang dipaksakan dan dirahasiakan terhadap publik merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa UU ini secara substansial memang tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, sebagaimana yang dipropagandakan oleh pemerintah, undang-undang ini justru menjadi legitimasi untuk meningkatkan eksploitasi kapitalisme.
TIDAK ADA KORELASINYA DENGAN PELAJAR?
Selanjutnya, mengenai korelasi Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja terhadap pelajar. Salah satu fitnah borjuis untuk meminimalisir keterlibatan pelajar dalam aksi penolakan Omnibus Law adalah dengan mengatakan bahwa undang-undang ini tidak ada kaitannya dengan pelajar. Seperti yang kita lihat di bagian pendahuluan, para politisi borjuasi ini menyatakan bahwa Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak ada kaitannya dengan pelajar dan oleh karena itu, bukan urusan pelajar pula untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, benarkah demikian? Mari kita kaji secara lebih mendalam.
Walaupun dalam Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak terdapat klaster yang membahas pendidikan secara eksplisit, namun bukan berarti undang-undang ini tidak menyangkut pendidikan sama sekali. Berdasarkan Naskah Akademik UU Omnibus Law Ciptaker, pemerintah Indonesia telah mencabut ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI) kepada 15 UU sektor, di antaranya ialah UU Pendidikan Tinggi dan UU Sistem Pendidikan Nasional (Hal. 185). Dengan dihapuskannya UU sektor Pendidikan Tinggi dan Sistem Pendidikan Nasional dalam DNI, maka pemerintah secara resmi telah memberikan lampu hijau bagi kelas kapitalis, khususnya kapitalis asing untuk melakukan kapitalisasi pendidikan. Di halaman sebelumnya dalam Naskah Akademiknya, telah dijelaskan pula bahwa untuk merealisasikan program UU Omnibus Law Ciptaker, pemerintah diharuskan untuk "membangun sistem pendidikan yang mampu memiliki keterhubungan dan keselarasan (link and match) antara dunia pendidikan dengan dunia usaha atau industri." (Hal. 123). Ini merupakan deklarasi pemerintah untuk melaksanakan kapitalisasi pendidikan secara lebih masif.
Jika dilihat dari falsafah yang menjadi dasar kemunculan Omnibus Law Ciptaker, maka hal ini sebetulnya tidaklah terlalu mengejutkan. Falsafah yang mendasari Omnibus Law ini adalah apa yang baik untuk pengusaha, akan baik pula bagi buruh, cepat atau lambat. Ini disebut juga “trickle down effect” atau “efek menetes ke bawah”. Dengan memberikan beberapa kemudahan dan fasilitas kepada kelas borjuasi, pemerintah berharap agar ekonomi masyarakat dapat meningkat. Salah satu kemudahan yang pemerintah berikan demi menarik masuknya investor adalah dibebaskannya sektor pendidikan dari DNI. Dengan melakukan ini, pemerintah berharap agar banyak investor yang berkenan untuk menanamkan kapitalnya di Indonesia.
Apa yang mereka tuduhkan, yaitu bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja itu tidak ada kaitannya dengan pelajar dan oleh karena itu, bukan urusan pelajar pula untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja hanyalah omong kosong belaka. Jika UU Omnibus Law ini tidak memuat satu hal pun mengenai pendidikan, ini tetap tidak bisa dijadikan dalih untuk melarang pelajar menolak Omnibus Law, sebab pada dasarnya, pelajar bukanlah suatu hal yang tunggal dan mandeg. Pada dasarnya, pelajar tidak lahir dari sebongkah batu, mereka memiliki orang tua. Mereka pada dasarnya juga tidak akan selalu menjadi pelajar. Ketika pelajar lulus nanti, mereka akan melepaskan status pelajar yang dimilikinya. Aspek ini lah yang sengaja diabaikan oleh pemerintah. Para pelajar ini, yang katanya “bau kencur", belum tau apa-apa, masih bodoh, dsb, faktanya adalah anak-anak buruh, anak-anak tani, anak-anak rakyat pekerja, yang setiap harinya mendengar keluh kesah orang tua mereka. Mereka juga merupakan calon-calon pekerja di masa depan.
PENUTUP
Dari penjabaran yang panjang dan lebar tersebut, kita dapat menyimpulkan beberapa hal, di antaranya ialah:
Pertama, penerapan sistem perundang-undangan Omnibus Law dengan alasan menata masyarakat pada dasarnya hanyalah dalih. Dengan berbagai data yang tak terbantahkan, kita telah melihat bahwa akar permasalahan dari kurangnya lapangan pekerjaan bukan karena tidak adanya investasi, melainkan karena sistem produksi itu sendiri, kapitalisme. Sistem produksi kapitalis yang berorientasi untuk mendapatkan profit mengakibatkan kebutuhan manusia semakin tersisihkan. Dalam kapitalisme, produksi suatu barang tidak ditujukan untuk nilai-pakai itu sendiri, melainkan untuk nilai-tukarnya. Potensi profit yang lebih besar di sektor tersier inilah yang menyebabkan para investor beralih "profesi", dari yang awalnya di sektor manufaktur menuju ke sektor tersier atau jasa. Peralihan sektor ini mengakibatkan lapangan pekerjaan semakin sempit, sehingga tenaga kerja tidak terserap dengan baik.
Apabila tidak terjadi pergeseran sektor pun, ini tidak bisa dijadikan dalih untuk menerapkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, sebab penerapan ini tidak akan mengubah posisi sosial relatif di antara kelas pekerja dan kelas borjuasi. Pada dasarnya, tujuan utama dari moda produksi kapitalis adalah memperoleh profit, bukan untuk menyejahterakan masyarakat. Untuk memperoleh laba sebanyak mungkin, kelas kapitalis akan berusaha sekuat mungkin untuk menekan kenaikan biaya tenaga kerja; seperti merevolusionerkan alat-alat produksi, memperinci divisi tenaga kerja, mengintensifkan tingkat eksploitasi, dsb. Dengan demikian, upah tinggi yang diperoleh buruh menyusul masuknya kapital besar (investasi) dengan cepat menguap. Upah kembali lagi menjadi seminim-minimnya, yakni hanya cukup untuk menjaga agar buruh masih bernafas dan dapat melakukan kerjanya. Ketika upah pekerja turun atau kembali lagi menjadi seminim-minimnya, maka standar kehidupan buruh pun akan jatuh juga dan mitos kesejahteraan yang digaungkan oleh kelas borjuasi hanya akan menjadi angan-angan semata.
Selain itu, dari data yang dihimpun oleh Tempo, Yayasan Auriga Nusantara, dan Marepus Corner pula, kita telah melihat pula bagaimana pengaruh kelas borjuis di dalam parlemen, yang merupakan mayoritas (55%). Data-data tersebut merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa UU Omnibus Law ini memang tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan untuk memenuhi kebutuhan akumulasi kapital. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, sebagaimana yang dipropagandakan oleh pemerintah, undang-undang ini justru menjadi legitimasi untuk meningkatkan eksploitasi kapitalisme.
Kedua, mengenai korelasi Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja terhadap pelajar. Dengan penalaran Materialisme Dialektis, kita telah melihat bahwa andaikata UU ini tidak membahas pendidikan sama sekali, ini tidak bisa dijadikan dalih bagi pemerintah untuk melarang keterlibatan pelajar dalam menolak UU Omnibus Law Ciptaker, sebab pada dasarnya seluruh realitas materiil selalu berhubungan dan berubah, termasuk pelajar. Pada dasarnya, pelajar bukanlah suatu hal yang tunggal dan mandeg. Pelajar pada dasarnya juga memiliki orang tua, saudara, dsb, yang akan terkena imbas dari penerapan UU celaka ini. Mereka juga pada dasarnya tidak akan selamanya menjadi pelajar. Mereka merupakan calon-calon pekerja di masa depan.
Jika kita menelaah Naskah Akademik dan falsafah yang mendasari lahirnya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, maka kita juga melihat bahwa UU celaka ini juga memiliki korelasinya dengan pelajar, kendati secara implisit. Dengan dihapuskannya UU sektor Pendidikan Tinggi dan Sistem Pendidikan Nasional dalam DNI, pemerintah telah menyalakan lampu hijau bagi kelas borjuasi untuk melaksanakan kapitalisasi pendidikan. Jika kita melihat falsafah dasarnya pula, sesungguhnya hal ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Tujuan dari adanya Omnibus Law adalah membuka keran investasi sebesar-besarnya, dengan memberikan beberapa kemudahan dan fasilitas kepada investor. Salah satu kemudahan yang pemerintah berikan demi menarik masuknya investor adalah memberikan izin kepada kelas borjuasi untuk melakukan kapitalisasi pendidikan. Dengan semakin terkapitalisasinya pendidikan, maka pendidikan pun akan semakin ekslusif dan berorientasi kepada kepentingan pasar. Tujuan dari adanya negara, yakni untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 kini hanyalah omong kosong belaka.
Dengan melihat peristiwa ini, kita telah melihat bahwa faktanya, sistem kapitalisme kini semakin bangkrut. Kapitalisme merupakan akar permasalahan dari kemiskinan dan tidak adanya lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, seharusnya yang pemerintah lakukan bukanlah mengikuti sistem produksi yang telah lapuk dan bangkrut ini. Namun sayang, solusi yang ditawarkan oleh pemerintah melalui Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja faktanya bukan merupakan solusi yang memadai. Justru, solusi yang ditawarkan oleh pemerintah ini akan memperburuk situasi krisis yang ada. Lalu, apa yang harus dilakukan? Perubahan sistem produksi secara radikal, dengan menempatkan seluruh alat-alat produksi di bawah kontrol masyarakat dan produksi yang berorientasi untuk permenuhan kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan pasar dan laba. Singkatnya, SOSIALISME. Namun, tentu saja pemerintah tidak akan mungkin melakukan solusi ini, sebab ini sama saja mengancam kedudukan mereka sebagai parasit-parasit masyarakat. Hanya oleh kelas pekerja, solusi revolusioner ini dapat dicapai. Dengan mengelola secara demokratis kekuatan ekonomi ini, rakyat pekerja bisa menciptakan jutaan lapangan pekerjaan yang layak dan mengakhiri pengangguran, kemiskinan dan penindasan dari muka bumi. Inilah satu-satunya solusi.
SUMBER
● DPR RI. NASKAH AKADEMIS RUU CIPTA KERJA.
● Aliansi Serikat Masyarakat Bergerak Banyumas (SEMARAK). Fix Kajian Omnibus Law.
● Transisi.org. Omnibus Law dan Perjuangan Kelas. https://transisi.org/omnibus-law-dan-perjuangan-kelas/. Akses 10/10/2020
● Transisi.org. Siksa Kapitalisme dalam Omnibus Law. https://transisi.org/siksa-kapitalisme-dalam-omnibus-law-ruu-cilaka/. Akses 10/10/2020.
● Revolusioner.org. Ekonomi Politik Omnibus Law: Dilema Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja. https://www.revolusioner.org/analisa-perspektif/ekonomi/8775-ekonomi-politik-omnibus-law-dilema-investasi-dan-penciptaan-lapangan-kerja.html. Akses 10/10/2020.
● PMJNEWS.com. Pelajar Ikut Demo, Dinilai Belum Pantas Hingga Buat Orangtua Cemas. https://www.pmjnews.com/2020/10/11/pelajar-ikut-demo-dinilai-belum-pantas-hingga-buat-orangtua-cemas/. Akses 23/10/2020.
● DDTCNEWS. Bukan Manufaktur Lagi, Ternyata Sektor Ini yang Diminati Investor. https://news.ddtc.co.id/bukan-manufaktur-lagi-ternyata-sektor-ini-yang-diminati-investor-18648. Akses 28/10/2020.
● CNN Indonesia. Asing Lebih Lirik Sektor Padat Modal Ketimbang Padat Karya. https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190807200303-92-419345/asing-lebih-lirik-sektor-padat-modal-ketimbang-padat-karya. Akses 28/10/2020.
● Aidulsyah, Fachri,. Margiansyah, Defbry,. Kurniawan, Edi, Fuat,. Kusumaningrum, Dwiyanti,. Sabilla, Kanetasya,. Aini, Nurul, Yulinda,. (2020, 9 Oktober). PETA PEBISNIS DI PARLEMEN POTRET OLIGARKI DI INDONESIA. Marepus Corner.
● https://grafis.tempo.co/read/1838/mayoritas-pimpinan-dpr-terafiliasi-dengan-korporasi. Akses 10/10/2020.
● Tempo. Pengusaha Kuasai Parlemen. Lihat, https://majalah.tempo.co/read/nasional/158519/pengusaha-kuasai-parlemen. Akses 10/10/2020.
Komentar
Posting Komentar