Langsung ke konten utama

MARXISME TENTANG NEGARA





Bagaimana tanggapan kaum Sosialis mengenai Negara? Pertanyaan fundamental ini nampaknya akan sulit untuk dijawab. Kaum Sosialis sendiri tidak memiliki interpretasi yang resmi mengenai masalah ini. Pandangan kaum Sosialis mengenai negara sangatlah beragam. Perbedaan interpretasi mengenai masalah negara ini menjadi salah satu faktor dari perpecahan Internasional I.


     Pada artikel ini, kami akan mencoba menjabarkan pandangan Karl Marx mengenai negara. Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menjabarkan pandangan Marx secara lengkap dan menyeluruh. Pandangan Karl Marx mengenai negara sangatlah panjang, sedangkan ruang kita terlalu sempit; juga pengetahuan saya tentang Marxisme masih terbatas. Maka dari itu, paparan ini semata-mata hanyalah sekedar introduksi, sekedar pengantar untuk mengenal pandangan Marx lagi secara lebih mendalam. Bagaimana pandangan Marx mengenai negara?



PERSPEKTIF MARX MENGENAI NEGARA


"Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuatan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib'; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara" 


     Demikianlah tulis Friedrich Engels dalam bukunya yang berjudul "Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara". Dalam tulisannya ini, Engels menyatakan dengan sangat jelas, ide-ide dasar daripada Marxisme mengenai masalah peran historis negara dan arti negara. Negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas. Negara timbul ketika, di mana dan untuk perpanjangan terjadinya antagonisme-antagonisme kelas secara objektif tidak dapat didamaikan. Dan sebaliknya, eksistensi negara membuktikan bahwa antagonisme-antagonisme kelas adalah tak terdamaikan.



I. BAGIAN DARI PRODUK SEJARAH MANUSIA


"Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu."  Negara pada dasarnya bukanlah suatu hal yang abadi. Negara, dalam bentuknya yang sekarang ini, merupakan produk dari sejarah peradaban manusia. Sebagai sebuah produk dari sejarah peradaban manusia, negara tidaklah ada selamanya.


     Pada masa komunisme primitif, manusia belum mengenal apa itu negara. Pada masa itu, manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil yang hidup secara otonom. Manusia pada masa itu hidup dengan sangat bergantung pada sumber-sumber makanan di alam “liar”. Dengan segala keterbatasannya, masyarakat primitif sering kali mengalami malnutrisi dan dihantui kelaparan. Karena sangat bergantung pada alam, maka masyarakat primitif tidak memiliki tempat yang tetap untuk hidup (nomaden). Pada masa itu, kepemilikan pribadi belumlah muncul.


     Walaupun mereka belum mengenal negara modern seperti saat ini, mereka bukan berarti hidup dalam kekacauan (karena ketiadaan aturan tertulis dan aparatur negara). Dalam masyarakat primitif, kejahatan dan pelanggaran ringan ditangani secara demokratis oleh masyarakat. Kepemimpinan dalam masa itu telah ada, seperti dalam semua masyarakat manusia. Berbeda dengan zaman modern ini, pemimpin pada masa itu dihormati bukan dengan cara pemaksaan yang dilakukan oleh aparatur negara, melainkan karena sukarela. 


     Seperti yang ditulis Engels dalam "Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara", “Hamba polisi paling buruk dari negara yang beradab memiliki lebih banyak“ otoritas ”daripada semua organ masyarakat non-Yahudi yang disatukan; tetapi pangeran terkuat dan negarawan terhebat atau jenderal peradaban mungkin iri pada para pemimpin kafir yang paling rendah hati atas penghormatan tanpa paksaan dan tidak dipertanyakan yang diberikan kepadanya. Yang berdiri di tengah-tengah masyarakat; yang lain dipaksa berpose sebagai sesuatu di luar dan di atasnya."


     Ketika manusia primitif tidak lagi hidup secara berpindah-pindah, dan mulai membangun tempat tinggal yang permanen atau semi permanen, bangunan rumah tersebut biasanya bukanlah rumah pribadi seperti kita kenal sekarang ini, melainkan dihuni bersama-sama. Dalam rumah-rumah seperti itu, barang-barang yang ada dipakai dan dimiliki bersama. Pada masa yang lebih belakangan (dalam beberapa masyarakat asli Amerika), Lewis H. Morgan mengamati: “Keluarga syndasmian merupakan ciri-ciri khusus. Beberapa keluarga tersebut tinggal di satu rumah, mendirikan rumah tangga komunal, dan di dalamnya melaksanakan prinsip-prinsip komunisme” (Masyarakat Kuno).


     Karena manusia pada waktu itu telah hidup menetap, manusia akhirnya dapat memproduksi makanan secara mandiri. Menetapnya manusia di wilayah-wilayah tertentu mungkinkan manusia untuk mengembangkan produktivitas pekerjaannya. Pada masa itu, manusia tidak hanya hidup dengan berburu atau mengambil apa yang disediakan alam, tetapi manusia telah mampu untuk hidup dengan merencanakan, menabur benih, mengembangkan alat dan tekniknya. Sebagai akibatnya,  mereka mulai mengembangkan surplus di atas kebutuhan mendesak mereka sendiri. 


     Pada masa inilah, untuk pertama kalinya masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas, dan di sana dikembangkan "berpunya" dan "tidak berpunya", yang dalam contoh pertama adalah pemilik budak dan budak. Pada masa ini, antara "kerja otak" dengan "kerja tangan" mulai dipisahkan.


     Klas berpunya atau pemilik budak pada masa itu bebas untuk mencurahkan waktunya untuk melakukan "pekerjaan otak" dalam seni, sains, arsitektur, filsafat dan matematika. Sedangkan para kaum tidak berpunya atau budak harus mampu untuk memuaskan diri hanya dalam kerja-kerja fisiknya, seperti bekerja di ladang majikan, pelayan kaum elit, dsb. 


     Pemilik budak ini, tentu saja, merupakan minoritas dan karena itu diperlukan tubuh khusus orang-orang bersenjata untuk menjaga budak mereka tetap di dalam rantai, dan dengan demikian negara dilahirkan dari pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas.


     Friedrich Engels menuliskan perbedaan antara negara baru ini dengan masyarakat primitif sebagai berikut:


     "Berbeda dengan organisasi gens (suku atau klan) lama, negara, pertama-tama, membagi warga negara menurut pembagian wilayah....


     "Pembagian demikian itu nampaknya "wajar" bagi kita, tetapi ia telah meminta perjuangan berjangka panjang melawan organisasi lama berdasarkan suku atau gens.


     "Ciri kedua yang membedakan ialah ditegakkannya kekuasaan kemasyarakatan yang sudah tidak sesuai secara langsung dengan penduduk yang mengorganisasi diri sebagai kekuatan bersenjata. Kekuatan kemasyarakatan yang khusus ini perlu, karena organisasi bersenjata yang bertindak sendiri dari penduduk menjadi tidak mungkin sejak terpecahnya masyarakat menjadi kelas-kelas... Kekuasaan kemasyarakatan ini ada di dalam setiap negara. Ia tidak hanya terdiri dari orang-orang bersenjata saja, tetapi juga terdiri dari embel-embel materiil, yaitu penjara dan segala macam lembaga pemaksa, yang tidak dikenal oleh susunan masyarakat gens (klan) ...."



II. NEGARA KLAS


Melihat hal ini, maka nyatalah bahwa menurut Marx, negara bukanlah "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Menurut Marx, negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan klas-klas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Jadi, negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan klas-klas atas. Negara bukanlah wasit yang netral, yang melerai konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara adil.


     Sebagaimana yang dituliskan oleh Engels, "negara... bertujuan memertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan klas berkuasa terhadap klas yang dikuasai secara paksa". "Negara" tambah Engels kemudian "adalah mesin untuk penindasan satu kelas oleh yang lain dan memang di sebuah republik yang demokratis tidak kurang dari di sebuah monarki ... Dalam sebuah republik yang demokratis kekayaan menjalankan kekuatannya secara tidak langsung, tetapi yang lebih pasti, melalui korupsi langsung para pejabat; kedua melalui aliansi antara pemerintah dan bursa efek."


     Negara memang dapat saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, seperti dengan membangun transportasi umum, menyelenggarakan sekolah umum, melindungi masyarakat terhadap tindak kriminal, dsb. Tetapi tindakan ini pun demi kepentingan klas atas, karena klas atas pun tidak dapat memertahankan diri, apabila kehidupan masyarakat umumnya tidak berjalan. Negara dapat saja berpura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh masyarakat, tetapi kemungkinan besar, itu hanyalah sebuah peralihan. Ketika dalam keadaan krisis, negara akan menunjukkan watak aslinya.


     Maka tak heran, dalam setiap kebijakan negara, rakyat kecil lah yang akhirnya memakan getahnya. Inilah alasan mengapa seringkali pencuri kecil sering dihukum lebih keras daripada koruptor besar dan alasan mengapa persentase orang kecil dalam penjara lebih besar daripada persentase orang kaya dalam masyarakat. Negara memanglah negara hukum, tetapi orang-orang kecil tidak memiliki akses terhadap hukum. Orang besar terlindungi, tetapi orang kecil tidak. Hukum hanya 'lancip' ke bawah, tetapi 'tumpul' keatas.



III. UPAYA MELENYAPKAN NEGARA


Engels menuliskan, "Kelas-kelas tak terelakan akan runtuh, sebagaimana halnya dulu kelas-kelas itu tak terelakan timbul. Dengan runtuhnya kelas-kelas, maka secara tak terelakan akan runtuh pula negara. Masyarakat yang akan mengorganisasi produksi secara baru atas dasar perserikatan bebas dan sama derajat kaum produsen akan mengirim seluruh mesin negara ke tempat yang semestinya: yaitu ke dalam museum barang antik, di sebelah alat pemintal dan kapak perunggu".


     Bagi Engels, negara pada akhirnya akan lenyap. Untuk melenyapkan negara, "Proletariat (harus) merebut kekuasaan negara dan pertama-tama mengubah alat-alat produksi menjadi milik negara. Tetapi dengan ini ia mengakhiri dirinya sendiri sebagai proletariat, dengan ini ia mengakhiri segala perbedaan kelas dan antagonisme kelas, dan bersama itu juga mengakhiri negara sebagai negara." Negara dengan ini tidak dihapuskan, melainkan akan lenyap dengan sendirinya, seiring dengan runtuhnya klas-klas masyarakat yang menjadikan negara itu ada.


     Adalah betul bahwa Engels mewartakan penghapusan negara. Namun, negara yang dimaksud bukanlah negara sembarangan. Negara yang dihapuskan adalah negara borjuis, melalui revolusi Sosialis. "penghapusan" negara borjuis oleh revolusi proletar, sedang kata-kata tentang melenyapnya negara merujuk pada sisa-sisa ketatanegaraan proletar sesudah revolusi sosialis. Menurut Engels, negara borjuasi tidak "melenyap" tetapi "dihapuskan" oleh proletariat dalam revolusi. Apa yang melenyap sesudah revolusi adalah negara atau setengah negara proletar itu.


     Upaya melenyapkan negara tidak dapat berwatak nasional, namun harus berwatak Internasional. Kapitalisme adalah gejala internasional. Maka penghapusan kapitalisme, sebagai upaya untuk menghapuskan pertentangan klas haruslah berwatak internasional. Pengalaman-pengalaman lalu telah menunjukan kepada kita: bila kita mengabaikan solidaritas yang seharusnya terjalin di antara kaum buruh sedunia … atau bila kita gagal dalam menggalang kaum buruh untuk berjuang bersama -- bahu membahu-- maka segala usaha kita hanya akan bermuara pada kegagalan.



PENUTUP


Menurut Marx, "Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu." Oleh karena itu, bagi Marx, negara bukanlah suatu hal yang abadi. Negara tidak selamanya ada. Negara, bagi Marx pula, bukanlah suatu hal yang netral. Ia merupakan bentuk manifestasi dari klas yang berkuasa. Negara adalah negara klas. Upaya melenyapkan negara merupakan suatu keniscayaan, "sebagaimana halnya dulu kelas-kelas itu tak terelakan timbul." Upaya melenyapkan negara harus didahului dulu dengan penghapusan negara borjuis melalui revolusi Sosialis yang bersifat Internasional. Ketika hal itu terjadi, maka negara akan "mati perlahan dengan sendirinya", sebagai akibat dari runtuhnya klas-klas sosial dari masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau