Langsung ke konten utama

PADA MULANYA ADALAH KERJA

 


Pada mulanya adalah kerja. Kerja itu bersama-sama dengan manusia, dan kerja itu sendiri adalah ciri khas dari manusia. Seluruh kekayaan manusia yang kita miliki saat ini tidaklah muncul melalui uang ataupun emas, melainkan melalui kerja. Tembok China yang panjang, menara Eiffel yang tinggi, Candi Borobudur yang megah, dll, darimana semua itu muncul? Semua hal ini muncul melalui kerja. Perkakas produksi yang paling primitif, hingga robot-robot yang paling canggih, semua tak lepas dari kerja sebagai kegiatan khas manusia. Melalui kerja, seluruh peradaban manusia muncul.


     Kerja merupakan kegiatan khas manusia yang sangat elementer. Melalui kerja, manusia telah berhasil memisahkan dirinya dengan dunia hewan, yaitu dengan cara menundukkan alam. Tak seperti hewan yang bekerja di bawah desakan naluri, manusia justru bekerja dengan sadar dan bebas. Melalui kerja yang sadar dan bebas ini, manusia tidak hanya dapat mengambil objek-objek alam, melainkan juga mengubahnya. Dengan cara ini, manusia telah berhasil mengobjektifkan dirinya beserta seluruh kekhasannya, individualitasnya, ke dalam dunia riil. Kerja, terlebih lagi kerja sebagai produksi, adalah realisasi dan aktualisasi dari manusia.


     Marx menuliskan bahwa: "Andaikata kita berproduksi sebagai manusia (artinya tidak terasing atau teralienasi): masing-masing dari kita dalam produksinya membenarkan diri sendiri dan sama secara ganda. Aku (1), dalam produksiku mengobjektifkan individualitasku, kekhasanku, maka waktu melakukan kegiatan kunikmati,.... dalam memandang objek, kegembiraan individual bahwa aku mengetahui kepribadianku sebagai kekuatan objektif, yang dapat dilihat secara indrawi, tidak dapat diragukan. (2) Dalam nikmatmu atau pemakaian atas objekku, aku langsung menikmati kesadaran bahwa dalam pekerjaanku aku memenuhi kebutuhan sebagai manusia, maupun bahwa aku mengobjektifkan hakikat manusia dan karena menciptakan objek yang sesuai dengan kebutuhan manusia lain, (3) aku menjadi perantara antara engkau dan umat manusia, jadi bahwa aku kau ketahui dan kau rasakan sebagai pelengkap hakikatmu dan sebagai bagian dirimu yang perlu, jadi bahwa aku dibenarkan dalam pikiranmu maupun dalam cintamu, (4) bahwa dalam ungkapan hidup individualku aku langsung menciptakan ungkapan hidupmu, jadi bahwa dalam kegiatan individualku aku langsung membenarkan dan merealisasikan hakikatku yang benar, kemanusiaanku, kesosialanku."


     Apa artinya? Pertama-tama, bagi Marx, melalui kerja, manusia dapat menempatkan dirinya ke dalam dunia riil. Walaupun hewan juga melakukan kerja, seperti membangun sarang, mencari makanan, dll. Namun, tak seperti hewan yang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara langsung, manusia justru dapat bekerja secara bebas dan sadar. Bebas, artinya manusia dapat bekerja tanpa terikat oleh kebutuhan fisiknya. Manusia dapat bekerja walaupun mungkin tidak membutuhkannya secara riil. Sedangkan sadar, artinya ialah manusia bekerja bukan hanya didasarkan atas dasar naluri, melainkan juga atas dasar kehendaknya yang bebas untuk merealisasikan dirinya. Bekerja berarti bahwa manusia megambil bentuk alami dari objek alam dan memberikan bentuknya sendiri. Ia mengobjektivikasikan dirinya ke dalam alam melalui pekerjaannya. Melalui kerja, manusia dapat melihat dirinya sendiri dalam hasil kerjanya, dan mendapatkan kepastian mengenai eksistensinya, bakatnya, kemampuannya, ciri khasnya, kepandaiannya, dsb. Singkatnya, manusia menjadi nyata melalui kerja.


     Yang kedua, bagi Marx, melalui pekerjaan, manusia tidak hanya merealisasikan dirinya beserta seluruh individualitasnya ke dalam dunia riil, melainkan juga membuktikan bahwa dirinya merupakan makhluk sosial. Pekerjaan adalah jembatan antarmanusia. Melalui kerja, manusia dapat menyadari bahwa pada hakikatnya, manusia bersifat sosial. Sebagian besar pekerjaan manusia justru dapat benar-benar bermakna apabila hasil dari pekerjaan tersebut dapat dinikmati oleh orang lain. Manusia dapat merasa berarti justru apabila orang lain menerima dan menghargai hasil pekerjaannya. Seorang penulis (misalkan), hanya dapat merasa bahwa pekerjaannya benar-benar berarti ketika hasil tulisannya tidak dinikmati sendiri, melainkan juga dinikmati oleh masyarakat umum. Pekerjaan tidak hanya menjembatani manusia dalam satu zaman, melainkan juga antar zaman. Kehidupan manusia saat ini merupakan hasil pekerjaan kolektif dari jutaan generasi manusia sebelumnya. Maka dari itu, "bagi manusia Sosialis, semua yang disebut sebagai sejarah dunia tidak lain adalah penciptaan manusia melalui pekerjaan manusia, terjadinya alam bagi manusia" (Marx).


     Sampai di sini, terlihatlah bahwa (berbeda dengan klaim para intelektual borjuis) Marx tidak menganggap manusia sebagai makhluk sosial secara absolut. Lebih tepatnya, Marx memahami manusia sebagai makhluk monopluralis atau majemuk tunggal. Sebagai makhluk individual, manusia tentu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Aku sebagai pelukis tentu saja berbeda dengan aku sebagai penyanyi. Perbedaan ini tidak hanya berlaku dalam pengertian relasional, artinya hal ini juga berlaku bagi manusia secara tunggal jika ditempatkan bersama latarbelakang historisnya. Namun, perbedaan-perbedaan manusia ini hanya dapat hadir jika terdapat syarat material yang menyertainya. Seorang penyanyi handal hanya dapat menyanyi jika ia memiliki guru, atau bahan pembelajaran menyanyi, atau musik, atau singkatnya syarat material yang menyebabkan ia dapat menyanyi dengan indah. Keberadaan syarat-syarat material hanya dapat eksis jika terdapat kerja sosial yang memunculkannya. Artinya, individualitas manusia hanya dapat muncul dalam lingkup masyarakat kolektif beserta seluruh pekerjaannya.


     Jadi, akhir kata, apa itu kerja? Kerja merupakan kegiatan dasar manusia yang paling khas. Melalui kerja, manusia memisahkan dirinya dengan alam secara tegas. Tanpa kerja, maka akan sangat mungkin jika kehidupan manusia masih sangat primitif.  Tanpa kerja, manusia bukanlah manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau