Langsung ke konten utama

EKONOMI-POLITIK MARXIS

 

IV. PENUTUP




4.1. Rangkuman Menyeluruh


Sebagaimana terungkap dalam Bagian 1, artikel ini hendak menerangkan dasar-dasar teori dari Ekonomi-Politik Marxis (EPM) sebagai salah satu teori ekonomi yang paling maju. Dari pemaparan yang panjang dan lebar ini, kita dapat meringkasnya dalam beberapa bagian, antara lain: 


     Pertama, di bagian 2, kita telah melihat asal-usul daripada teori EPM ini, yang seluruhnya bersumber pada pemikiran Aristoteles. Aristoteles dalam karya-karyanya mencoba untuk menetengahkan persoalan nilai, yaitu persoalan dasar dalam ilmu ekonomi, walaupun masib secara implisit. Ketika membahas tentang pertukaran barangdagangan, Aristoteles mengatakan dalam Etika Nikotmakhea-nya bahwa syarat kemungkinan dari adanya pertukaran adalah kesetaraan (equivalence) di antara barang-dagangan dan kesetaraan itu dimungkinkan karena adanya keseukuran (commensurability) di antara barang-dagangan. Dengan demikian, persoalan mendasar dari segala teori nilai adalah persoalan keseukuran antar komoditas. Mengapa barangdagangan yang berbeda satu sama lain dapat dikatakan seukur? Inilah pertanyaan dasar teori nilai. Dengan melacak teks-teks Aristoteles lain yang berbicara tentang keseukuran, kita dapat mengetahui bahwa persoalan keseukuran nilai antar komoditas memiliki pendasaran dalam metafisika Aristoteles. Persoalan keseukuran sebangun dengan persoalan substansi atau substratum, yaitu kesamaan yang menjadi landasan bagi perbedaan. “Segala hal yang dapat diperbandingkan mestilah memiliki sesuatu yang identik yang melaluinya mereka diukur”. Menjelaskan nilai, dengan demikian, berarti menjelaskan substansi komoditas: sebuah basis kesamaan yang membuat semua komoditas adalah komoditas. Oleh karena teori nilai pada dasarnya teori tentang substansi ekonomi, teori tentang landasan yang menjadi syarat kemungkinan bagi adanya tindak pertukaran sama sekali, maka teori nilai adalah ontologi ekonomi. Nilai dalam ilmu ekonomi adalah seperti Ada dalam metafisika: sesuatu yang disyaratkan oleh adanya realitas secara keseluruhan. Dalam pengertian tentang ekonomi sebagai khrematistik atau laku pengejaran kekayaan dengan perdagangan, nilai menjadi demikian penting karena apa yang diupayakan dalam khrematistik bukan lagi pencukupan kebutuhan hidup (yang diperoleh dari nilai-pakai komoditas), melainkan soal akumulasi komoditas sebanyak-banyaknya (yang diperoleh dari nilai atau rasio pertukaran yang tinggi dalam perdagangan).


     Selanjutnya, masih di bagian yang sama, kita telah melihat bagaimana para ekonom-politik klasik mencoba untuk menyelesaikan persoalan nilai yang dibawa oleh Aristoteles ini dengan teori nilai-kerjanya. Teori nilai-kerja diawali dengan pendekatan nilai berbasis ongkos produksi yang antara lain dirumuskan oleh Thomas Aquinas. Dalam pendekatan ongkos produksi, nilai komoditas ditentukan oleh keseluruhan ongkos yang diperlukan dalam produksi komoditas tersebut. Aquinas meletakkan persoalan nilai yang ditinjau dari ongkos produksi ini dalam visi etisnya tentang syarat kemungkinan pertukaran yang adil. Sebuah pertukaran dikatakan adil apabila harga yang ditawarkan dalam pertukaran tersebut sesuai dengan ongkos yang diperlukan dalam produksi komoditas terkait. Tingkat harga pada situasi seperti itu disebut sebagai ‘harga yang adil’, yakni nilai komoditas yang sesuai dengan ongkos produksi. Pendekatan berbasis ongkos produksi yang mencari prinsip penentu nilai atau harga yang adil pada kondisi-kondisi produksi inilah yang kemudian disempurnakan oleh William Petty melalui teori nilai-kerjanya, yang diperkokoh oleh Adam Smith, David Ricardo dan Karl Marx.


     Yang ke-2, di bagian 3, kita telah membahas secara lebih khusus, teori nilai-kerja Marx beserta teori EPM. Sebagai dasar dari EPM dan kerangka acuan untuk menjelaskan beragam fenomena ekonomi dan sosial, teori nilai-kerja Marx memiliki daya penjelasan yang kuat dan mumpuni. Teori nilai-kerja Marx merupakan teori nilai-kerja yang paling maju dari teori-teori nilai lainnya. Seperti telah kita saksikan, teori nilai tersebut dapat diturunkan ke dalam berbagai teori yang menjelaskan keseukuran antar komoditas, siklus bisnis, krisis kapitalisme dan sebagainya. Kendati teori EPM ini bukanlah teori yang tanpa kekurangan, kekuatan penjelasan yang dimiliki teori nilai Marxian tetaplah lebih besar daripada yang dikandung dalam teori nilai yang lainnya, terutama teori nilai-utilitas yang saat ini digunakan sebagai dasar teori untuk pendidikan ekonomi di sekolah menengah. Teori nilai-kerja dapat menjawab pertanyaan paling krusial bagi ilmu ekonomi yakni pertanyaan tentang keseukuran antar komoditas. Dari posisi ini, teori nilai-kerja Marx memiliki daya eksplanatoris yang kuat untuk menjelaskan berbagai macam fenomena sosio-ekonomi yang ada, termasuk ketimpangan yang masih terjadi saat ini.



4.2. Apa Yang Harus Dilakukan?


Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Marx sendiri, salah satu tujuan dari EPM ini adalah "menelanjangi hukum ekonomi masyarakat modern, yaitu kapitalisme, masyarakat borjuis,”. Tidak hanya itu, selanjutnya, Marx mengungkapkan bahwa “para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah mengubahnya.” Melalui EPM ini, kita telah mengetahui akar dari segala ketimpangan sosio-ekonomi yang terjadi saat ini, yakni kapitalisme. Melalui teori nilai-kerjanya, Marx telah menelanjangi segala omongkosong borjuis mengenai keadilan, keuntungan, keabadian persaingan dan pasar bebas, kenetralan negara, pembawa peradaban dunia (imperialisme), dsb. Marx telah berhasil merumuskan hukum dasar kapitalisme dengan sangat baik, walaupun bukan berarti tanpa kekurangan. Berdasarkan analisanya ini, Marx dengan tegas menawarkan sebuah solusi yang amat revolusioner, yakni Sosialisme. Dengan Sosialisme, K'las proletariat tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Mereka akan menguasai dunia.


K'las Pekerja sedunia, bersatulah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau