Langsung ke konten utama

EKONOMI-POLITIK MARXIS


III. DALAM BAYANG-BAYANG MARX




3.1. Pengantar


Pada tahun 1847, Marx dan keluarganya telah diusir dari tempat tinggalnya di Belgia dan pindah ke London, tempat di mana ia akan tinggal hingga akhir hayatnya. Di kota metropolis ini, ia semakin memusatkan perhatiannya kepada pekerjaan teoritis. Di masa pengasingannya ini, ia mulai menenggelamkan dirinya dalam studi ekonomi-politik klasik Inggris. Melalui karya-karya ekonom klasik seperti J.B. Says, McCulloch, James Mill, Sismondi, Jeremy Bentham, dan khususnya William Petty, David Ricardo, dan Adam Smith, Marx mulai melakukan penyelidikan mendalam mengenai hukum ekonomi masyarakat yang ada, yakni kapitalisme. Melalui karya-karyanya seperti Das Kapital, Kontribusi Terhadap Kritik Ekonomi-Politik, Gundrisse, dst, Marx telah berhasil menuliskan teori-teori ekonomi-politiknya.


     Teori-teori ekonomi-politik Marx merupakan teori ekonomi Klasik yang paling maju. Dalam teori ekonominya, Marx telah memberikan dasar-dasar teoritis yang kokoh mengenai hukum ekonomi masyarakat kapitalisme, yang masih eksis hingga saat ini. Dalam karya-karyanya, Marx telah memberikan kontribusi yang besar untuk kemajuan ekonomi-politik klasik dengan memberikan distingsi antara kerja dan tenagakerja, dan juga memberikan kekhususan historis dalam teori nilai-kerja. Sama seperti teori ekonomi-politik klasik lainnya, Marx mendasarkan teori ekonomi-politiknya dengan teori nilai-kerja.


     Di bagian ini, kita akan melihat teori EPM sebagai bagian dari teori ekonomi-politik klasik yang paling maju. Penjabaran mengenai EPM akan dibagi menjadi 5 bagian (termasuk bagian pengantar ini). Di bagian 3.2., kita akan melihat bagaimana bentuk teori nilai kerja yang direkontruksi oleh Karl Marx. Di bagian ini, kita akan menganalisis permasalahan nilai dalam komoditas melalui sudut pandang Marxis. Lalu, di bagian ini pula, kita akan melihat bagaimana Marx memilah antara kerja abstrak dan kerja konkret dalam produksi kapitalis ini. Selanjutnya, di bagian 3.3., kita akan melihat bagaimana teori nilai kerja ini kita gunakan untuk menganalisis realitas produksi kapitalisme. Di bagian ini, kita akan melihat, bagaimana Marx merumuskan sistem produksi kapitalis ini dalam rumusan sirkulasi kapitalnya. Masih di bagian yang sama, kita akan melihat bagaimana para k'las kapitalis menjual komoditasnya dan bagaimana mereka memperoleh profit dari produksinya tersebut. Di bagian 3.4., kita akan melihat bagaimana hubungan antara upah, harga, dan kapital dalam sistem produksi ini dan bagaimana dinamikanya dalam sistem ini. Di bagian 3.5., kita akan melihat salah satu teori krisis kapitalisme yang paling mumpuni, yaitu teori krisis kejatuhan tendensial tingkat laba yang bermula dari krisis overproduksi. Di bagian 3.6., kita akan melihat rangkuman menyeluruh terhadap semua materi yang telah kita lihat di bagian 3 ini.



3.2. Teori Nilai Kerja Marx


Pada dasarnya, Marx adalah seorang ekonom klasik. Sebagaimana para ekonom klasik pada umumnya, Marx mengakui kesahihan dari teori nilai kerja yang pertama kali dipelopori oleh Sir William Petty. Lebih lanjut lagi, Marx menyatakan bahwa nilai dari komoditas ditentukan oleh waktu rata-rata kerja sosial atau abstrak yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas tersebut. Dengan menyatakan inilah, Marx menunjukkan kekhususan historis dari teori nilai-kerja, yaitu dalam sistem kerja upahan, di mana kerja abstrak baru dapat benar-benar eksis.



3.2.1. Pemilahan Nilai Dalam Komoditas


Marx memulai analisis ekonomi-politiknya dalam Das Kapital dengan memilah terlebih dahulu, elemen-elemen nilai yang ada dalam komoditas. Marx mendekati persoalan nilai dengan memilah nilai komoditas menjadi 3 bagian, yaitu nilai-pakai, nilai-tukar dan nilai. Nilai-pakai adalah kegunaan sebuah barang yang dikondisikan oleh sifat fisik atau karakter material dari barang tersebut. Elemen ke-2, yakni nilai-tukar, adalah nilai sebuah komoditas dalam relasi pertukarannya dengan komoditas lain. Sedangkan elemen yang ke-3, yaitu nilai, merupakan ‘elemen bersama’ (common element), ‘substansi umum’ atau ‘landasan keseukuran’ yang mendasari segala persamaan pertukaran. 


     Menurut Marx, hubungan antara nilai-pakai dengan nilai-tukar dalam komoditas ini tidaklah saling menentukan. Suatu barang yang memiliki nilai-pakai yang sangat besar belum tentu memiliki nilai-tukar yang sama besarnya, begitu pula dengan sebaliknya. Contohnya ialah antara air dan berlian. Pada dasarnya, air memiliki nilai-pakai yang sangat besar bagi kehidupan manusia, namun, ia memiliki nilai-tukar yang sangat kecil (atau bahkan tidak ada). Sebaliknya, berlian yang pada dasarnya tidak dibutuhkan oleh manusia (tanpa berlian, manusia masih dapat tetap hidup),  justru memiliki nilai-tukar yang sangat besar. Dengan hal ini, maka jelas bahwa nilai-tukar tidak ditentukan oleh nilai-pakainya. Objek-objek yang memiliki nilai-pakai hanya dapat memiliki nilai-tukar sejauh objek tersebut mengalami komodifikasi. Air yang memiliki nilai-pakai yang sangat besar hanya dapat memiliki nilai-tukar sejauh air tersebut mengalami kerja manusia (pemasakan agar layak dikonsumsi, pengemasan, distribusi, dsb).


     Jika nilai-pakai komoditas dikondisikan oleh sifat fisik atau karakter materialnya, lalu, apa yang menentukan nilai-tukar dari komoditas? Nilai-tukar komoditas ditentukan oleh ‘elemen bersamanya’, ‘substansi umumnya’ atau ‘landasan keseukurannya’, atau dengan kata lain, oleh nilainya. Dengan melihat hal ini, maka nilai-tukar pada dasarnya adalah ‘bentuk tampilan’ dari nilai. Nilai bagi Marx ini kurang lebih serupa maknanya dengan nilai-absolut bagi David Ricardo. Proses penentuan nilai ditentukan oleh waktu kerja dalam produksinya. Dengan kata lain, karena nilai-tukar suatu komoditas ditentukan oleh nilainya, sedangkan nilai komoditas ditentukan oleh kerjanya. Maka, nilai-tukar komoditas secara tidak langsung ditentukan oleh kerja untuk memproduksinya, lebih spesifik lagi ialah waktu kerja (sosial) yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas tersebut.



3.2.2. Kerja


Sebelumnya, kita telah melihat bagaimana Marx memilah berbagai elemen yang ada dalam komoditas. Marx beranggapan bahwa dalam komoditas, terdapat 3 elemen yang melekat di dalamnya. Elemen itu antara lain ialah nilai-pakai, nilai-tukar, dan nilai. Selanjutnya, Marx beranggapan bahwa nilai-pakai ditentukan oleh karakter materialnya, nilai-tukar oleh nilainya, sedangkan nilai itu sendiri ditentukan oleh kerja dalam memproduksinya. Melihat hal ini, maka jelas bahwa bagi Marx, nilai-tukar ditentukan oleh kerja dalam memproduksinya, walaupun secara tidak langsung. Namun, pertanyaan selanjutnya ialah, apakah semua kerja dapat mencipatakan nilai? Marx berkata tidak.


     Dalam karya-karyanya, Marx memilah kerja menjadi 2 bagian, yaitu kerja konkret dan kerja abstrak. Kerja konkret adalah ‘kerja berguna’ atau kerja yang menghasilkan nilai-pakai suatu barang. Kegunaan atau hasil dari jenis kerja ini tercermin pada nilai-pakai dari produk tersebut, atau oleh fakta bahwa produk tersebut memiliki nilai-pakai (Capital, 132). Pada bagian lainnya, ia mengatakan, dalam nilai-guna setiap komoditi melekat kerja berguna, yakni bentuk aktivitas produktif yang pasti, yang menghasilkan tujuan yang jelas (Capital, 132-33). Sebagaimana halnya dengan nilai-pakai, setiap jenis kerja konkret adalah berbeda secara kualitatif. Kerja konkret memahat secara kualitatif berbeda dengan kerja konkret memasak. Kerja ini adalah bentuk kerja yang telah ada sejak lama, sejauh manusia membutuhkan apa yang dihasilkan oleh kerja konkret tersebut, maka kerja konkret itu pun mulai ada.


     Selain kerja konkret, adapula kerja abstrak, yakni kerja yang menghasilkan nilai terhadap komoditas. Kerja ini adalah kerja manusia yang tidak ditujukan "untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya, untuk dikonsumsinya sendiri" (Marx). Marx selanjutnya menunjukkan bahwa (tak seperti kerja konkret), kerja abstrak adalah bentuk kerja yang spesifik secara historis, artinya kerja abstrak ini tidak selalu eksis di seluruh zaman manusia. Kerja abstrak ini baru dapat benar-benar eksis ketika kerja manusia menjadi homogen. Homogenitas dalam kerja ini mensyaratkan pemisahan antara produsen dengan sarana produksinya. Hanya ketika produsen tak memiliki akses langsung pada sarana produksinya, atau dengan kata lain, tidak memiliki akses pada tujuan dari proses produksi itu sendiri, barulah kerjanya menjadi kerja abstrak. Dengan demikian, adanya substansi kerja homogen mensyaratkan keberadaan relasi kerja-upahan. Hanya dalam relasi kerja-upahan inilah, di mana hasil kerja seseorang tidak dimiliki oleh si produsen, melainkan diserahkan kepada pemilik sarana produksinya, maka kerja abstrak ini baru dapat benar-benar eksis. Kerja abstrak inilah yang menjadi ‘substansi umum’ atau ‘hal ketiga’ yang melandasi setiap persamaan pertukaran. Inilah substansi nilai. 


     Marx kemudian menuliskan, “apabila kita mengesampingkan, kualitas tertentu dari aktivitas produktif, dan karenanya mengesampingkan watak berguna kerja, apa yang tersisa ialah kualitasnya sebagai pencurahan tenagakerja manusia” ([1867] 1979: 134). Dalam kalimatnya ini, Marx beranggapan bahwa semua kerja manusia pada dasarnya terdiri dari ‘energi manusia yang disalurkan, produk dari otak, otot, saraf, tangan, dsb' (Capital, 134). Jika kita melihat dari perspektif ini, maka seluruh kerja berguna, dalam kenyataannya, tidak lain adalah energi psikologis yang dikeluarkan yang bisa diukur dengan unit waktu-kerja. “Nilai suatu komoditas merepresentasikan kerja manusia yang murni dan sederhana: pencurahan kerja manusia secara umum” (Marx). Apakah Marx di sini telah mengabaikan kerja yang membutuhkan keahlian khusus? Sama sekali tidak. Marx menyatakan bahwa kerja kompleks (dengan derajat keahlian yang tinggi) dapat diekspresikan ke dalam kerja sederhana sehingga segala sesuatunya dinilai berdasarkan besaran tunggal kerja sederhana tersebut. Di posisi ini, Marx menjalankan reduksi atas kerja berkeahlian (skilled labour atau complex labour) ke kerja tak berkeahlian (unskilled labour atau simple labour). Sejumlah kecil kerja berkeahlian dapat direduksikan pada sejumlah besar kerja tak berkeahlian sehingga satuan terdasar pengukur nilai adalah jam kerja tak berkeahlian itu. Misalnya, satu hari kerja berkeahlian untuk memproduksi sebuah meja setara dengan seminggu kerja tak berkeahlian. Maka, terlihatlah bahwa di sini Marx sama sekali tidak mengabaikan kerja yang berkeahlian tersebut.


     Marx kemudian menjelaskan bagaimana hubungan antara nilai-pakai dengan nilai-tukar (dan karenanya juga antara kerja abstrak dan kerja konkret) ini dalam proses pertukaran komoditas. Dalam menjelaskan hubungan ini, Marx menggunakan contoh dua komoditas: jaket dan 10 yards (91,44 cm) linen (atau linan). Berdasarkan observasinya, jaket dijual dengan harga dua kali lipat dari harga jual linen. Jadi, jika 10 yards linan = W maka jaket = 2W. Lalu, apa yang membuat harga jaket lebih mahal dua kali lipat dari harga linan? Inilah pertanyaan misterius yang coba diungkap Marx. Marx menyatakan bahwa ke-2 komoditas ini memiliki kegunaan yang secara kualitatif berbeda. Perbedaan nilai-pakai inilah yang menyebabkan pertukaran dapat terjadi, dan karena berbeda secara kualitatif, proses pencarian faktor harga dalam komoditas ini tidak bisa didasarkan atas dasar nilai-pakainya. Jika bukan karena nilai-pakainya (dan karenanya sekaligus kerja konkretnya), lalu karena apa? Kerja abstraknya. Kita dapat menemukan faktor yang melatarbelakangi munculnya harga dalam komoditas ini dengan mengabaikan kerja berguna dengan seluruh perbedaan kualitatifnya, dan hanya fokus pada energi yang dikeluarkan. Dari perspektif ini, maka kerja konkret menjahit (sebagai pencipta nilai-pakai jaket) dan menenun (sebagai pencipta nilai-pakai linen) kini tidak lebih sebagai ekspresi kuantitatif dari apa yang secara kualitatif berbeda dari berbagai macam kerja berguna. Kenneth Morrison mengatakan:


     "Apa yang membuat nilai jaket dua kali lipat dari linan, kini bisa kita lihat dengan lebih jelas. Marx percaya bahwa dalam sistem produksi kapitalis, kerja berguna yang melekat pada jaket diukur dalam pengertian kuantitatif, dan hanya dalam pengertian ini kerja yang sama, yang melekat pada linan, diberlakukan. Ketika kerja tersusun melalui cara ini, kata Marx, itulah kerja abstrak dan hal ini muncul hanya dalam masyarakat kapitalis, ketika kerja berguna itu diukur berdasarkan ‘lamanya waktu kerja sementara.’ Inilah poin kuncinya: dalam kenyataannya linen dan jaket sama-sama memiliki nilai-guna sejauh keduanya memiliki kerja berguna. Dalam makna ini, nilai dari jaket dan linen adalah sama, paling tidak ketika dipahami dalam terang kriteria kualitatif kerja berguna. Tetapi ketika diukur secara kuantitatif dalam pengertian lamanya waktu kerja, maka waktu kerja yang melekat pada jaket dua kali lebih banyak ketimbang waktu kerja yang melekat pada linan. Sementara dari titik pijak kerja beguna, jumlah kerja yang melekat pada linan dan jaket adalah sama; dari titik pijak produksi kapitalis, jaket dihargai dua kali lipat ketimbang linan, tepatnya, karena waktu kerja yang melekat padanya secara kuantitatif lebih banyak ketimbang pada linan" (ibid:93).



3.3. Asal-usul Laba Kapitalis


3.3.1. Sirkulasi Kapital


Dalam karya-karyanya, Marx (seperti yang dilakukan oleh Aristoteles) membedakan fungsi uang menjadi 2 bagian, yaitu uang sebagai uang (alat tukar) dan uang sebagai kapital. Dalam fungsinya sebagai uang, Marx menjelaskan bahwa sistem pertukaran yang terjadi ialah menjual untuk membeli, sedangkan dalam fungsinya sebagai kapital, sistem pertukaran yang terjadi ialah membeli untuk menjual. Marx lalu mendefinisikan ke-2 sistem pertukaran yang berbeda ini dalam rumusan matematis. Di satu sisi, Marx merumuskan sistem yang menempatkan fungsi uang sebagai uang dengan rumusan K-U-K, yaitu: suatu komoditas (K) yang diproduksi untuk memperoleh sejumlah uang (U) agar dapat digunakan untuk membeli komoditas lain (K). Sedangkan, dalam fungsinya sebagai kapital, Marx merumuskan sistem yang melingkupinya dengan rumus U-K-U', yaitu: uang (U) sebagai kapital  yang digunakan untuk membeli komoditas (sarana produksi dan tenagakerja) dan sekaligus memproduksi komoditas (K) lalu dijual ke pasar dengan tujuan agar dapat menerima kembali uang yang digunakan sebelumnya (U) dengan tambahan sejumlah kuantitas uang (yang diwakili dengan simbol ( ' )). Marx selanjutnya menyebut rumusan yang pertama itu dengan sebutan sirkulasi komoditas sederhana, sedangkan yang ke-2 disebut sebagai sirkulasi kapital. Di mana saja letak perbedaan ke-2 sistem pertukaran ini? Mari kita lihat.


     Dalam segi tujuan, sistem sirkulasi komoditas sederhana pada dasarnya memiliki tujuan konsumsi atau memenuhi kebutuhan si produsen. Dalam sistem ini, titik awal dengan titik akhir atau kedua ujungnya (extremes) adalah berbeda secara kualitatif, namun sama secara kuantitatif. Seorang pengrajin sepatu menjual sepasang sepatunya untuk membeli sekarung beras (misalkan). Beras dan sepatu secara kualitatif berbeda, namun, ke-2 hal ini adalah sama dalam hal kuantitatifnya, yaitu rata-rata pencurahan waktu kerja sosial yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Karena titik awal dan akhir secara kuantitatif sama, maka surplus produksi dalam sistem ini belum dapat diproduksi, sehingga proses akumulasi belum dapat dijalankan.


     Sebaliknya, dalam sistem sirkulasi kapital, fokus utama atau tujuan dari produksi ini adalah sirkulasi atau dipasarkan. Fokus utama dari produksi ini bukanlah untuk memenuhi kebutuhan si produsen, namun untuk dijual demi memperoleh tambahan uang. Alih-alih menjadi mediator, dalam sistem ini, uang justru menjadi extremesnya. Karena extremesnya adalah uang dan tujuan dari produksi ini adalah penambahan uang, maka, dalam sistem ini, titik awal dan titik akhirnya adalah sama secara kualitatif namun berbeda secara kuantitatif. Apa yang menjadi extremesnya merupakan suatu hal yang secara kualitatif sama, yakni uang. Namun, dalam hal kuantitatif, extremesnya berbeda, yaitu bertambah. Karena mengalami penambahan nilai, maka dalam sistem ini, proses akumulasi dapat dilakukan. Sistem inilah yang menjadi dasar ekonomi kapitalisme.


     Selain itu, di dalam proses menjual untuk membeli (K-U-K), uang hanya dapat muncul kembali apabila seluruh proses tersebut diulangi kembali, bahwa suatu kuantitas barang-dagangan baru/segar dijual. Namun, proses pengulangan kembali tersebut bebas dari proses produksi itu sendiri, atau dengan kata lain, tidak diwajibkan. Sebaliknya, dalam proses membeli untuk menjual (U-K-U'), perubahan kembali ini merupakan suatu keharusan dan diniatkan dari awal; jika ia tidak terjadi, maka ada suatu sendatan tertentu dan proses itu tidaklah lengkap. Proses perubahan kembali artinya berada dalam proses sirkulasi tersebut. 


     Perbedaan mengenai ke-2 rumusan ini dapat dilihat dalam tabel berikut:




     Seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, dalam sirkulasi kapital, ke-2 ujung atau extremes dari proses sirkulasi ini merupakan suatu hal yang berbeda secara kuantitatif (bertambah). Perbedaan kuantitatif ini bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan suatu hal yang disengaja dan memang telah diniatkan sejak awal produksinya. Jika proses sirkulasi ini tidak menghasilkan perubahan kuantitatif, maka seluruh proses sirkulasi ini akan kehilangan maknanya. Karenanya, proses membeli untuk menjual atau U-K-U', hanya dapat memiliki suatu makna apabila terdapat perbedaan kuantitatif dari kedua ujung (extremes)nya. Karena yang menjadi tujuan pokok dari proses sirkulasi ini adalah penambahan nilai, maka rumusan ini dapat disederhanakan hanya menjadi U-U', sebab posisi K atau komoditas dalam proses sirkulasi ini hanya menjadi mediator.


     Jika semisalkan terdapat seseorang yang melakukan proses sirkulasi kapital, dengan membeli Rp10.000,00 dan menjual Rp15.000,00, yaitu dengan hasil U'= Rp10.000,00 + Rp5.000,00, lalu darimana hasil penambahan Rp5.000,00 ini? Inilah pertanyaan dasar yang ingin dijawab oleh Marx dalam buku Das Kapitalnya. Dalam karyanya, Marx menyebut kuantitas tambahan ini dengan nama nilai-lebih. Sebelum mencari asal-usul nilai-lebih ini, kita harus melihat terlebih dahulu, bagaimana syarat minimal penjualan kapitalis agar memperoleh nilai-lebih ini. Dengan melihat syarat minimal ini, kita dapat melihat faktor utama dari keberadaan nilai-lebih ini.



3.3.2. Syarat Minimal Penjualan Kapitalis


Apa syarat minimal penjualan kapitalis agar memperoleh nilai-lebih? Dalam menjawab masalah ini, mungkin sebagian masyarakat akan menjawab bahwa syarat minimalnya ialah menjual komoditas di atas nilainya. Dengan menaikkan harga di atas nilainya, maka selisih antara harga aktual atau harga pasar dengan nilai komoditas akan menjadi nilai-lebih. Apakah benar demikian? Marx beranggapan tidak. Marx justru menganggap bahwa syarat minimal bagi penjualan kapitalis agar dapat memperoleh nilai-lebih ialah dengan menjual komoditas tersebut sesuai dengan nilainya.


     Marx menuliskan bahwa, “untuk menjelaskan hakikat umum laba, kau harus berangkat dari teorema bahwa, pada tingkat rata-rata, komoditas-komoditas dijual pada nilai aslinya dan bahwa diturunkan dari penjualan komoditas-komoditas itu pada nilainya, yakni dalam proporsi terhadap jumlah kerja yang terealisasi di dalamnya. Jika kau tidak dapat menjelaskan laba dengan pengandaian ini, maka kau tidak akan bisa menjelaskannya sama sekali. Ini nampak seperti paradoks dan berlawanan dengan pengamatan sehari-hari. Adalah juga paradoks bahwa bumi berputar mengelilingi matahari dan bahwa air mengandung dua gas yang mudah terbakar [hidrogen dan oksigen]. Kebenaran ilmiah selalu merupakan paradoks apabila dilihat dari kerangka pengalaman sehari-hari yang hanya menangkap penampakan semu benda-benda.” (Marx [1865] 1962: 424)


     Di posisi ini, Marx, sebagaimana yang dilakukan oleh Adam Smith, menempatkan nilai komoditas sebagai harga sentralnya. Marx tidak menutup kemungkinan bahwa jika karena suatu hal, harga dapat saja dijual di atas nilainya atau bahkan di bawah nilainya (sehingga menyebabkan kerugian). Namun, gelombang fluktuasi ini tidak akan bertahan lama, sebab harga aktual komoditas akan selalu bergravitasi terhadap nilainya. Marx menunjukkan bahwa harga aktual nyatanya hanyalah harga pada jangka pendek, sementara dalam jangka panjang harga pasar cenderung mengalami ekuilibrasi (penghapusan disproporsi supply-demand) sehingga berkisar di sekitar nilainya.


     Berdasarkan pertimbangan itulah, Marx kemudian menyatakan bahwa penjualan komoditas yang sesuai dengan nilainya harus menjadi dasar untuk mencari asal-usul laba k'las kapitalis ini. Marx selanjutnya menyatakan bahwa syarat minimal bagi penjualan kapitalis agar dapat memperoleh untung ialah dengan menjual komoditas tersebut sesuai dengan nilainya atau rata-rata waktu kerja sosial (abstrak) yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Dengan memulai analisisnya dengan asumsi bahwa komoditas dijual sesuai nilainya, Marx dapat melihat pola kerja ekonomi kapitalis secara leluasa tanpa menjatuhkan dakwaan-dakwaan yang berkenaan dengan problem moralitas, seperti ketamakan (menjual di atas nilai komoditas) dan kekejian (buruh tidak dibayar sesuai hasil yang diproduksinya). 


     Jika syarat minimal penjualan kapitalis agar dapat memperoleh laba ialah menjual komoditas sesuai dengan nilainya. Lalu, darimana asal nilai-lebih yang akan menjadi laba bagi kapitalis ini?


3.3.3. Produksi Nilai-lebih


Sebelum menjawab permasalahan ini, kita harus melihat terlebih dahulu, bagaimana Marx memilah kerja (selain kerja konkret dan abstrak) menjadi kerja dan tenagakerja. Dengan menciptakan distingsi ini, Marx telah melampaui para ekonom-politik klasik dan memberi kemajuan dalam perkembangan teori ekonomi ini. Menurut Marx, dalam moda produksi kapitalis, pekerja tidak menjual kerjanya pada sang pemilik modal. Artinya, bagi Marx, para pekerja tersebut tidak menjual keseluruhan hidupnya seperti seorang budak. Apa yang dibeli oleh kapitalis adalah ‘kapasitas kerja’-nya (Arbeitsvermörgen) atau ‘tenaga kerja’-nya (Arbeitskraft) (Marx [1867] 1979: 270). Yang dijual oleh pekerja adalah kemampuannya untuk bekerja selama jangka waktu tertentu, bukan keseluruhan hidupnya.


     Dalam karyanya "Kerja upahan dan Kapital", Marx menuliskan bahwa: "Dalam masyarakat kapitalis zaman kita sekarang ini, tenagakerja adalah suatu barang-dagangan, suatu barang-dagangan seperti setiap barang-dagangan lainnya, namun suatu barang-dagangan yang istimewa sekali." Berdasarkan kalimat tersebut, bagi Marx, dalam fase Kapitalisme saat ini, kemampuan buruh untuk bekerja selama jangka waktu tertentu atau tenagakerja buruh telah mengalami komodifikasi, atau menjadi komoditas. Tenagakerja inilah, yang bagi Marx akan menjadi sumber nilai bagi komoditas. Karena komoditas ini justru menciptakan nilai bukannya menyusut, maka dalam karyanya tersebut, Marx menyebutkan bahwa komoditas ini merupakan "suatu barang-dagangan yang istimewa sekali."


     Sebagaimana komoditas pada umumnya, komoditas ini juga memiliki nilai-pakai, nilai-tukar, dan nilai. Nilai-pakai tenagakerja ini muncul ketika si buruh mulai melakukan kerjanya. Nilai-tukar komoditas ini, sebagaimana komoditas pada umumnya, ditentukan oleh nilainya. Lalu, berapa nilai dari sumber nilai ini? Nilai tenagakerja (sama seperti nilai setiap komoditas) ditentukan oleh kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Maka, nilai tenagakerja adalah jumlah nilai seluruh komoditas yang perlu dibeli oleh si pekerja agar ia dapat tetap hidup dan meneruskan keturunannya. Marx menuliskan bahwa nilai tenagakerja adalah nilai "yang diperlukan untuk memelihara buruh sebagai seorang buruh dan memajukannya menjadi seorang buruh." Artinya, nilai tenagakerja adalah jumlah nilai makanan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan hidup dari si buruh beserta keluarganya agar ia dapat tetap hidup dan dapat membesarkan anak-anaknya yang akan menggantikan si buruh apabila tenagakerjanya sendiri sudah habis (menjadi tua, meninggal, dsb). 


     Berangkat dari asumsi ini, mari kita mencari asal-usul dari nilai-lebih, yang akan menjadi laba bagi kapitalis ini. Dalam produksi kapitalis, k'las kapitalis telah membeli tenagakerja k'las buruh dalam jangka waktu tertentu (katakanlah saja 8 jam/hari). Dalam keadaan normal, kapitalis tersebut akan membeli tenagakerja buruh tersebut sesuai dengan nilainya, yakni seluruh biaya bagi si pekerja dan keluarganya agar tetap hidup (andaikan saja Rp65.000,00/hari). Dalam sehari penuh, buruh tersebut telah berhasil untuk memproduksi komoditas dengan nilai Rp280.000,00. Jika di jam ke-4, buruh tersebut telah berhasil memproduksi komoditas dengan nilai Rp140.000,00 (yang berarti lebih dari cukup untuk membayar kerja buruh tersebut sesuai dengan nilainya), apakah si buruh tersebut diperkenankan untuk berhenti bekerja? Sama sekali tidak. Kapitalis yang membayar buruh itu telah membayarnya selama 8 jam/hari, jadi ia harus bekerja 4 jam lagi. 


     Katakanlah saja, dari hasil kerja buruh tersebut, yakni Rp280.000,00, dikurangi Rp140.000,00 untuk menggantikan kapital konstan (alat-alat produksi & bahan-bahan produksi) dan dikurangi lagi Rp65.000,00 untuk upah pekerja itu, lalu kemana sisa uang Rp75.000,00? Hasil Rp75.000,00 itulah yang merupakan nilai-lebih yang akan menjadi laba bagi kapitalis. Maka, terlihatlah sampai di sini bahwa nilai-lebih tersebut tidak muncul dalam proses sirkulasi, melainkan dalam proses produksi. Apakah nilai-lebih ini merupakan satu-satunya laba bagi k'las kapitalis? Marx mengatakan tidak. Marx tidak menutup kemungkinan bahwa bisa saja dalam penjualannya, k'las kapitalis menjual komoditas tersebut di atas nilainya, sehingga laba pun menjadi naik. Namun, seperti yang diungkapkan sebelumnya, dalam tingkat rata-rata atau dalam waktu jangka panjangnya, komoditas dijual sesuai nilainya. 


     Selanjutnya, Ernest Mandel mencatatkan bahwa proses penciptaan nilai-lebih ini bukanlah suatu hal yang menjadi ciri khas kapitalisme. Ia menyatakan bahwa proses penciptaan surplus value atau nilai-lebih telah ada sejak lama, bahkan sejak zaman perbudakan dalam periode kekaisaran Romawi. Pada masa itu, selama enam hari dalam seminggu, para budak harus bekerja di perkebunan dan ia tidak menerima apapun dari produk kerjanya, kecuali makanan bagi dirinya. Makanan yang ia makan harus ia hasilkan sendiri dengan bekerja pada sebidang kecil tanah itu. Sebagian besar (hampir seluruhnya) dari hasil perkebunan tersebut dirampas oleh mandornya agar menjadi miliknya. Selanjutnya, proses penciptaan nilai-lebih ini terus berlanjut hingga abad pertengahan. Para petani diharuskan untuk bekerja selama 6 hari, di mana 3 hari kerja akan menjadi milik si tuan tanah, sedangkan 3 hari kerja lainnya menjadi milik petani tersebut. Dalam tahap kapitalisme hingga tahap Sosialisme, proses penciptaan nilai-lebih tidak dihilangkan. Yang menjadi perbedaannya ialah, dalam tahap kapitalisme, karena kontrol produksi berada di tangan personal, maka nilai-lebih yang diproduksi ini menjadi milik personal, yakni untuk si kapitalis itu sendiri. Sedangkan, dalam tahap Sosialisme, di mana kontrol produksi berada dalam tangan k'las pekerja, maka nilai-lebih ini menjadi milik kolektif dan nilai lebih tersebut akan dialokasikan bagi kepentingan bersama secara demokratis.



3.4. Upah, Harga, dan Kapital


3.4.1. Upah Dan Pertentangan K'las


Di bagian 3.3.3., kita telah melihat bagaimana kapitalisme telah mengubah tenagakerja manusia menjadi komoditas. Marx menyatakan bahwa komoditas yang 1 ini merupakan komoditas yang mempunyai suatu keistimewaan tersendiri. Keistimewaan tersebut adalah kemampuan tenagakerja untuk menciptakan nilai baru. Keistimewaan dari komoditas inilah yang memicu para kapitalis untuk berjuang agar dapat menurunkan nilai komoditas ini dengan serendah mungkin, dengan harapan semakin banyak nilai baru yang akan menjadi laba utama bagi kapitalis.


     Namun, berapa nilai dari komoditas istimewa ini? Nilai dari komoditas istimewa alias tenagakerja ini adalah seluruh nilai yang dibutuhkan bagi si pekerja agar dapat tetap hidup dan dapat meneruskan keturunannya. Setidaknya, terdapat 3 komponen dari nilai tenagakerja ini: (1) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup yang diperlukan untuk memelihara kehidupan si buruh, mengingat tenagakerja hanya bisa ada dalam individu yang hidup; (2) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan hidup yang diperlukan untuk membesarkan sejumlah anak tertentu yang akan menggantikan si buruh kelak di pasar tenagakerja setelah ia meninggal. Kapitalisme harus mempertahankan keberlangsungan ras pekerja untuk bisa terus beroperasi; (3) kuantitas kerja yang diperlukan untuk memperoleh ketrampilan tertentu dalam kasus tenagakerja terampil.


     Karena upah (sebagai harga dari tenagakerja) memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan laba, maka dengan demikian, upah pada dasarnya mencerminkan pertentangan atau kontradiksi kepentingan antara k'las pekerja dengan k'las kapitalis. Ketika para buruh menuntut kenaikan upah, maka hal ini berarti dapat mengurangi porsi profit atau keuntungan yang didapatkan oleh kapitalis, yaitu seiring dengan naiknya kerja dibayar berbanding kerja tak dibayar. Sebaliknya, tekanan terhadap upah buruh berarti semakin meningkatkan profit atau keuntungan yang dinikmati kaum pemodal, atau dalam kata lain, meningkatkan tingkat eksploitasi buruh. Oleh karena itu, perjuangan akan kenaikan upah telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan perjuangan k'las.


     Perjuangan akan kenaikan upah selalu menjadi tuntutan pokok dalam pergerakan k'las pekerja di setiap tahunnya. Jika dilihat dari sejarahnya, tuntutan akan kenaikan upah telah menjadi bagian dari gerakan pekerja sejak era Revolusi Industri yang dimulai pada abad ke-18. Begitu pentingnya tuntutan ini, sehingga tuntutan ini telah menjadi pemicu perdebatan sengit dalam International pertama. Mengapa tuntutan ini begitu penting? Tuntutan akan kenaikan upah menjadi suatu hal yang sangat penting karena upah merupakan satu-satunya sarana bagi pekerja untuk menukarkan hasil pekerjaanya dengan berbagai kebutuhan-kebutuhannya sehingga ia dapat mempertahankan keberlangsungan hidup dirinya dan keluarganya. Jika upah pekerja turun, maka standar kehidupan buruh pun akan jatuh juga. Di posisi ini, kita bisa melihat adanya ketergantungan buruh terhadap ‘upah’ sebagai sarana penghidupannya.


     Agar dapat memiliki pemahaman yang mendalam mengenai upah, setidaknya upah harus dipilah kembali ke dalam 3 sudut pandang. Ke-3 sudut pandang ini merupakan 3 cara pandang yang masing-masing berbeda sekaligus saling melengkapi. Ke-3 cara pandang ini juga digunakan Marx dalam berbagai macam karya Ekonomi-Politiknya. Ke-3 cara pandang itu adalah upah nominal, upah riil dan upah relatif. Kita akan membahasnya satu per satu di bawah ini:



3.4.1.1. Upah Nominal


Cara pandang upah nominal merupakan cara pandang yang paling primitif atau sederhana. Hal ini disebabkan karena cara pandang ini hanya melihat nilai upah dari angka yang tertera pada upah tanpa memasukkan faktor-faktor lain, seperti harga barang atau keuntungan perusahaan. Istilah “nominal” berasal dari bahasa Latin “nomen” atau “nominalis” yang memiliki arti “nama.” Cara pandang nominal ini hanya melihat sesuatu dari namanya atau simbolnya. Dalam hal upah, nilai nominal upah dilihat dari angka yang tertera secara langsung pada upah tersebut.


     Jadi, jika umpamanya pada bulan tertentu upah pekerja adalah Rp1.560.000,00, kemudian di bulan depan berubah menjadi Rp1.800.00,00, maka cara pandang nominal hanya akan melihat bahwa upah pekerja telah naik sebesar Rp240.000,00, tidak lebih dan tidak kurang. Hal-hal lain, seperti kenaikan atau penurunan harga-harga komoditas yang akan berpengaruh terhadap daya beli para pekerja, atau tingkat laba bagi perusahaan, sama sekali tidak diperhatikan dalam sudut pandang ini. Karena keterbatasan inilah, maka sudut pandang ini disebut sebagai sudut pandang yang paling primitif. Dengan mengambil contoh di atas, tidak peduli berapa tingkat kenaikan harga barang dan daya beli upah, nilai upah tetap dianggap naik, karena angkanya naik. Karena itu, cara pandang ini bisa menipu kita. Kita akan melihat persoalan ini di pembahasan berikutnya dengan membandingkan upah nominal dengan upah riil.



3.4.1.2. Upah Riil


Cara pandang upah riil merupakan cara pandang dalam melihat upah dengan membandingkannya dengan harga-harga barangdagangan. Dengan kata lain, cara pandang upah riil melihat perubahan upah beserta daya beli dari upah tersebut. Istilah “riil” dalam “upah riil” ini berasal dari pengandaian fungsi utama dari upah, yaitu sebagai sarana bagi pekerja untuk menukarkan hasil pekerjaanya dengan berbagai bahan kebutuhan hidup. Upah nominal dan upah riil bisa berbeda nilainya. Bisa saja upah nominal terlihat naik, tapi upah riil sebenarnya turun.


     Seperti sebelumnya, upah pekerja yang nilai nominal awalnya Rp1.560.000,00 telah naik menjadi Rp1.800.000,00 di bulan berikutnya. Kenaikannya adalah Rp240.000,00 atau sekitar 15.38%. Katakanlah saja di bulan pertama di mana upah belum dinaikkan, nilai Rp1.560.000,00 sama dengan nilai HP android jenis X yang nilainya juga Rp1.560.000,00. Jika tidak terjadi kenaikan harga barang, maka kenaikan upah Rp1.800.000,00 tidak hanya bisa membeli HP android X, tapi juga ditambah komoditas lain senilai Rp240.000,00. Namun, jika harga-harga barang juga naik sebesar 15.38%, maka harga HP android X juga akan naik dari Rp1.560.000,00 menjadi Rp1.800.000,00. Dengan demikian, kenaikan upah dari Rp1.560.000,00 menjadi Rp1.800.000,00 hanya bisa membeli HP android X tanpa tambahan komoditas lainnya. Dengan kata lain, meski nilai nominal upah naik, tetapi upah riil stagnan, karena terjadi kenaikan harga-harga barang yang sebanding dengan kenaikan upah.


     Namun, bagaimana jika seandainya harga-harga barang naik sebesar 50%? Harga HP andoid X yang di bulan pertama adalah Rp1.560.000,00 akan naik menjadi Rp2.340.000,00. Jika di bulan pertama, upah Rp1.560.000,00 bisa membeli HP android X yang harganya masih Rp1.560.000,00, di bulan berikutnya, upah yang naik menjadi Rp1.800.000,00 sudah tidak bisa lagi membeli HP android X, karena harganya telah naik melampaui kenaikan upah riil menjadi Rp2.340.000,00. Yang terjadi di sini adalah tingkat kenaikan upah berada di bawah tingkat kenaikan harga sehingga upah riilnya turun. Dengan kata lain, meski nilai nominal upah naik, daya beli upah sebenarnya turun sehingga barang-barang yang tadinya bisa dibeli menjadi tidak bisa dibeli lagi. Tapi, berapa penurunan nilai upah riil dalam contoh di atas? Untuk itu, kita perlu mengetahui dulu berapa upah riilnya. Rumus upah riil sebenarnya cukup sederhana:




     Kalau rumus itu kita terapkan untuk contoh terakhir di atas dimana terjadi kenaikan harga-harga barang sebesar 50%, yang angka nominalnya diwakili oleh HP android X, maka upah riil dalam contoh di atas adalah:




     Dari perhitungan di atas, meski upah nominal naik sekitar 15.38% dari Rp1.560.000,00 menjadi Rp1.800.000,00, tetapi karena harga-harga barang juga naik sebesar 50%, maka nilai upah riil sebenarnya turun sekitar 23%, dari Rp1.560.000,00 menjadi Rp1.199.999,00. Ini adalah contoh dimana kenaikan upah nominal bisa menipu, karena upah riilnya sebenarnya turun.


     Jadi, hubungan upah nominal dengan upah riil bisa selaras, tetapi bisa juga bertentangan atau bertolak-belakang. Jika tingkat kenaikan upah nominal berada di atas tingkat kenaikan harga, maka upah riil akan naik. Jika tingkat kenaikan upah nominal sama dengan tingkat kenaikan harga, maka upah riil akan stagnan. Jika tingkat kenaikan upah nominal berada di bawah tingkat kenaikan harga, maka upah riil akan turun.



3.4.1.3. Upah Relatif


Cara pandang upah relatif merupakan cara pandang dalam melihat upah dengan perbandingannya dengan laba perusahaan. Dengan kata lain, cara pandang ini ditentukan dengan cara melihat porsi upah dalam keseluruhan nilai tambah yang tercipta dalam proses produksi. Disebut “upah relatif” karena nilainya relatif, atau tergantung dari laba perusahaan. Hubungan antara upah relatif dengan laba (relatif) perusahaan ini merupakan berbanding terbalik, artinya jika upah relatif naik, maka laba relatif perusahaan pun otomatis akan turun, begitu pula jika sebaliknya. Upah riil dan upah relatif dapat memiliki nilai yang bertolak-belakang. Bisa saja upah riil naik, tapi upah relatif turun.


     Untuk menelusuri sudut pandang ini, kita setidaknya harus melihat terlebih dahulu, apa saja komponen dari nilai total suatu komoditas. Di bagian 3.3.1., kita telah melihat bagaimana Marx merumuskan fondasi dari moda produksi kapitalisme melalui sirkulasi kapitalnya. Dalam sirkulasi kapital, para kapitalis memiliki sejumlah uang tertentu yang akan digunakan untuk membeli berbagai komoditas, yang terdiri dari sarana produksi (SP) termasuk bahan baku dan tenaga kerja (TK) untuk menghasilkan komoditas yang dapat dijual dan merealisasikan laba. Berdasarkan argumentasi ini, Marx kemudian memilah komponen-komponen nilai total dalam komoditas menjadi:


Atau




     Nilai total komoditas (t) adalah penjumlahan atas kapital konstan (k), kapital variabel (v) dan nilai-lebih atau surplus nilai (s). Kapital konstan merupakan kapital dalam rupa sarana produksinya, yaitu alat-alat produksi beserta bahan-bahan produksi. Kapital variabel adalah kapital dalam rupa tenagakerja upahan. Sedangkan, surplus nilai atau nilai lebih merupakan nilai berlebih yang diproduksi oleh pekerja, yang akan menjadi laba bagi kapitalis, sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian 3.3.3. Inilah formula dasar yang digunakan oleh Marx untuk menghitung nilai komoditas apapun. 


     Katakanlah saja, saat upah masih Rp1.560.000,00 nilai tambah yang berhasil diproduksi oleh seorang buruh adalah Rp3.360.000,00. Artinya, laba perusahaan yang disumbangkan oleh 1 orang buruh adalah Rp3.360.000,00–Rp1.560.000,00 = Rp1.800.000,00. Di sini, upah relatif buruh adalah Rp1.560.000,00 : Rp3.360.000,00 = 0.46 (kurang lebih) atau jika dipersentasekan adalah 46%. Sementara, porsi laba perusahaan dalam nilai tambah—untuk mempermudah, kita sebut saja “laba relatif”—adalah 0.53 atau 53%.


     Ketika upah riil naik menjadi Rp1.800.000,00, total nilai tambah—karena peningkatan produktivitas—naik menjadi Rp4.200.000,00. Artinya, laba perusahaan yang disumbangkan buruh juga naik menjadi Rp2.400.000,00 (Rp4.200.000,00-Rp1.800.000,00 = Rp2.400.000,00). Jika tingkat kenaikan upah adalah sekitar 15.38%, tingkat kenaikan laba adalah sekitar 33.3%. Di sini, upah relatif buruh menurun dari sekitar 0.46 atau 46% menjadi 0.42 atau 42%. Adapun laba relatif meningkat dari 0.53 atau 53% menjadi sekitar 0,57 atau 57%. Jadi, sekalipun upah riil naik tapi tingkat kenaikannya berada di bawah tingkat kenaikan laba, maka upah relatif akan turun.


     Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, upah relatif memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan laba relatif. Upah relatif dan laba relatif tidak bisa bergerak selaras, misalnya sama-sama naik atau turun. Jika laba relatif naik, upah relatif pasti turun. Sebaliknya, jika upah relatif naik, maka laba relatif pasti turun. Hubungan keduanya yang saling bertolak-belakang inilah, yang merupakan “embrio” dari kontradiksi kelas buruh dan kapitalis. Inilah yang menyebabkan pertentangan k'las tidak bisa didamaikan.



3.4.2. Harga Produksi dan Harga Pasar


Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, Marx telah melakukan pemilahan terhadap nilai total komoditas menjadi beberapa komponen. Setidaknya, terdapat 3 komponen inti yang harus ada di dalam komoditas. Komponen itu antara lain ialah kapital konstan, yang merupakan kapital dalam rupa sarana produksinya, yaitu alat-alat produksi beserta bahan-bahan produksi; Kapital variabel, yang merupakan kapital dalam rupa tenagakerja upahan; dan surplus nilai atau nilai lebih, yang merupakan laba utama bagi kapitalis. Kesatuan antara ke-3 komponen inilah yang merupakan harga produksi dari komoditas.


     Berdasarkan argumentasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa harga produksi adalah "ekspresi moneter dari nilai”. Marx selanjutnya memilah harga menjadi 2 bagian, yaitu harga produksi (yang menjadi harga minimalnya) dan harga pasar. Harga pasar ini tidak selalu identik dengan harga produksinya. Perbedaan antara harga pasar dan harga produksi ini, menurut Marx, dapat dijelaskan melalui faktor penawaran dan permintaan. Namun, walaupun selalu berubah, perubahan dari harga pasar ini akan selalu berosilasi di sekitar harga produksinya. Dengan kata lain, fluktuasi harga pasar akan selalu bergravitasi terhadap harga produksi yang mencerminkan nilai dari suatu komoditas. Konsep harga produksi Marx ini kurang lebih serupa dengan harga alamiah bagi Adam Smith.


     Gelombang fluktuasi penawaran dan permintaan ini terjadi karena adanya kompetisi bebas di pasar. Namun, secara bersamaan, kompetisi pulalah yang mengarahkan harga pasar agar terus-menerus kembali mendekati harga produksinya. Ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Andaikan sekantung peniti memiliki harga produksi Rp500,00 dan memerlukan dua jam kerja untuk memproduksinya, sementara sepotong baju memiliki harga produksi Rp2.000,00 dan memerlukan 8 jam kerja untuk memproduksinya. Andaikan bahwa penawaran dan permintaan seimbang, sehingga harga produksi dan harga pasarnya identik (komoditas dijual sesuai dengan nilainya). Sekarang andaikan bahwa karena kenaikan permintaan akan peniti, harga pasarnya menjadi Rp1.000,00. Kenaikan ini akan menyebabkan para pelaku industri garmen beralih ke industri peniti. Mengapa? Sebab, hanya dengan dua jam kerja, mereka dapat menghasilkan Rp1.000,00 dibandingkan dengan delapan jam kerja yang hanya menghasilkan Rp2.000,00. Namun kenaikan ini tidak akan bertahan lama karena penawaran peniti akan membanjiri pasar dan akibatnya menurunkan harga pasarnya sehingga memaksa para industrialis untuk keluar dari industri peniti dan kembali ke industri garmen. Sehingga harga pasar peniti dan baju kembali identik dengan harga produksinya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan kembalinya fluktuasi harga kepada harga produksinya.


     Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa harga komoditas (dalam hal ini harga pasarnya) tidak hanya ditentukan oleh faktor penawaran dan permintaan, melainkan juga oleh faktor produksinya. Harga tidak semata-mata muncul dalam ruang sirkulasi, melainkan terutama juga dalam ruang produksi. Melalui penalaran ini, kita dapat melihat bahwa faktor penawaran dan permintaan hanya akan mempengaruhi harga komoditas secara sementara. Artinya, dalam waktu jangka panjang, harga komoditas ditentukan oleh harga produksi yang ditentukan lagi oleh nilainya. Penalaran ini telah membantu para ekonom untuk menjawab permasalahan mengenai alasan dari kecenderungan turunnya harga komoditas secara berangsur-angsur. Marx menjawab permasalahan ini dengan menyatakan bahwa produktivitas kerjalah yang menyebabkannya. Penyelesaian masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan faktor penawaran dan permintaan, sebab penawaran dan permintaan sendiri tidak akan muncul jika tidak ada produksi komoditas. Artinya, jika tidak ada produksi yang menyebabkan komoditas itu ada, maka permintaan pun tak akan mungkin ada. Dan juga, jika tidak terdapat peningkatan produktivitas kerja, maka peningkatan penawaran tak akan mungkin terjadi.



3.4.3. Komposisi Organik Kapital


Komposisi Organik Kapital (disingkat KOK) merupakan proporsi penggunaan kapital konstan dengan seluruh kapital yang ada. Konsep ini merefleksikan tingkat penggunaan teknologi (permesinan) dalam proses produksi. Sejauh kapital konstan adalah hasil terdahulu dari kapital variabel (mesin merupakan hasil dari tenagakerja terdahulu), maka kapital konstan ini disebut Marx sebagai ‘kerja yang mati’ (dead labour), berkebalikan dengan kapital variabel yang disebut sebagai ‘kerja yang hidup’(living labour). Komposisi organik kapital, dengan demikian, mencatatkan tingkat dominasi kerja mati terhadap keseluruhan proses produksi.


     Dalam karyanya "Das Kapital" Vol. 3, Marx menuliskan: “Yang dimaksud dengan komposisi modal adalah proporsi komponen aktif dan pasifnya, yaitu modal variabel dan konstan. Dua proporsi dipertimbangkan di bawah judul ini.... Proporsi pertama bertumpu pada dasar teknis, dan harus dianggap diberikan pada tahap perkembangan tenaga produktif tertentu. Kuantitas tertentu tenaga kerja yang diwakili oleh sejumlah tertentu pekerja diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk tertentu dalam, katakanlah, suatu hari, dan - apa yang terbukti dengan sendirinya - dengan demikian untuk dikonsumsi secara produktif, yaitu, untuk bergerak, jumlah tertentu dari alat produksi, mesin, bahan mentah, dll." 


     Dalam kalimatnya tersebut, Marx menunjukkan bahwa komposisi organik kapital sangat mempengaruhi profitabilitas industri. Menurut Marx, KOK mengungkapkan bentuk spesifik yang diberikan oleh moda produksi kapitalis pada hubungannya antara alat produksi dan tenagakerja, yang menentukan produktivitas kerja dan penciptaan produk surplus. Hubungan ini memiliki aspek teknis dan sosial, yang mencerminkan fakta bahwa nilai-pakai yang dikonsumsi dan nilai-tukar komersial yang diproduksi.


     Marx selanjutnya menyatakan bahwa peningkatankomposisi organik kapital adalah efek keniscayaan dari akumulasi kapital dan persaingan di bidang produksi. Hal ini disebabkan karena sengitnya persaingan bebas, sehingga para kapitalis harus dapat selalu merevolusionerkan alat-alat produksinya demi meningkatkan produktivitas kerja dan menghemat pengeluaran. Hal ini berarti bahwa pangsa modal konstan dalam pengeluaran modal total meningkat, dan input tenagakerja perunit produk menurun.


     Marx kemudian menjelaskan akibat dari peningkatan komposisi organik kapital ini. Peningkatan komposisi organik kapital, menurut Marx, dapat mengakibatkan semakin kompleksnya pembagian kerja, meningkatnya produktivitas kerja, dan turunnya tingkat laba secara tendensial. Marx menuliskan, “Betapapun banyaknya penggunaan mesin yang dapat meningkatkan surplus tenagakerja dengan mengorbankan tenagakerja yang diperlukan dan dengan meningkatkan produktivitas kerja, maka jelaslah bahwa hasil ini hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah pekerja yang dipekerjakan dengan sejumlah modal. Mengubah apa yang tadinya menjadi kapital variabel, yang diinvestasikan ke dalam tenagakerja, lalu menjadi mesin, menjadi kapital konstan, yang tidak menghasilkan nilai lebih....."(Capital Vol I, p407).


     Jika sejumlah kapital konstan (k) dan kapital variabel (v) diinvestasikan dalam proses produktif, maka hasil akhir dari siklus reproduksi tidak hanya tetap, melainkan bertambah. Proses produktif ini tidak hanya memperbarui nilai dalam dirinya sendiri, melainkan juga memberikan nilai tambahan. Jika tenagakerja para pekerja telah digunakan dalam rata-rata sosial kegunaannya atau lebih, maka nilai-lebih (s) akan muncul.


     Marx mengungkapkan ini secara simbolis sebagai: 


k + v → k + v + s


     Berdasarkan rumusan ini, kita dapat mengetahui tingkat keuntungan bagi individu kapitalis yang terlibat dalam investasinya ( k + v ) pada awal siklus reproduksi, dan memperoleh keuntungan sebesar (s). Jika tingkat keuntungan disimbolkan dengan (L), maka tingkat keuntungannya adalah:




     Tingkat keuntungan ini adalah rasio yang mempengaruhi unit kapital individu, berlawanan dengan tingkat nilai lebih, yang mencirikan proporsi nilai yang diambil alih oleh kelas kapitalis secara keseluruhan. Kalau tingkat nilai-lebih ini kita notasikan dengan s', maka kita mendapat rumus berikut:




     Komposisi organik kapital, dengan ini mengukur perbedaan antara tingkat nilai lebih ( s/v ), dan tingkat keuntungan ( s/k+v ). Apabila komposisi organik ini kita notasikan dengan O, maka rumusnya demikian:




     Keberadaan KOK ini penting dalam teori krisis Kapitalisme, karena semakin tinggi dominasi kapital konstan atas totalitas kapital, maka tingkat keuntungan rata-rata pun semakin rendah. Implikasi dari peningkatan komposisi organik kapital adalah menurunnya tingkat keuntungan; untuk setiap peningkatan baru dalam nilai-lebih yang direalisasikan sebagai keuntungan dari penjualan, peningkatan yang lebih besar dalam investasi modal konstan menjadi diperlukan.



3.4.4. Akumulasi & Konsentrasi Kapital


Setelah memahami komponen-komponen yang terdapat dalam komoditas dan komposisi organik kapital, kini kita akan mempelajari pandangan Marx tentang totalitas proses perekonomian kapitalis yang merupakan hasil dari proses akumulasi kapital. Proses ini bermula dari produksi, distribusi, konsumsi hingga produksi yang baru. Inilah yang dibahas Marx dalam teori reproduksi kapital. Marx memecah analisisnya ke dalam dua bentuk reproduksi: reproduksi sederhana dan reproduksi yang diperluas. Reproduksi sederhana (simple reproduction) adalah siklus reproduksi kapital di mana nilai input dan nilai output dari proses ini sama. Artinya, reproduksi sederhana menggambarkan proses elementer dari perekonomian secara umum, yakni bahwa hasil akhir dari proses hanya cukup untuk memperbaharui proses dalam skala yang tetap. Dalam reproduksi sederhana, tidak mungkin ada surplus yang tercipta untuk dipompakan kembali ke dalam sistem dalam rangka perluasannya. Di dalam skema reproduksi sederhana, tidak akan ada akumulasi kapital, sehingga tidak akan ada pertumbuhan. Skema ini hanya berfungsi untuk menunjukkan kondisi minimal yang mesti dipenuhi untuk adanya perekonomian.


     Reproduksi yang diperluas, dengan demikian, merupakan siklus reproduksi kapital di mana nilai input dan nilai output dari proses ini mengalami proses perubahan. Artinya, dalam reproduksi yang diperluas ini terdapat surplus yang tidak hanya dikonsumsi oleh si kapitalis, melainkan juga diinvestasikan ke dalam produksinya. Karena terdapat nilai tambahan, maka dalam skema reproduksi yang diperluas ini, akumulasi kapital dapat dijalankan. Akumulasi kapital hanya dapat terjadi dalam skema reproduksi yang diperluas. Marx menjelaskan mengenai akumulasi kapital ini sebagai “penggunaan nilai-lebih sebagai kapital, atau perubahannya kembali menjadi kapital, disebut akumulasi kapital.” (p725). Dengan mengubah nilai-lebih menjadi kapital baru (yaitu, dengan menginvestasikan kembali keuntungan menjadi alat produksi yang baru) kapitalisme bergerak dari kasus yang hanya mereproduksi dirinya sendiri, menjadi berkembang dan tumbuh. 


     Rosa Luxemburg dalam karyanya "The Accumulation of Capital" menjelaskan mengenai perbedaan ke-2 siklus reproduksi ini. Luxemburg menjelaskan bahwa: "Perbedaan mendasar antara reproduksi yang diperluas dan reproduksi sederhana terletak pada fakta bahwa di dalam yang terakhir, kelas kapitalis dan parasit-parasitnya mengkonsumsi seluruh nilai-lebih yang dihasilkan, sementara dalam reproduksi yang diperluas, sebagian nilai-lebih harus disisihkan dari konsumsi pribadi pemiliknya, tidak untuk tujuan disimpan, tetapi dalam rangka meningkatkan kapital aktif, yaitu untuk kapitalisasi atau dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi kapital demi kegiatan produksi baru yang juga diperluas."


     Akumulasi yang digambarkan lewat reproduksi yang diperluas inilah yang membukakan jalan bagi konsentrasi dan sentralisasi kapital. Yang dimaksud dengan konsentrasi kapital adalah reinvestasi kapital dalam proses produksi demi perluasan skala produksi. Namun jika bergantung pada konsentrasi ini saja, laju akumulasi tidak akan cepat dan akibatnya membuat sang kapitalis sulit berhadapan dengan pesaingnya. Oleh karena itu, sang kapitalis mesti menempuh jalan sentralisasi kapital, yakni penyatuan kapital-kapital yang ada ke dalam sebuah perusahaan. Cara ini ditempuh lewat penggunaan sistem kredit. Yang dimaksud Marx dengan sistem kredit bukan mengacu hanya pada pranata perbankan, melainkan pada keseluruhan bangunan finansial seperti pasar saham, obligasi dan lain sebagainya. Pada intinya, sentralisasi kapital dijalankan dengan cara menyerap kapital dari tempat lain (entah melalui kredit bank maupun lewat investasi saham) sehingga melipat-gandakan jumlah kapital yang tersedia pada awai proses produksi yang baru. Sentralisasi kapital mendorong ke arah terbentuknya perusahaan saham (joint-stock company) yang kepemilikan kapitalnya sepenuhnya berada di tangan para pemegang saham. Di sini, Marx menunjukkan adanya transformasi dari kapitalis yang menjalankan usaha menjadi sekedar manajer dan kemunculan para pemilik modal (pemegang saham) sebagai kapitalis-uang (money capitalist).


     Pasar saham yang muncul dari desakan sentralisasi kapital pada akhirnya berperan mengantarkan proses sentralisasi sampai ke tujuannya, yakni monopoli. Alasannya karena keberadaan pasar saham memudahkan gerak keluar-masuknya kapital secara lintas-sektoral dan fleksibilitas ini memungkinkan penguasaan saham di luar perusahaan yang pada mulanya dimiliki oleh sang kapitalis. Gerak ke arah monopoli ini terwujud dalam tiga momen utama: formasi kartel, pakat (trust) dan merger. Kartel adalah asosiasi antar badan usaha yang dilandasi oleh kesepakatan bersama mengenai pembagian tugas antar badan tersebut untuk memerangi pesaing. Komite sentral kartel memiliki hak untuk menetapkan harga dan menerapkan kuota produksi terhadap badan-badan usaha yang tergabung di dalamnya. Pakat adalah kesepakatan di antara pemilik saham dari berbagai badan usaha dalam sebuah industri untuk menyerahkan hak pengelolaannya pada badan kepercayaan (board of trustees) yang berkuasa penuh dengan ganti berupa dividen. Dengan pakat ini dicapailah penyatuan kebijakan seluruh badan usaha dalam sebuah industri. Yang terakhir adalah merger dan akuisisi. Di sini terjadi penyatuan total berbagai badan usaha ke dalam sebuah badan usaha raksasa yang mampu menjalankan monopoli efektif dalam bidang usahanya. Tendensi historis kapitalisme ke arah monopoli ini diuraikan lebih lanjut oleh Sweezy (bersama Paul Baran) dalam karya klasik mereka, Monopoly Capital (Baran & Sweezy 1966). Oleh karena itu, pasar dan persaingan bebas, pada hakikatnya akan berubah menjadi kebalikannya, yaitu menjadi dominasi monopoli di setiap sektor dan lintas sektor. Antagonisme antara sentralisasi dan persaingan, bagaimanapun, tetap menjadi inti dari sistem kapitalisme, yang tercermin dalam kontradiksi antara tingkat besar organisasi dan perencanaan dalam bisnis tertentu, dan anarki irasional antara bisnis yang berbeda, yang berproduksi tanpa koordinasi apapun atau rencana umum.



3.5. Teori Krisis Kapitalisme


Ada beragam tafsiran tentang krisis kapitalisme dalam perspektif ekonomi Marxian, yang semuanya mendasarkan diri pada tafsiran atas teks tertentu yang ditulis Marx sendiri. Di sini, tentu saja, kita tidak akan mengulas semuanya. Kita hanya akan melihat salah satu bentuk teori krisis kapitalisme yang paling populer dan paling sesuai dengan metodologis Marxis, yaitu krisis kejatuhan tendensial tingkat laba yang bermula dari krisis overproduksi. Perspektif krisis kejatuhan tendensial tingkat laba ini memiliki fondasi penjelasan yang paling ilmiah dibandingkan dengan yang lain, karena kemampuannya untuk menganalisa data-data yang ada. 


     Pendekatan kejatuhan tendensial tingkat laba adalah pendekatan paling umum dalam wacana Marxian tentang krisis kapitalisme dan paling sesuai dengan intensi metodologis Marx, yakni kritik imanen atas kapitalisme. Pendekatan ini memiliki basis tekstual yang paling kokoh dalam tulisan Marx, yakni dalam Das Kapital jilid III. Argumen Marx tentang hukum kejatuhan tendensial tingkat laba diturunkan dari rumus nilai (k + v + s = t). Seperti telah kita lihat di bagian 3.4.3., dari rumus nilai ini kita telah mendapatkan rumus tentang komposisi organik kapital dan tingkat nilai-lebih. Berdasarkan rumus ini kita dapat melihat bahwa, dengan mengandaikan tingkat nilai-lebih (s’) tetap, kenaikan komposisi organik kapital (o) meniscayakan turunnya tingkat laba (L) (Sweezy 1968: 96). Jadi hukum tentang kejatuhan tendensial tingkat laba yang dirumuskan Marx bertumpu pada dua asumsi: 1) terdapat tendensi historis dalam kapitalisme yang mendorong kenaikan komposisi organik kapital (kenaikan kapital konstan di atas kapital variabel); 2) tingkat nilai-lebih diandaikan tetap (sebab bila ada kenaikan tingkat nilai-lebih hal ini dapat mengkompensasi kenaikan komposisi organik kapital sehingga membuat tingkat laba tidak jatuh).


     Kapitalisme bergerak ke arah naiknya kapital konstan dalam hubungannya atas kapital variabel (dominasi kerja mati (mesin) di atas kerja hidup (tenaga kerja)). Dengan naiknya kapital konstan, kerja menjadi semakin produktif menghasilkan komoditas (apa yang dulu diproduksi sehari lewat jarum di tangan kini diproduksi satu jam dengan mesin jahit). Hasilnya adalah overproduksi, spekulasi, kelebihan kapital dan kelebihan populasi. Semuanya berkontribusi bagi terkonsolidasikan krisis internal kapitalisme. Engels dalam karyanya "Anti-Duhring" menuliskan bahwa “Kita telah melihat bahwa kesempurnaan permesinan modern yang semakin meningkat, oleh anarki produksi sosial, diubah menjadi hukum wajib yang memaksa individu kapitalis industri untuk selalu memperbaiki permesinannya, selalu untuk meningkatkan kekuatan produksinya,” jelas penulis. “Kemungkinan besar untuk memperluas bidang produksi diubah baginya menjadi hukum wajib serupa. Kekuatan ekspansif yang sangat besar dari industri modern, dibandingkan dengan gas yang hanyalah permainan anak-anak, tampaknya bagi kita sekarang sebagai kebutuhan untuk ekspansi, baik kualitatif maupun kuantitatif, yang menertawakan semua penolakan.”


     Di posisi ini, Engels (dan Marx) menggambarkan celah yang terbuka antara produksi dan konsumsi, yang beroperasi dengan hukum yang berbeda, beberapa lebih kuat dari yang lain. “Perluasan pasar tidak dapat mengimbangi perluasan produksi. Tabrakan menjadi tak terelakkan ... Produksi kapitalis telah melahirkan 'lingkaran setan' lain,” jelas Engels. Dia membuat poin yang sama di November 1886 Kata Pengantar Modal: "Sementara daya produktif meningkat dalam geometris, perluasan pasar hasil terbaik dalam rasio aritmatika." Dalam tulisan selanjutnya, Engels menjelaskan mengenai karakter krisis yang terdapat dalam kapitalisme. Engels menjelaskan, "karakter dari krisis ini sangat jelas ditandai sehingga Fourier menghantam [paku di kepala] ketika dia menggambarkan yang pertama sebagai krisis plethorique, krisis kelimpahan super." Dengan kata lain, itu adalah krisis produksi berlebih.


     Ketika komposisi organik kapital meningkat dan tingkat eksploitasi tetap sama, maka  tingkat keuntungan pasti akan menurun. Ini adalah kecenderungan permanen di bawah kapitalisme ketika sistem berkembang dan produktivitas tenaga kerja tumbuh. Dengan kata lain, penurunan relatif dalam modal variabel relatif terhadap modal konstan hanyalah ekspresi lain untuk produktivitas tenaga kerja yang lebih besar. Setiap kapitalis berjuang untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya, yaitu jumlah yang diproduksi dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kejatuhan yang digambarkan lewat hukum itu tetaplah merupakan kejatuhan tendensial. Artinya, kejatuhan itu bersifat niscaya hanya dalam batasan asumsi yang dipakai (ada kenaikan komposisi organik kapital dan tingkat nilai-lebih yang tidak melampaui komposisi organik kapital). Oleh karena hukum itu masih bersifat tendensial, Marx kemudian juga menunjukkan adanya beberapa faktor yang berperan sebagai kontra-tendensi (counteracting causes) yang, dalam kondisi tertentu, bahkan dapat mengakibatkan tingkat keuntungan meningkat. Pertama, pemurahan atas kapital konstan. Oleh karena kenaikan komposisi organik kapital juga meningkatkan jumlah sarana produksi, maka produksi atas sarana produksi baru juga menjadi relatif lebih murah. Ke-2, kenaikan tingkat eksploitasi (kenaikan tingkat nilai-lebih). Ini terjadi, misalnya, lewat pemanjangan waktu kerja. Ke-3, pemotongan upah akibat kompetisi di antara kapitalis yang mendorong kenaikan tingkat nilai-lebih. Ke-4, ledakan populasi (angkatan cadangan tenaga kerja) yang diakibatkan oleh penggunaan permesinan secara massif sehingga mendorong terciptanya pembukaan industri baru yang rendah komposisi organik kapitalnya (tidak labour-saving). Ke-5, perdagangan internasional mengkondisikan pemurahan kapital konstan sehingga menurunkan komposisi organik kapital.



3.6. Rangkuman


Terdapat 2 hal yang dapat kita rangkum dalam pemaparan EPM yang panjang dan lebar ini, antara lain ialah:


     Pertama, sebagai dasar atau inti dari teori EPM, teori nilai kerja telah menjadi fondasinya. Sebagai bagian dari teori nilai kerja klasik, teori nilai kerja Marx ini menempatkan posisinya sebagai teori nilai kerja yang paling maju. Terdapat beragam teori yang dapat diturunkan dari teori nilai kerja ini, seperti teori yang menjelaskan keseukuran antar komoditas, teori yang menjawab pertanyaan soal syarat kemungkinan adanya laba dalam asumsi pertukaran di antara yang senilai (exchange of equivalents), teori tentang eksploitasi kelas, teori tentang formasi harga ekuilibrium kompetitif, teori tentang penghitungan pendapatan nasional, teori tentang siklus bisnis, teori tentang interaksi antar sektor ekonomi, teori tentang imperialisme, dst,.... dsb,.... dsl,....


     Ke-2, melihat segala keunggulan dan keluasan dari EPM ini, maka dibutuhkan suatu studi yang lebih mendalam untuk mendalami materi-materi ini. Apa yang kita lihat sebelumnya jelas bukanlah teori EPM secara menyeluruh, artinya masih sangat banyak bagian-bagian EPM lainnya yang belum kita bahas. Keunggulan dari EPM ini memungkinkan untuk menjadikan teori Marx ini sebagai batu fondasi bagi pendidikan ekonomi di sekolah-sekolah. Kendati EPM belum dapat dikatakan sempurna 100%, namun kekuatan dan kevalidan dari EPM ini jauh lebih baik ketimbang teori-teori nilai lainnya, terutama teori nilai utilitas yang dijadikan dasar teori bagi mata pelajaran ilmu ekonomi di sekolah. Teori EPM telah menjadi teori ekonomi yang paling maju, maka tak salah jika teori Marx ini dikatakan sah untuk menjadi dasar pendidikan ekonomi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AGAMA YANG MAHASUCI: KRITIK MARXISME TERHADAP PANDANGAN UMUM ATAS MORALITAS DAN AGAMA

          Banyak orang yang menyatakan bahwa aksi terorisme agama yang terjadi beberapa hari yang lalu tidak ada kaitannya dengan agama. Mereka seringkali berkata bahwa para pelaku aksi terorisme merupakan oknum-oknum yang tak beragama. Sekurang-kurangnya, mereka menyatakan bahwa yang salah adalah manusianya, bukan agamanya. Agama selalu mengajarkan kebaikan kepada umat manusia (?), dan apabila terdapat suatu kesalahan atau kejahatan (menurut pandangan mereka, tentu saja), maka manusialah yang salah dalam menafsirkan dan memahami doktrin agamanya itu. Namun benarkah demikian? Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Apakah kebaikan dan apakah kejahatan itu sendiri? Dari manakah pula asal standar-standar kebaikan dan kejahatan ini? Apakah ia berasal dari hukum-hukum ilahi, hati nurani, HAM, genetika, ataupun yang lainnya?  MASYARAKAT DAN MORALITAS DALAM FILSAFAT MARXIS           Apakah agama benar-benar mengajarkan kebaikan? Sebelum kita dapat menjawab ya atau tidak, kita terlebih

MITOS PEMBANTAIAN TIANANMEN

     "Astaga Ya Dewata Agung!! "Mitos pembantaian Tiananmen"? Berani betul kaum Marxis itu berkata 'mitos' kepada peristiwa berdarah ini!! Memang kaum Marxis jahanam! Kaum Marxis tak tau diri!!!" Barangkali, perkataan inilah yang ada di mulut para pembaca semua, setelah membaca judul artikel di atas. Ya, bulan Juni 2021 ini telah menandai 32 tahun berlalunya peristiwa protes Tiananmen, yang seringkali dinarasikan sebagai suatu pembantaian. Dengan pidato-pidato mereka yang penuh emosional (dan seringkali memualkan), media-media borjuis beserta antek-antek imperialis lainnya telah menggambarkan pembantaian keji ini (?) sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh rejim totaliter Komunis di Tiongkok untuk memadamkan pergerakan mahasiswa yang mendukung perubahan Tiongkok ke alam 'demokrasi' (demokrasi borjuis, tentu saja). Namun, terlepas dari omong kosong mereka yang begitu membosankan itu, peristiwa ini sejatinya lebih kompleks dan berlainan daripada apa ya

ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

PENDAHULUAN      Dari manakah asal pengetahuan manusia? Apakah pengetahuan manusia berasal dari suatu karunia sorgawi? Apakah ia berasal dari suatu keunggulan bawaan manusia? Atau apakah ia berasal dari persepsi indrawi semata? Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi persoalan inti dalam kajian filsafat epistemologis. Ada berbagai macam jawaban yang akan muncul dari persoalan ini, seringkali jawaban-jawaban tersebut saling bertentangan. Namun, dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis persoalan epistemologis ini dengan menggunakan pisau analisa Marxisme, yang tak lain ialah Dialektika Materialis.      Dalam artikel ini, kita akan membagi pembahasan mengenai persoalan epistemologis ini ke dalam tiga bagian pokok. Di bagian pertama artikel ini, kita akan melihat fondasi dasar yang menjadi landasan seluruh teori pengetahuan Marxis, yang tak lain ialah filsafat Dialektika dan khususnya Materialisme. Di bagian ini kita akan melihat bagaimana kaum Marxis melihat eksistensi atau